Rabu, 28 Mei 2014

0 10 Alasan Kuat Nikah Muda

Alasan Nikah Muda, yah inilah judul yang akan saya angkat pada postingan kali ini. Sebenarnya saya masih bingung antara beberapa kata yang termuat pada judul ini. Yang benar itu nikah atau kawin? Pernikahan atau perkawinan? Satu lagi yang membingungkan, yang benar itu nikah muda atau muda nikah? Sudahlah kita lalui saja persoalan tadi, toh yang kita bahas di sini mengenai alasan nikah muda.

Nikah muda memang menjadi marak akhir-akhir ini. Begitu banyak muda-mudi yang lalu lalang kawin. Sampai-sampai marak juga komunitas dan grup pecinta nikah muda di dunia maya, termasuk di jejaring sosial.

Saya melakukan survey pada beberapa orang yang begitu menggebu dalam ambisinya untuk nikah muda. Hampir semua dari mereka sangat antusias ketika ditanya mengenai alasan mengapa ingin nikah muda. Berikut alasan nikah muda yang telah saya rangkum dari wawancara berbagai sumber.


Kebutuhan rohaniyah. Beberapa orang merasa hambar hidupnya ketika tidak adanya seseorang yang mendampingi hidup. Hal ini mengakibatkan kekosongan dalam hidup karena tidak adanya tempat untuk berbagi. Dan tempat itu adalah seorang istri/suami. Naluriah laki-laki mengatakan bahwa dirinya akan lebih nyaman ketika didampingi seorang istri di sampingnya. Hidupnya merasa belum lengkap ketika dia masih single. Inilah alasan nikah muda.

Syahwat. Sewajarnya menjadi seorang perawan/bujang semakin tua libidonya pun semakin tinggi. Kebutuhan biologis harus segera disalurkan. Dan inilah yang mendorong anak-anak muda jaman sekarang begitu menggebu-gebu ingin nikah muda.

Menjaga diri dari kemaksiatan. Situasi dan kondisi sekarang (globalisasi) tidak memungkinkan lagi bagi seseorang yang ingin menjaga pandangan dari kemaksiatan. Begitu kita turun di jalan raya saja, banyak sekali berhamburan paha tanpa busana. Nah untuk mengatasi ketidakmampuan dalam menahan nafsu yang semakin tinggi maka nikah muda salah satu solusi penyalurannya.

Banyak untungnya. Yang namanya nikah muda itu 30% tidak enak dan 70% enak. Yang 30% karena kondisi anak muda yang emosional tinggi dan labil sehingga setiap permasalahan jarang dipikir secara masak. Dan 70% enak karena kondisi anak muda masih sangat kuat sekali staminanya. Inilah salah satu alasan kuat mengapa mereka ingin nikah muda.

Visi misi kehidupan. Nikah merupakan kebutuhan hidup yang sangat komplek, maka dari itu mencicil nikah di usia muda akan mengurangi beban pikiran untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya, terlepas dari apakah mereka benar-benar berkurang beban pikirannya. Hal ini akan mempercepat pemenuhan visi misi kehidupan yang lain bagi seseorang. Selain itu setiap masalah akan terselesaikan dengan baik ketika dikerjakan bersama-sama. Inilah alasan nikah muda.

Mempersiapkan kematian. Hanya ada tiga hal yang kelak menjadi penolong kita setelah mati, amal, ilmu, dan anak yang sholeh. Yang terakhir digarisbawahi tadi tidak akan terwujud ketika kita tidak punya seorang pendamping hidup. Maka dari itu inilah alasan nikah muda.

Kesuksesan. Banyak sekali orang yang sukses justru ketika setelah menikah. Di balik lelaki yang hebat terdapat istri yang setia. Inilah alasan nikah muda.

Kesiapan. Orang yang sudah memiliki semuanya termasuk harta, pangkat, dan jabatan, maka masih kurang apa lagi? Tunggu apalagi untuk segera menikah? Inilah alasan nikah muda.

Dikejar usia. Orang tidak akan menunggu-nunggu waktu lama untuk menyalurkan kebutuhannya. Semakin tua semakin banyak dikejar kebutuhan lain. Selain itu orang yang kita sukai bisa saja dilamar orang ketika tidak segera kita lamar. Inilah alasan nikah muda.

Menyempurnakan agama. Nikah merupakan separuh agama. Jadi semakin cepat kita nikah semakin cepat pula kita dalam menyempurnakan agama. Inilah alasan nikah muda.

0 Dalam Islam, Usia Berapakah Boleh Menikah?

Menikah di usia muda saat ini dianggap aneh. Bahkan, kadang menjadi sorotan. Padahal, menikah di usia muda atau pernikahan dini memiliki banyak maslahat bagi pemuda. Terlebih, pada era informasi dan globalisasi sekarang ini yang godaan menjaga kehormatan dan kesucian jauh lebih sulit daripada era-era sebelumnya.

Menikah di usia muda, seperti sabda Nabi, membuat pemuda lebih mudah menundukkan pandangan dan menjaga kehormatan. Beliau bersabda:

يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
“Wahai pemuda, barangsiapa di antara kalian telah mampu maka hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya.” (HR. Bukhari)

Dalam hadits di atas, Rasulullah menggunakan istilah syabab yang dalam bahasa Indonesia biasa diterjemahkan menjadi pemuda. Siapakah yang dimaksud syabab dalam hadits tersebut? Fauzil Adhim dalam buku Indahnya Pernikahan Dini menjelaskan, syabab adalah sesesorang yang telah mencapai masa aqil-baligh dan usianya belum mencapai tiga puluh tahun.

Masa aqil baligh ini umumnya telah dialami pada rentang usia sekitar 14-17 tahun. Salah satu tanda yang menjadi patokan aqil baligh adalah datangnya ihtilam (mimpi basah). Akan tetapi, pada masa sekarang, datangnya ihtilam sering tidak sejalan dengan telah cukup matangnya pikiran. Sehingga generasi yang lahir pada zaman ini banyak yang telah memiliki kematangan seksual tetapi belum memiliki kedewasaan berpikir.

Jika seorang laki-laki telah mencapai aqil-baligh dan memiliki ba’ah, mampu menunaikan kewajiban baik batin maupun lahir (materi), ia dianjurkan oleh Rasulullah untuk segera menikah. Jadi secara fisik ia telah mengalami kematangan seksual, dari segi akal ia telah mencapai kematangan berpikir (ditandai dengan sifat rasyid dasar yang mampu mengambil pertimbangan sehat dalam memutuskan sesuatu dan bertanggungjawab), dan dari segi maliyah ia bisa mencari nafkah, ia disunnahkan untuk segera menikah meskipun usianya masih 20-an tahun.

Bagaimana dengan pemudi (wanita)? Untuk para gadis, syaratnya bahkan lebih mudah. Sebab, ia tidak seperti laki-laki yang dibebani kewajiban mencari nafkah. Sehingga, asalkan ia sudah aqil baligh (ditandai dengan menstruasi) dan memiliki kematangan berpikir, ia boleh dan dianjurkan untuk menikah. Tentu saja –bagi keduanya, pemuda maupun pemudi- bekal agama yang sekaligus membuatnya dewasa dalam mengarungi bahtera rumah tangga perlu untuk dimiliki.

Karena itulah kita mendapati di dalam sirah nabawiyah dan sirah shahabiyah, para shahabat dan para shahabiyah telah menikah di usia mereka yang masih sangat muda. Fatimah Az Zahra menikah pada usia 19 tahun, sedangkan Ali bin Abu Thalib saat itu berusia 25 tahun. Rasulullah sendiri juga menikah di usia 25 tahun.

Jika Ali dan Fatimah menikah pada saat keduanya di usia muda, pernikahan dalam Islam tidak selalu seperti itu. Rasulullah yang menikah pada usia 25 tahun, saat itu istri beliau Khadijah telah berusia 40 tahun.

Yang terkenal menikah di usia paling muda adalah ummul mukminin Aisyah. Menurut sebagian riwayat, beliau dinikahi Nabi pada usia 7 tahun kemudian mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi ada data berbeda yang menyebutkan bahwa beliau dinikahi oleh Rasulullah pada usia 14 tahun. Wallahu a’lam bish shawab.

Seperti Rasulullah dan Aisyah yang usianya terpaut jauh, Utsman bin Affan juga pernah menikah dengan gadis belia. Saat rambut Utsman telah memutih, beliau menikah dengan Nailah yang masih berusia 18 tahun. Namun begitulah, Islam menghadirkan kebahagiaan dalam rumah tangga tanpa peduli usia. Menikah dengan sesama usia muda mengandung banyak berkah. Namun, menikah saat muda dengan pasangan yang jauh lebih dewasa juga terbukti tidak bermasalah. Dari niat, segalanya dimulai. Dan dari niat, Allah menilai. []

0 *5 Hikmah Nikah Muda*


ANJURAN telah banyak disinggung oleh Allah dalam al-Quran dan Nabi lewat perkataan dan perbuatannya. Hikmah yang terserak di balik anjuran tersebut bertebaran mewarnai perjalanan hidup manusia.
Secara sederhana, setidaknya ada 5 (lima) hikmah di balik perintah menikah dalam Islam.

Pertama, sebagai wadah birahi manusia
Allah ciptakan manusia dengan menyisipkan hawa nafsu dalam dirinya. Ada kalanya nafsu bereaksi positif dan ada kalanya negatif.
Manusia yang tidak bisa mengendalikan nafsu birahi dan menempatakannya sesuai wadah yang telah ditentukan, akan sangat mudah terjebak pada ajang baku syahwat terlarang. Pintu pernikahan adalah sarana yang tepat nan jitu dalam mewadahi ‘aspirasi’ nulari normal seorang anak keturunan Adam.

Kedua, meneguhkan akhlak terpuji
Dengan menikah, dua anak manusia yang berlawanan jenis tengah berusaha dan selalu berupaya membentengi serta menjaga harkat dan martabatnya sebagai hamba Allah yang baik.
Akhlak dalam Islam sangatlah penting. Lenyapnya akhlak dari diri seseorang merupakan lonceng kebinasaan, bukan saja bagi dirinya bahkan bagi suatu bangsa. Kenyataan yang ada selama ini menujukkkan gejala tidak baik, ditandai merosotnya moral sebagian kawula muda dalam pergaulan.
Jauh sebelumnya, Nabi telah memberikan suntikan motivasi kepada para pemuda untuk menikah, “Wahai para pemuda, barangsiapa sudah memiliki kemampuan untuk menafkahi, maka hendaknya ia menikah, karena menikah dapat meredam keliaran pandangan, pemelihara kemaluan. Barangsiapa yang belum mampu, hendaknya ia berpuasa, sebab puasa adalah sebaik-baik benteng diri.” (HR. Bukhari-Muslim)

Ketiga, membangun rumah tangga islami
Slogan “sakinah, mawaddah, wa rahmah” tidak akan menjadi kenyataan jika tanpa dilalui proses menikah. Tidak ada kisah menawan dari insan-insan terdahulu maupun sekarang hingga mereka sukses mendidik putra-putri dan keturunan bila tanpa menikah yang diteruskan dengan membangun biduk rumah tangga islami.
Layaknya perahu, perjalanan rumah tangga kadang terombang-ambing ombak di lautan. Ada aral melintang. Ada kesulitan datang menghadang. Semuanya adalah tantangan dan riak-riak yang berbanding lurus dengan keteguhan sikap dan komitmen membangun rumah tangga ala Rasul dan sahabatnya.
Sabar dan syukur adalah kunci meraih hikmah ketiga ini. Diriwayatkan tentang sayidina umar yang memperoleh cobaan dalam membangun rumah tangga.
Suatu hari, Seorang laki-laki berjalan tergesa-gesa menuju kediaman khalifah Umar bin Khatab. Ia ingin mengadu pada khalifah, tak tahan dengan kecerewetan istrinya.
Begitu sampai di depan rumah khalifah, laki-laki itu tertegun. Dari dalam rumah terdengar istri Umar sedang ngomel, marah-marah. Cerewetnya melebihi istri yang akan diadukannya pada Umar. Tapi, tak sepatah katapun terdengar keluhan dari mulut khalifah. Umar diam saja, mendengarkan istrinya yang sedang gundah.Akhirnya lelaki itu mengurungkan niatnya, batal melaporkan istrinya pada Umar.
Apa yang membuat seorang Umar bin Khatab yang disegani kawan maupun lawan, berdiam diri saat istrinya ngomel? Beliau berkata, “Wahai saudaraku, istriku adalah yang memasak masakan untukku, mencuci pakaian-pakaianku, menunaikan hajat-hajatku, menyusui anak-anakku. Jika beberapa kali ia berbuat tidak baik kepada kita, janganlah kita hanya mengingat keburukannya dan melupakan kebaikannya.”
Pasangan yang ingin membangun rumah tangga islami mesti menyertakan prinsip kesabaran dan rasa syukur dalam mempertahankan ‘perahu daratannya’.

Keempat, memotivasi semangat ibadah
Risalah Islam tegas memberikan keterangan pada umat manusia, bahwa tidaklah mereka diciptakan oleh Allah kecuali untuk bersembah sujud, beribadah kepada-Nya.
Dengan menikah, diharapkan pasangan suami-istri saling mengingatkan kesalahan dan kealpaan. Dengan menikah satu sama lain memberi nasihat untuk menunaikan hak Allah dan Rasul-Nya.
Lebih dari itu, hubungan biologis antara laki dan perempuan dalam ikatan suci pernikahan terhitung sebagai sedekah. Seperti diungkap oleh rasul dalam haditsnya, “Dan persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah sedekah.” “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?” Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa, demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala.” (HR. Muslim)

Kelima, melahirkan keturunan yang baik
Hikmah menikah adalah melahirkan anak-anak yang salih, berkualitas iman dan takwanya, cerdas secara spiritual, emosional, maupun intelektual.
Dengan menikah, orangtua bertanggung jawab dalam mendidik anak-anaknya sebagai generasi yang bertakwa dan beriman kepada Allah. Tanpa pendidikan yang baik tentulah tak akan mampu melahikan generasi yang baik pula.
Lima hikmah menikah di atas, adalah satu aspek dari sekian banyak aspek di balik titah menikah yang digaungkan Islam kepada umat. Saatnya, muda-mudi berpikir keras, mencari jodoh yang baik, bermusyawarah dengan Allah dan keluarga, cari dan temukan pasangan yang beriman, berperangai mulia, berkualitas secara agama, lalu menikahlah dan nikmati hikmah-hikmahnya. Wallahu A`lam.

0 Faedah Menikah Di Usia Muda



Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam dan satu-satunya layak untuk disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, para sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari kiamat.
Menikah di usia muda, siapa takut?
Berikut penjelasan yang bagus dari ulama besar Saudi Arabia, Syaikh Sholih bin Fauzan bin ‘Abdillah Al Fauzan -hafizhohullah- yang kami kutip dari Web Sahab.net (arabic).

[Faedah pertama: Hati semakin tenang dan sejuk dengan adanya istri dan anak]
Di antara faedah segera menikah adalah lebih mudah menghasilkan anak yang dapat menyejukkan jiwa. Allah Ta’ala berfirman,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)
Istri dan anak adalah penyejuk hati. Oleh karena itu, Allah -subhanahu wa ta’ala- menjanjikan dan mengabarkan bahwa menikah dapat membuat jiwa semakin tentram. Dengan menikah seorang pemuda akan merasakan ketenangan, oleh karenanya ia pun bersegera untuk menikah.

هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ

Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa. ” (QS. Al Furqon: 74)
Demikian pula dengan anak. Allah pun mengabarkan bahwa anak adalah separuh dari perhiasan dunia sebagaimana firman-Nya,

الْمَالُ وَالْبَنُونَ زِينَةُ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا

Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan. ” (QS. Al Kahfi: 46)
Anak adalah perhiasan kehidupan dunia. Setiap manusia pasti menginginkan perhiasan yang menyejukkan pandangan. Sebagaimana manusia pun begitu suka mencari harta, ia pun senang jika mendapatkan anak. Karena anak sama halnya dengan harta dunia, yaitu sebagai perhiasan kehidupan dunia. Inilah faedah memiliki anak dalam kehidupan dunia.
Sedangkan untuk kehidupan akhirat, anak yang sholih akan terus memberikan manfaat kepada kedua orang tuanya, sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث : علم ينتفع به ، أو صدقة جارية ، أو ولد صالح يدعو له

Jika manusia itu mati, maka amalannya akan terputus kecuali tiga perkara: [1] ilmu yang bermanfaat, [2] sedekah jariyah, dan [3] anak sholih yang selalu mendoakannya.”1
Hal ini menunjukkan bahwa anak memberikan faedah yang besar dalam kehidupan dunia dan nanti setelah kematian.

[Faedah kedua: Bersegera nikah akan mudah memperbanyak umat ini]
Faedah lainnya, bersegera menikah juga lebih mudah memperbanyak anak, sehingga umat Islam pun akan bertambah banyak. Oleh karena itu, setiap manusia dituntut untuk bekerjasama dalam nikah membentuk masyarakat Islami. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

تزوجوا فإني مكاثر بكم يوم القيامة

Menikahlah kalian. Karena aku begitu bangga dengan banyaknya umatku pada hari kiamat.2 Atau sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Intinya, bersegera menikah memiliki manfaat dan dampak yang luar biasa. Namun ketika saya memaparkan hal ini kepada para pemuda, ada beberapa rintangan yang muncul di tengah-tengah mereka.

Rintangan pertama:
Ada yang mengutarakan bahwa nikah di usia muda akan membuat lalai dari mendapatkan ilmu dan menyulitkan dalam belajar. Ketahuilah, rintangan semacam ini tidak senyatanya benar. Yang ada pada bahkan sebaliknya. Karena bersegera menikah memiliki keistimewaan sebagaimana yang kami utarakan yaitu orang yang segera menikah akan lebih mudah merasa ketenangan jiwa. Adanya ketenangan semacam ini dan mendapatkan penyejuk jiwa dari anak maupun istri dapat lebih menolong seseorang untuk mendapatkan ilmu. Jika jiwa dan pikirannya telah tenang karena istri dan anaknya di sampingnya, maka ia akan semakin mudah untuk mendapatkan ilmu.
Adapun seseorang yang belum menikah, maka pada hakikatnya dirinya terus terhalangi untuk mendapatkan ilmu. Jika pikiran dan jiwa masih terus merasakan was-was, maka ia pun sulit mendapatkan ilmu. Namun jika ia bersegera menikah, lalu jiwanya tenang, maka ini akan lebih akan menolongnya. Inilah yang memudahkan seseorang dalam belajar dan tidak seperti yang dinyatakan oleh segelintir orang.
Rintangan kedua:
Ada yang mengatakan bahwa nikah di usia muda dapat membebani seorang pemuda dalam mencari nafkah untuk anak dan istrinya. Rintangan ini pun tidak selamanya bisa diterima. Karena yang namanya pernikahan akan senantiasa membawa keberkahan (bertambahnya kebaikan) dan akan membawa pada kebaikan. Menjalani nikah berarti melakukan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Ketaatan seperti ini adalah suatu kebaikan. Seorang pemuda yang menikah berarti telah menjalankan perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia pun mencari janji kebaikan dan membenarkan niatnya, maka inilah yang sebab datangnya kebaikan untuknya. Ingatlah, semua rizki itu di tangan Allah sebagaimana firman-Nya,

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud: 6)
Jika engkau menjalani nikah, maka Allah akan memudahkan rizki untuk dirimu dan anak-anakmu. Allah Ta’ala berfirman,

نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ

Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An’am: 151)
Oleh karenanya ,yang namanya menikah tidaklah membebani seorang pemuda sebagaimana anggapan bahwa menikah dapat membebani seorang pemuda di luar kemampuannya. Ini tidaklah benar. Karena dengan menikah akan semakin mudah mendapatkan kebaikan dan keberkahan. Menikah adalah ketetapan Allah untuk manusia yang seharusnya mereka jalani. Ia bukan semata-mata khayalan. Menikah termasuk salah pintu mendatangkan kebaikan bagi siapa yang benar niatnya.
-Demikian penjelasan dari Syaikh Sholih Al Fauzan-

Semoga Allah memudahkan para pemuda untuk mewujudkan hal ini dengan tetap mempertimbangkan maslahat dan mudhorot (bahaya). Jika ingin segera menikah dan sudah merasa mampu dalam menafkahi istri, maka lobilah orang tua dengan cara yang baik. Semoga Allah mudahkan.

Muhammad Abduh Tuasikal

0 Nikmatnya Menikah diwaktu Muda



Menikah diwaktu muda mungkin ada sebagian orang yang menafikan tentang keindahan dan kenikmatan yang dirasakan bagi pasangan tersebut. Banyak hal miring yang dilontarkan oleh beberapa orang untuk menggunjingkan pemuda yang berani menikah, sedangkan umurnya masih muda. Ada yang beranggapan bahwa masa muda adalah masa untuk senang-senang, masa untuk mewujudkan mimpi, masa bebas untuk berbuat sekehendak hati dll. 
Anggapan tersebut ternyata tidak semuanya benar. Adakalanya masa muda adalah masa yang kritis dan berbahaya sekaligus rentan. Jika saja sangpemuda tidak pandai membentengi diri, niscaya akan banyak dari mereka yang terjerumus kelembah kemaksiatan. Perzinahan, pemerkosaan, pembunuhan dll. Itu semua akibat lemahnya iman yang ada pada diri pemuda. Buka artikel sebelumnya: Larangan untuk membujang
Oleh karenanya Rasulullah SAW memerintahkan bagi mereka yang ‘mampu’ untuk segera menikah:
يَامَعْشَرَ الشَّبَابِ: مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ، فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.
“Wahai kaum muda, barangsiapa di antara kalian telah mampu maka hendaknya menikah, karena ia lebih menundukkan pandangan dan lebih memelihara kemaluan. Dan barangsiapa yang belum mampu, maka hendaknya ia berpuasa, sebab ia dapat mengekangnya.” Shahiih al-Bukhari (IX/112, no. 5066)
Berikut ulasan tentang indahnya, nikmatnya nikah, dan sekaligus sangkalan atau bantahan bagi mereka yang belum berani menikah diusia muda:
1. Ada yang mengatakan bahwa nikah di usia muda dapat membebani seorang pemuda dalam mencari nafkah untuk anak dan istrinya. 
Hal ini tidak selamanya benar, dan tidak perlu merasa ketakutan akan kekurangan rezeki. Sesungguhnya jika kita menyadari dan yakin dengan sepenuhnya, menikah itu membawa keberkahan dan kebaikan bagi suami dan istri. Menikah atas dasar lillahita’ala demi menjaga hati dan diri agar tidak terjerumus dalam kenistaan, berarti orang tersebut telah menjalankan apa yang Rasulullah perintahkan sesuai dengan hadits diatas.
Pastikan diri kita selalu sadar bahwa semua rizki itu di tangan Allah sebagaimana firman-Nya,
وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الأَرْضِ إِلاَّ عَلَى اللهِ رِزْقُهَا

“Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allah-lah yang memberi rezkinya.” (QS. Hud: 6)

Jika engkau menjalani nikah, maka Allah akan memudahkan rizki untuk dirimu dan anak-anakmu. Allah Ta'ala berfirman,
نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُم
Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka.” (QS. Al An'am: 151
2. Nikah di usia muda akan membuat lalai dalam menuntut ilmu dan menyulitkan dalam belajar
Alasan kedua ini juga tidak benar. Siapa bilang menikah muda menghambat kita dalam mencari ilmu? Siapa bilang nikah menyulitkan kita dalam belajar? Yang berani mengatakan demikian, pasti mereka ini belum merasakan nikmatnya belajar sambil bercanda ria dengan pasangan yang halal. Benarkah?
Sungguh salah sekali jika menikah itu menghambat karir kita, malahan justru sebaliknya. Menikah muda yang diiringi dengan mengejar karir itu memiliki keistimewaan tersendiri. Jika kita segera menikah, maka akan lebih mudah untuk mendapat ketenangan jiwa dan mendapatkan penyejuk hati karena anak maupun istri. Bahkan istri tersebut dapat lebih menolong kita untuk mendapatkan ilmu. Jika jiwa dan pikiran telah tenang karena istri dan anak, maka kita akan semakin mudah untuk mendapatkan ilmu.

Adapun seseorang yang belum menikah, maka pada hakikatnya dirinya terus terhalangi untuk mendapatkan ilmu. Jika pikiran dan jiwa masih terus merasakan was-was, maka ia pun sulit mendapatkan ilmu. Namun jika ia bersegera menikah, lalu jiwanya tenang, maka ini akan lebih akan menolongnya. Inilah yang memudahkan seseorang dalam belajar dan tidak seperti yang dinyatakan oleh segelintir orang.
Ketahuilah bahwa Allah sendiri telah berjanji untuk senantiasa menolong orang yang berani menyempurnakan sunah Rasulullah SAW tersebut. Dalam hadits dikatakan:
ثلاثة حق على الله عونه: الناكح الذي يريد العفاف و المكاتب الذي يريد الأداء و الغازي في سبيل الله (رواه أحمد و الترمذي و الحاكم)
“Ada tiga golongan yang pasti akan ditolong oleh Allah SWT. Yaitu:
1, Orang yang menikah karena menjaga kehormatannya
2. Budak yang mengadakan perjanjian dengan tuannya untuk memerdekakan dirinya dengan bayaran tebusan tertentu
3. Orang yang berperang dijalan Allah.
Menikah adalah ketetapan Allah untuk manusia yang seharusnya kita jalani, bukan semata-mata khayalan. Menikah termasuk salah satu pintu mendatangkan kebaikan bagi siapa yang benar niatnya. Dan dengan segera menikah kita akan semakin mudah mendapatkan kebaikan dan keberkahan. 
Lantas, kenapa tidak segera menikah? Apa yang menghalangimu untuk tidak segera menikah?
NIkah muda? Okeh, siapa takut…!
Artikel: www.solusiislam.com

Sabtu, 24 Mei 2014

0 Syahidnya Husein Radhiallahu ‘anhu di Padang Karbala

karbala 10

0 Nasehat Indah untuk Wanita

Nasehat Indah untuk Wanita 0

Wasiat Seorang Ibu Kepada Anak Perempuannya

Anjuran Berwasiat Kepada Calon Isteri
Anas mengatakan bahwasanya para sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam jika mempersembahkan (menikahkan) anak perempuan kepada calon suaminya, mereka memerintahkan kepadanya untuk berkhidmat kepada suami dan senantiasa menjaga hak suami.
Pesan Bapak Kepada Anak Perempuannya Saat Pernikahan
Abdullah bin Ja’far bin Abu Thalib mewasiatkan anak perempuannya, seraya berkata, “Jauhilah olehmu perasaan cemburu, karena rasa cemburu adalah kunci jatuhnya thalak. Juga jauhilah olehmu banyak mengeluh, karena keluh kesah menimbulkan kemarahan, dan hendaklah kamu memakai celak mata karena itu adalah perhiasan yang paling indah dan wewangian yang paling harum”.
Pesan Ibu Kepada Anak Perempuannya
Diriwayatkan bahwa Asma binti Kharijah Al-Farzari berpesan kepada anak perempuannya disaat pernikahannya, “Sesungguhnya engkau telah keluar dari sarang yang engkau tempati menuju hamparan yang tidak engkau ketahui, juga menuju teman yang engkau belum merasa rukun dengannya. Oleh karena itu jadilah engkau sebagai bumi baginya, maka dia akan menjadi langit untukmu. Jadilah engkau hamparan baginya, niscaya ia akan menjadi tiang untukmu. Jadilah engkau hamba sahaya baginya, maka niscaya ia akan menjadi hamba untukmu. Janganlah engkau meremehkannya, karena niscaya dia akan membencimu dan janganlah menjauh darinya karena dia akan melupakanmu. Jika dia mendekat kepadamu maka dekatkanlah dirimu, dan jika dia menjauhimu maka menjauhlah darinya. Jagalah hidungnya, pendengarannya, dan matanya. Janganlah ia mencium sesuatu darimu kecuali wewangian dan janganlah ia melihatmu kecuali engkau dalam keadaan cantik. [1]
Pesan Amamah binti Harits Kepada Anak Perempuannya Saat Pernikahan.
Amamah bin Harits berpesan kepda anak perempuannya tatkala membawanya kepada calon suaminya, “Wahai anak perempuanku! Bahwasanya jika wasiat ditinggalkan karena suatu keistimewaan atau keturunan maka aku menjauh darimu. Akan tetapi wasiat merupakan pengingat bagi orang yang mulia dan bekal bagi orang yang berakal. Wahai anak perempuanku! Jika seorang perempuan merasa cukup terhadap suami lantaran kekayaan kedua orang tuanya dan hajat kedua orang tua kepadanya, maka aku adalah orang yang paling merasa cukup dari semua itu. Akan tetapi perempuan diciptakan untuk laki-laki dan laki-lakai diciptakan untuk perempuan. Oleh karena itu, wahai anak perempuanku! Jagalah sepuluh perkara ini.
Pertama dan kedua : Perlakuan dengan sifat qana’ah dan mu’asyarah melalui perhatian yang baik dan ta’at, karena pada qan’aah terdapat kebahagiaan qalbu, dan pada ketaatan terdapat keridhaan Tuhan.
Ketiga dan keempat : Buatlah janji dihadapannya dan beritrospeksilah dihadapannya. Jangan sampai ia memandang jelek dirimu, dan jangan sampai ia mencium darimu kecuali wewangian.
Kelima dan keenam : Perhatikanlah waktu makan dan tenangkanlah ia tatkala tidur, karena panas kelaparan sangat menjengkelkan dan gangguan tidur menjengkelkan.
Ketujuh dan kedelapan : Jagalah harta dan keluarganya. Dikarenakan kekuasaan dalam harta artinya pengaturan keuangan yang bagus, dan kekuasaan dalam keluarga artinya perlakuan yang baik.
Kesembilan dan kesepuluh : Jangan engkau sebarluaskan rahasianya, serta jangan engkau langgar peraturannya. Jika engkau menyebarluaskan rahasianya berarti engkau tidak menjaga kehormatannya. Jika engkau melanggar perintahnya berarti engkau merobek dadanya. [2]
Bahwasanya keagungan baginya yang paling besar adalah kemuliaan yang engkau persembahkan untuknya, dan kedamaian yang paling besar baginya adalah perlakuanmu yang paling baik. Ketahuilah, bahwasanya engkau tidak merasakan hal tersebut, sehingga engkau mempengaruhi keinginannya terhadap keinginanmu dan keridhaannya terhadap keridhaanmu (baik terhadap hal yang engkau sukai atau yang engkau benci). Jauhilah menampakkan kebahagiaan dihadapannya jika ia sedang risau, atau menampakkan kesedihan tatkala ia sedang gembira.
Tatkala Ibnu Al-Ahwash membawa anak perempuannya kepada amirul mukminin Ustman bin Affan Radhiyallahu ‘anhu, dan orang tuanya telah memberinya nasihat, Ustman berkata, “Pondasi mana saja, bahwasanya engkau mengutamakan perempuan dari suku Quraisy, karena mereka adalah perempuan yang paling pandai memakai wewangian daripada engkau. Oleh karena itu perliharalah dua perkataan : Nikahlah dan pakailah wewangian dengan menggunakan air hingga wangimu seperti bau yang ditimpa air hujan.
Ummu Mu’ashirah menasihati anak perempuannya dengan nasihat sebagai berikut (sungguh aku membuatnya tersenyum bercampur sedih): Wahai anakku.. engkau menerima untuk menempuh hidup baru… kehidupan yang mana ibu dan bapakmu tidak mempunyai tempat di dalamnya, atau salah seorang dari saudaramu. Dalam kehidupan tersebut engkau menjadi teman bagi suamimu, yang tidak menginginkan seorangpun ikut campur dalam urusanmu, bahkan juga daging darahmu. Jadilah istri untuknya wahai anakku, dan jadilah ibu untuknya. Kemudian jadikanlah ia merasakan bahwa engkau adalah segala-galanya dalam kehidupannya, dan segala-galanya di dunia.
Ingatlah selalu bahwasanaya laki-laki anak-anak atau dewasa memiliki kata-kata manis yang lebih sedikit, yang dapat membahagiankannya. Janganlah engkau membuatnya berperasaan bahwa dia menikahimu menyebabkanmu merasa jauh dari keluarga dan sanak kerabatmu. Sesungguhnya perasaan ini sama dengan yang ia rasakan, karena dia juga meninggalkan rumah orang tuanya, dan keluarga karena dirimu. Tetapi perbedaan antara dia dan kamu adalah perbedaan antara laki-laki dan perempuan, dan perempuan selalu rindu kepada keluarga dan tempat ia dilahirkan, berkembang, besar dan menimba ilmu pengetahuan. Akan tetapi sebagai seorang isteri ia harus kembali kepada kehidupan baru. Dia harus membangun hidupnya bersama laki-laki yang menjadi suami dan perlindungannya, serta bapak dari anak-anaknya. Inilah duaniamu yang baru.
Wahai anakku, inilah kenyataan yang engkau hadapi dan inilah masa depanmu. Inilah keluargamu, dimana engkau dan suamimu bekerja sama dalam mengarungi bahtera rumah tannga. Adapun bapakmu, itu dulu. Sesungguhnya aku tidak memintamu untuk melupakan bapakmu, ibumu dan sanak saudaramu, karena mereka tidak akan melupakanmu selamanya wahai buah hatiku. Bagaimana mungkin seorang ibu melupakan buah hatinya. Akan tetapi aku memintamu untuk mencintai suamimu dan hidup bersamanya, dan engkau bahagia dengan kehidupan berumu bersamanya.
Seorang perempuan berwasiat kepada anak perempuannya, seraya berkata, “Wahai anakku, jangan kamu lupa dengan kebersihan badanmu, karena kebersihan badanmu menambah kecintaan suamimu padamu. Kebersihan rumahmu dapat melapangkan dadamu, memperbaiki hubunganmu, menyinari wajahmu sehingga menjadikanmu selalu cantik, dicintai, serta dimuliakan di sisi suamimu. Selain itu disenangi keluargamu, kerabatmu, para tamu, dan setiap orang yang melihat kebersihan badan dan rumah akan merasakan ketentraman dan kesenangan jiwa”.
[Disalin dari buku Risalah Ilal Arusain wa Fatawa Az-Zawaz wa Muasyaratu An-Nisaa, Edisi Indonesia Petunjuk Praktis dan Fatwa Pernikahan, Penulis Abu Abdurrahman Ash-Shahibi,Penerbit Najla Press]
_________
FooteNote
[1]. Ahkamu An-Nisa karangan Ibnu Al-Jauzi hal.79
[2]. Ahkamu An-Nisa karangan Ibnu Al-Jauzi hal.80

sumber. kisahmuslim.com

0 Hikmah dari Perjalanan Isra dan Mi’raj

Hikmah dari Perjalanan Isra dan Mi’raj 
Perjalanan isra dan mi’raj merupakan perjalanan yang penuh berkah yang menunjukkan betapa Maha Kuasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bagaimana seorang hamba –Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bersama ruh dan jasadnya menempuh jarak ribuan bahkan jutaan kilometer hanya dalam satu malam saja. Dan dalam perjalanan yang sedemikian cepat tersebut, Allah kuasakan Nabi Muhammad mampu melihat keadaan sekitar yang beliau lewati, baik kejadian atau keadaan saat isra maupun mi’raj.
Imam as-Suyuthi adalah di antara ulama yang menjelaskan beberapa hikmah perjalanan isra mi’raj. Beliau mengatakan tentang hikmah perjalanan isra dilakukan di malam hari karena malam hari adalah waktu yang tenang menyendiri dan waktu yang khusus. Itulah waktu shalat yang diwajibkan atas Nabi, sebagaimana dalam firman-Nya, “Berdirilah shalat di malam hari” (QS. Al-Muzammil: 2) (as-Suyuthi, al-Khasha-is an-Nabawiyah al-Kubra, Hal: 391-392).
Abu Muhammad bin Abi Hamzah mengatakan, “Hikmah perjalanan isra menuju Baitul Maqdis sebelum naik ke langit adalah untuk menampakkan kebenaran terjadinya peristiwa ini dan membantah orang-orang yang ingin mendustakannya. Apabila perjalanan isra dari Mekah langsung menuju langit, maka sulit dilakukan penjelasan dan pembuktian kepada orang-orang yang mengingkari peristiwa ini. Ketika dikatakan bahwa Nabi Muhammad memulai perjalanan isra ke Baitul Maqdis, orang-orang yang hendak mengingkari pun bertanya tentang ciri-ciri Baitul Maqdis sebagaimana yang pernah mereka lihat, dan mereka pun tahu bahwa Nabi Muhammad belum pernah melihatnya. Saat Rasulullah mengabarkan ciri-cirinya, mereka sadar bahwa peristiwa isra di malam itu benar-benar terjadi. Kalau mereka membenarkan apa yang beliau katakan tentang isra konsekuensinya mereka juga harus membenarkan kabar-kabar yang datang sebelumnya (risalah kenabian). Peristiwa itu menambah iman orang-orang yang beriman dan membuat orang-orang yang celaka bertambah keras bantahannya (Ibnu Hajar, Fathul Bari, 7: 200-201).
Dan termasuk hikmah perjalanan isra mi’raj Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah isyarat bagi umat Islam agar menjaga bumi al-Quds dari para penyusup dan orang-orang yang tidak senang terhadap Islam. Khususnya bagi kaum muslimin saat ini, agar tidak merasa rendah, takut, dan lemah dalam memperjuangkan al-Quds dari tangan orang-orang Yahudi (al-Buthi, Fiqh ash-Shirah an-Nabawiyah, Hal: 113)
Adapun hikmah dari peristiwa mi’raj dimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memilih susu daripada khamr menunjukkan fitrah dan murninya ajaran Islam yang sesuai dengan tabiat manusia. Sedangkan peristiwa terbukanya pintu langit yang sebelumnya terkunci, lalu Jibril ‘alaihissalam meminta untuk dibukakan, yang demikian agar alam semesta mengetahui bahwa sebelum kedatangan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam hal ini belum pernah dilakukan. Sekiranya tidak demikian, mungkin orang akan menyangka bahwa pintu langit senantiasa terbuka. Dan Allah Ta’ala juga hendak mengabarkan bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dikenal oleh penduduk langit. Oleh karena itu, ketika pintu langit dibukakan, lalu Malaikat Jibril mengatakan kepada penjaga langit bahwa ia bersama Muhammad, malaikat penjaga tersebut bertanya, “Apakah dia telah diutus?” Bukan bertanya, “Siapa Muhammad?” (as-Suyuthi, al-Khasha-is an-Nabawiyah al-Kubra, 391-392).
As-Suyuthi melanjutkan, hikmah beliau dipertemukan dengan Nabi Adam ‘alaihissalam pada langit pertama karena Nabi Adam adalah nabi dan manusia pertama. Di langit kedua bertemu dengan Nabi Isa ‘alaihissalam karena Nabi Isa adalah yang paling dekat masanya dengan Nabi Muhammad ‘alahima shalatu wa salam. Kemudian di langit ketiga bertemu dengan Nabi Yusuf, karena umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam akan masuk ke dalam surga dengan penampilan serupawan Nabi Yusuf. Berikutnya Nabi Idris, dikatakan bahwa beliaulah yang pertama kali diangkat ke langit sebelum Nabi Isa dan Nabi Muhammad. Kemudian bertemu dengan Nabi Harun karena dia adalah saudara Nabi Musa yang mendapinginya dalam berjuang. Setelah itu berjumpa Nabi Musa karena keutamaan beliau pernah diajak berbicara oleh Allah. Dan terakhir adalah Nabi Ibrahim karena beliau adalah bapak pilihan yakni bapak para nabi.
Imam al-Qurthubi menyatakan, pengkhususkan Nabi Musa dalam peristiwa shalat. Ada yang mengatakan karena Nabi Musa adalah nabi yang paling dekat posisinya saat Nabi Muhmmad turun. Ada juga yang mengatakan umatnya lebih banyak dari umat nabi selainnya. Ada lagi yang berpendapat karena kitab suci yang diturunkan kepada Nabi Musa adalah kitab yang paling mulia kedudukan dan hukum syariatnya sebelum Alquran diturunkan. Atau juga karena umat Nabi Musa dibebankan amalan shalat sebagaimana umat nabi lainnya, lalu mereka merasa berat dengan syariat tersebut, maka Nabi Musa kasihan dengan umat Nabi Muhammad. Pendapat terakhir ini dikuatkan dengan riwayat tentang perkataan Nabi Musa,
أنا أعلم بالناس منك
“Saya lebih mengetahui karakter manusia dibanding Anda.”
Tidak heran Alquran banyak sekali memuat kisah Nabi Musa, tujuannya adalah agar kita banyak-banyak mengambil hikmah dari perjalanan hidup beliau, perjalanan dakwahnya, dll.
Pengkhususan syariat shalat melalui perjalanan mi’raj karena ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mi’raj di malam itu, para malaikat sedang beribadah. Di antara mereka ada yang berdiri dan tidak duduk, ada yang terus rukuk dan tidak sujud, ada yang terus sujud dan tidak duduk, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala mengumpulkan semua ibadah ini untuk umat Nabi Muhammad. Seorang hamba menggabungkan berdiri, rukuk, sujud, dan duduk dalam satu rakaat saja (Muhammad Amin bin Ahmad Janki, ash-Shirah an-Nabawiyah min al-Fathi al-Bari, 1: 239-240).
Dengan perjalanan isra mi’raj ini, Allah menginginkan agar hamba dan Rasul-Nya merasakan periode baru dalam berdakwah, sebagaimana Nabi Musa juga mengalami periode baru dengan berangkat langsung mendakwahi Firaun dan diangkatnya saudaranya Harun untuk mendampingi dakwahnya. Nabi Musa sebelum diperintahkan untuk menemui Firaun telah Allah siapkan dengan berbagai macam mukjizat dan keutamaan agar beliau siap. Allah berfirman kepada Nabi Musa,
لِنُرِيَكَ مِنْ آَيَاتِنَا الْكُبْرَى اذْهَبْ إِلَى فِرْعَوْنَ إِنَّهُ طَغَى
“untuk Kami perlihatkan kepadamu sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Kami yang sangat besar, Pergilah kepada Fir´aun; sesungguhnya ia telah melampaui batas.” (QS. Thaha: 23-24)
Sama halnya dengan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah persiapkan perjalanan dakwah beliau yang panjang dengan membawanya ke suatu fase dimana dipertemukan dengan Jibril, para nabi, surga dan neraka, agar kesabaran beliau kian tertempa dalam menghadapi lika-liku perjalanan dakwah. Allah berfirman kepada Nabi Muhammad,
لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 18)
Lalu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam diistimewakan dengan mengimami para nabi dan dinaikkan menuju sidratul muntaha, suatu keistimewaan yang tidak didapat oleh seoranng pun selain beliau.
Dan sebesar-besar hikmah dari perjalanan isra mi’raj adalah disyariatkannya shalat. Dengan melaksanankan shalat wajib tersebut seorang hamba menegakkan sebuah kewajiban ubudiyah yang mampu meredam hawa nafsu, menanamkan akhlak-akhlak mulia di dalam hati, menyucikan jiwa dari sifat penakut, pelit, keluh kesah, dan putus asa. Dengan shalat kita bisa memohon pertolongan kepada Allah dari permasalahan yang kita hadapi. Allah Ta’ala berfiman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
إِنَّ الإِنْسَانَ خُلِقَ هَلُوعًا إِذَا مَسَّهُ الشَّرُّ جَزُوعًا وَإِذَا مَسَّهُ الْخَيْرُ مَنُوعًا إِلاَّ الْمُصَلِّينَ الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلاَتِهِمْ دَائِمُونَ
“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir, kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, yang mereka itu tetap mengerjakan shalatnya.” (QS. Al-Ma’arij: 19-23)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah seorang yang senantiasa berdiri (shalat) bermunajat kepada Rabbnya, sampai-sampai beliau menemukan kenikmatan dalam mengerjakan shalat. Beliau bersabda,
وَجُعِلَتْ قُرَّةُ عَيْنِي فِي الصَّلاةِ
“Dan dijadikan penyejuk hatiku di dalam shalat.”
Semoga Allah menjadikan kita termasuk orang-orang yang bersemangat dalam mengerjakan shalat dan tidak lalai dalam mengerjakannya. Semoga shalat menjadi penyejuk hati kita dan jalan untuk mendekatkan diri kepada Rabb kita. Amin..
Sumber: Islamstory.com
Oleh nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com

0 Mukjizat Perjalanan Isra dan Mi’raj

Mukjizat Perjalanan Isra dan Mi’raj 
Perjalanan isra dan mi’raj adalah sebuah perjalanan yang menunjukkan kebesaran Allah Ta’ala dan keagungan ayat-ayat-Nya. Sebuah perjalanan yang tidak mampu dicapai oleh kecerdasan akal manapun untuk melogikakannya. Sebuah perjalanan yang menunjukkan betapa mulia orang yang diperjalankan pada malam itu, yakni Nabi kita Muhammad bin Abdullah shalawatu Rabbi wa salamuhu ‘alaihi.
Sebagaimana telah berlalu penjelasan hikmah dari perjalanan isra dan mi’raj, bahwasanya perjalanan ini merupakan anugerah ruhiyah kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, memantapkan hati beliau, dan mengokohkan langkah beliau dalam mengarungi perjalanan dakwah yang begitu berat. Perjalanan ini juga sekaligus menjadi pembeda mana orang-orang yang benar keimanannya kepada beliau dan mana orang-orang yang mengkufurinya.
Isra adalah perjalanan yang dilakukan Nabi di bumi, yang merupakan perjalanan yang ajaib dalam pandangan logika manusia. Perjalanan ini adalah perjalanan dari Masjid al-Haram di Mekah menuju Masjid al-Aqsha di Jerusalem, Palestina. Perjalanan antar negeri ini dilalui dengan kecepatan yang luar biasa, jarak antara kedua masjid atau kota tersebut biasanya ditempuh dalam beberapa hari, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya menempuhnya kurang dari satu malam atau dalam sebagian waktu di malam hari. Allah Ta’ala berfirman,
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلاً مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Isra: 1)
Adapun mi’raj adalah perjalanan langit. Sebuah perjalanan dari bumi kemudian melintasi lapisan langit yang tujuh menuju sidratul muntaha dan kembali lagi ke Masjid al-Haram. Allah Ta’ala berfirman,
وَلَقَدْ رَآَهُ نَزْلَةً أُخْرَى عِنْدَ سِدْرَةِ الْمُنْتَهَى عِنْدَهَا جَنَّةُ الْمَأْوَى إِذْ يَغْشَى السِّدْرَةَ مَا يَغْشَى مَا زَاغَ الْبَصَرُ وَمَا طَغَى لَقَدْ رَأَى مِنْ آَيَاتِ رَبِّهِ الْكُبْرَى
“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. Di dekatnya ada surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratil Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.” (QS. An-Najm: 13-18)
Dua perjalanan ini ditempuh hanya dalam satu malam saja, dan terjadi satu tahun sebelum Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah ke Madinah.
Apakah Isra dan Mi’raj Merupakan Mukjizat?
Sebagaimana telah kita ketahui mukjizat adalah suatu peristiwa atau kejadian menakjubkan yang terjadi di luar kebiasaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala menampakkan kejadian tersebut melalui tangan para nabi dan rasul-Nya sebagai bukti kebenaran dakwah mereka. Kejadian itu tidak mungkin dikalahkan. Selain itu, mukjizat selalu diiringi dengan pengakuan kenabian. Diistilahkan dengan mukjizat karena apa yang datang dari Allah Subhanahu wa Ta’ala itu membuat manusia lemah untuk mendatangkan yang semisal, apalagi mengalahkannya. Mukjizat juga merupakan tantangan yang diajukan oleh orang-orang kafir kepada para nabi, lalu Allah memenangkan nabi-nabi-Nya dari para penentang itu. Inilah makna mukjizat yang disepakati oleh Imam as-Suyuthi dalam al-Itqan fi Ulumil Quran.
Jika disimak dari pengertian di atas, maka isra dan mi’raj tidak mencakup pengertian mukjizat secara utuh karena mukjizat tidak dipinta oleh orang-orang kafir Quraisy Mekah, tidak juga disaksikan oleh mereka sebagaimana mukjizat nabi-nabi lainnya, kemudian para penentang ini tidak dipinta untuk mendatangkan hal serupa. Isra dan mi’raj hanya mengandung bagian dari pengertian mukjizat berupa kejadian menakjubkan yang terjadi di luar kebiasaan.
Isra dan mi’raj adalah ujian bagi kaum muslimin dan pergantian fase dakwah dari satu hal ke hal lainnya sebagaimana hijrah dari Mekah ke Madinah. Allahu a’lam.
Sumber: Islamstory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com

0 Suhaib ar-Rumi Radhiallahu ‘Anhu

Suhaib ar-Rumi Radhiallahu 'Anhu 
Suhaib ar-Rumi radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang di antara sahabat senior Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mungkin tidak dikenal oleh banyak kaum muslimin. Ia merupakan as-sabiquna-l awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Saat jumlah kaum muslimin masih sekitar 30-an orang, Suhaib telah menyatakan keislamannya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan takut akan ancaman kafir Quraisy Mekah.
Suhaib bukanlah penduduk asli Mekah, ia adalah perantau yang datang ke Kota suci tersebut dari kampung halamannya di Bashrah. Nama belakangnya ar-Rumi yang artinya orang Romawi, juga bukanlah menunjukkan jati dirinya yang asli, karena dia adalah orang Arab.
Lalu, bagaimana kisah Suhaib bisa sampai ke Mekah?  Mengapa nama belakangnya ar-Rumi padahal ia orang Arab? Dan bagaimana kisah keislamannya? Simak kisahnya berikut ini.
Latar Belakang
Suhaib adalah anak dari salah seorang hakim di wilayah dekat Bashrah. Saat orang-orang Romawi menyerang daerah tersebut, Suhaib pun menjadi seorang budak Romawi. Ia tumbuh besar di wilayah Romawi tersebut, karena itulah ia dipanggil Suhaib ar-Rumi.
Nama aslinya adalah Suhaib bin Sinan bin Malik, kun-yahnya Abu Yahya. Banyak versi tentang nama aslinya, ada yang mengatakan Khalid bin Abdu Amr bin Aqil, ada juga yang mengatakan Thufail bin Amir bin Jandalah bin Saad bin Khuzaimah. Namun, insya Allah yang lebih tepat Suhaib bin Sinan bin Malik adalah nama asli beliau radhiallahu ‘anhu.
Ternyata, kisah pilunya sebagai budak membawanya kepada suatu hikmah yang tidak dia sangka-sangka. Seorang penjual budak menjualnya kepada salah satu orang kaya Mekah, namanya Abdullah bin Jad’an. Beberapa lama bersama tuan barunya tersebut, Suhaib memperlihatkan kualitas diri yang menunjukkan dia tidak layak menjadi seorang budak. Ia memiliki kecerdasan, etos kerja yang tinggi, dan ketulusan hati. Lalu Abdullah bin Jad’an pun membebaskan Suhaib ar-Rumi, dan berubahlah statusnya dari seorang budak menjadi orang merdeka. Setelah merdeka, Suhaib memulai jalan hidupnya di Mekah sebagai pedagang sehingga ia menjadi salah seorang pedangang yang sukses di Ummul Qura tersebut.
Memeluk Islam
Ammar bin Yasir mengisahkan:
Aku berjumpa dengan Suhaib bin Sinan di depan pintu rumah al-Arqam, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berada di dalam rumah itu. Aku berkata kepada Suhaib, “Apa yang kau inginkan?” Namun Suhaib malah balik bertanya, “Kamu juga, apa yang kau inginkan?” Lalu kujawab, “Aku ingin masuk ke dalam rumah ini menemui Muhammad, lalu mendengarkan apa yang ia sampaikan.” Kata Suhaib, “Aku juga menginginkan hal yang sama.”
Ammar melanjutkan, “Kami berdua pun masuk ke dalam rumah al-Arqm, lalu menyatakan keislaman kami. Lalu kami berdiam di rumah hingga tiba sore hari, kemudian keluar dari rumah dalam keadaan takut.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السباق أربعة: أنا سابق العرب، وصهيب سابق الروم، وبلال سابق الحبشة، وسلمان سابق الفرس
“Empat orang pendahulu: Aku adalah yang paling awal dari kalangan Arab, Suhaib paling awal dari kalangan Romawi, Bilal paling awal dari orang-orang Habasyah, dan Salam yang paling awal dari orang Persia.”
Kedudukan Suhaib
Salah satu peristiwa yang paling terkenal dan sangat mengagumkan dari perjalanan hidup Suhaib adalah kisah hijrahnya beliau radhiallahu ‘anhu. Sebagaimana telah disebutkan, Suhaib adalah seorang yang tidak memiliki apa-apa, lalu datang ke Mekah dan menjadi salah seorang pedagang yang kaya. Lalu datanglah panggilan hijrah, dan Suhaib pun menyambut panggilan tersebut.
Saat dalam perjalanan dari Mekah menuju Madinah, Suhaib dicegat oleh orang-orang Mekah. “Wahai Suhaib, engkau datang kepada kami dalam keadaan miskin dan hina, kemudian hartamu menjadi banyak setelah tinggal di daerah kami. Setelah itu terjadilah di antara kita apa yang terjadi (perselisihan karena Islam). Engkau boleh pergi, tapi tidak dengan semua hartamu.” Suhaib pun meninggalkan hartanya tanpa ia pedulikan sedikit pun.
Kemudian sampailah Suhaib di Madinah, lau ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang langsung mengucapkan,
ربح البيع أبا يحيى.. ربح البيع أبا يحيى
“Perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya, perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya.”
Suhaib berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang melihat apa yang kualami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jibril yang memberi tahuku.”
Lalu turunlah ayat,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)
Suhaib dikenal sebagai seorang sahabat yang sangat dermawan dan sangat suka memberi orang-orang miskin makan. Saking rajinnya Suhaib dalam bersedakah, sampai-sampai Umar bin Khattab menganggapnya mubadzir (karena sedekah tidak tepat sasaran .pen). Kata Umar, “Wahai Suhaib, aku tidak melihat kekurangan pada dirimu kecuali dalam tiga hal: (1) Engkau menisbatkan diri sebagai orang Arab, padahal logatmu logat Romawi, (2) engkau berkun-yah dengan nama Nabi, (3) dan engkau orang yang mubadzir.”  Suhaib menanggapi, “Aku seorang yang mubadzir? Tidaklah aku berinfak kecuali dalam kebenaran. Adapun kun-yahku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang memberinya. Dan logatku logat Romawi, karena sejak kecil aku ditawan orang-orang Romawi. Sehingga logat mereka sangat berpengaruh padaku.” Saat Umar wafat, beliau mewasiatkan agar Suhaib yang menjadi imam shalat jenazahnya.
Ia juga selalu turut serta dalam peperangan yang diikuti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Wafatnya
Suhaib wafat di Kota Madinah pada bulan Syawal tahun 38 H. Saat itu usia beliau 70 tahun. Semoga Allah Ta’ala meridhai beliau dan menempatkannya di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan.
Penutup
Kisah awal perjalanan hidup Suhaib radhiallahu ‘anhu sama halnya dengan apa yang terjadi dengan Nabi Yusuf ‘alaihissalam. Beliau awalnya orang yang merdeka, lalu dijadikan budak dan dijual kepada salah seorang pembesar di negeri Mesir sampai akhirnya menjadi pemimpin di negeri tersebut.
Dari sini dapat kita petik pelajaran, terkadang Allah menimpakan sebuah musibah kepada kita, namun musibah tersebut adalah jalan yang harus kita lalui menjadi orang yang lebih baik atau bahkan orang yang hebat. Nabi Yusuf tidak akan menjadi pembesar di negeri Mesir seandainya beliau tidak menempuh perjalanan hidup menjadi seorang yang disisihkan saudaranya. Suhaib tidak akan mulia menjadi seorang muslim dan sahabat Rasulullah, jika ia tidak menempuh perjalanan hidup menjadi budak yang mengatarkannya ke Mekah hingga bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, janganlah kita berprasangka buruk kepada Allah atas musibah yang menimpa kita. Bisa jadi Allah simpan hikmah yang besar atau Allah persiapkan sesuatu yang istimewa di balik musibah yang kita derita.
Sumber: islamstory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com