Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat digolongkan kepada beberapa priode, yaitu:
(a) Periode 1809 – 1821
Periode ini adalah merupakan pembersihan yang ditakukan oleh kaum Padri terhadap golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan penghulu adat.
Periode ini adalah merupakan pembersihan yang ditakukan oleh kaum Padri terhadap golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam masa ini terjadilah pertempuran antara kaum Padri melawan golongan penghulu adat.
(b) Periode 1821 – 1832
Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda-Kristen yang mau menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa bangsa sendiri yang berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang secara gigih oleh kaum Padri.
Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan Belanda-Kristen yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat. Dalam masa ini sifat pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial Belanda-Kristen yang mau menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para penguasa bangsa sendiri yang berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang secara gigih oleh kaum Padri.
(c) Periode 1832 – 1837
Periode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda-Kristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh para ulama yang tergabunig dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran untuk mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.
Periode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat, dimana kaum Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan penguasa kolonial Belanda-Kristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat dengan dipelopori dan dipmimpin oleh para ulama yang tergabunig dalam kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran untuk mengusir penguasa kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.
Latar Belakang
Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.
Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.
Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:
(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a adalah termasuk perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan ke¬maksiatan;
(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.
(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama dan kekuatan ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat adalah suatu kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a adalah termasuk perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan ke¬maksiatan;
(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.
Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga
penggerak yang sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin
yang sedang tidur lelap dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para
sahahatnya seperti Ibnu Sa’ud dan Abdul Azis Ibnu Sa’ud, pemikiran dan
cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang keras, akhirnya pada tahun
1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di Saudi Arabia
dengan ibukotanya Riyadh.
Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin
dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak
Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar)
yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali
ke Sumatera Barat.
Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di
Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar
mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu,
maka di daerahnya masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya.
Haji Muhammad Arifin di Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya
sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin mendapat perlawanan
hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat. Hanya
Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat halangan dan
tantangan.
Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di
sini ia mendapatkan sahabat-sahabat perjuangan yang setia; diantaranya
yaitu Tuanku Nan Renceh di. Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di
Ladang Lawas, Tuanku di Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di
Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur. Itulah tujuh orang yang berbai’ah
(berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji Miskin. Jumlah para ulama
yang berbai’ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian terkenal dengan
sebutan ‘Harimau Nan Salapan’.
Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih
berhasil bilamana mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan
lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Ampat Angkat. Oleh sebab itu
Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan lebih lincah telah berkali-kali
menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia bersedia menjadi ‘imam’
atau pemimpin gerakan ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran berulang
kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pendirian Harimau Nan
Salapan hendak dengan segera menjalankan syari’at Islam di setiap nagari
yang telah ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.
Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat
apabila telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang,
tidaklah boleh nagari itu diserang. Maka yang penting menurut
pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang besar pada setiap nagari.
Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya, ulama itu
dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib
mantri dan dubalang.
Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan
Tuo dengan Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak
mungkin Tuanku Nan Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan
ini. Untuk mengatasi masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak
Tuanku di Mansiangan, yaitu putera dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yakni
guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di
Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan
Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.
Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya
sendiri, sulitlah bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang
gerakan ini. Padahal hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman
Nan Salapan adalah Tuanku Nan Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan
hanya sebagai simbol belaka.
Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih
sebagai lambang kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini
terkenal dengan nama ‘Gerakan Padri’.
Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan
Padri ini, maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol
dari Harimau Nan Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan
memusatkan gerakannya di daerah Kameng. Untuk dapat melaksanakan
syari’at Islam secara utuh dan murni, tidak ada alternatif lain kecuali
memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu berada di
tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik
itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para
penghulu. Karena Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan
penghulu Kamang harus diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan
baik.
Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar
adanya gerakan Padri ini, ingin membuktikan sampai sejauh mana kemampuan
para alim-ulama dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan syari’at
Islam secara utuh dan murni. Bertempat di Bukit Batabuah dengan Sungai
Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan sengaja dan mencolok
mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-¬minuman keras yang
diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para
pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu
merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari’at Islam
secara keras.
Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri.
Dengan segala persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger
(senapan balansa), parang, tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya
kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh tersebut untuk membubarkan pesta
‘maksiat’ yang diselenggarakan oleh golongan penghulu (penguasa).
Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut dengan
per¬tempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil
dan mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah
pihak, akhirnya di¬menangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa
Bukit Batabuh, berarti permulaan peperangan Padri.
Perang Padri ; Pemimpin Baru Tuanku Mudo Imam Bonjol
Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku
Nan Renceh sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi
persenjataan pasukan Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-daerah yang
menentang kaum Padri segera dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan,
kemudian menyusul daerah Tilatang. Dengan demikian seluruh Kamang telah
berada di tangan kaum Padri.
Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang
Rarab dan Guguk jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur
dan bahkan pada tahun 1804 seluruh daerah Luhak Agam telah ber¬ada di
dalam kekuasaan kaum Padri.
Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain
kesungguhan yang keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat
memungkinkan untuk cepat berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal
tempat bermukimnya ulama-ulama besar seperti Tuanku Pamansiangan dan
Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu sangat tipis. Wibawa
para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.
Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan
damai. Sebab penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh
kepada kaum Padri serta siap membantu setiap saat untuk kemenangan kaum
Padri.
Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di
dalam kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada
setiap nagari diangkat seorang ‘Imam dan seorang Kadhi’. Imam bertugas
memimpin peribadahan seperti sembah¬yang berjamaah lima waktu sehari
semalam, puasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah-masalah
ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga kelancaran dijalankannya syari’at
Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga ketertiban Umum.
Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan
selicin di daerah Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh
kekuasaannya. Di sini pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit
dari golongan penghulu dan pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar
adalah merupakan pusat kekuasaan adat Minangkabau. Kekuasaan itu
berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Di
waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah Sultan Arifin
Muning Syah.
Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat
tiga orang raja yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo,
yaitu :
(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh
Basa Empat Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan
Minangkabau di Pagaruyung. Mereka itu adalah :
- Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;
- Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;
- Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
- Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari’at atau agama.
- Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;
- Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;
- Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
- Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari’at atau agama.
Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di
Batipuh yang bertindak sebagai Pang¬lima Perang, kalau Pagaruyung kacau
dialah bersama pasukannya untuk mengamankannya.
Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat
dalam kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau
mendapat otonomi yang sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam
nagari dapat diselesaikan oleh kepala nagari melalui kerapatan adat
nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru dibawa ke
pimpinan Luhak (kira-kira sana dengan kabupaten sekarang). Kalau masih
belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjut¬nya
diteruskan ke Raja Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya.
Kalau semuanya tak dapat menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan
oleh Raja Minangkabau.
Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya
dianggap satu bahaya besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan
mereka. Selain itu para bangsawan pun cemas, karena khawatir adat
nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap, jika kaum Padri
berkuasa.
Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri
dengan pasukan Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung
Barulak, salah satu jalan untuk masuk ke pusat kekuasaan Minang¬kabau
dari Luhak Agam, sering berpindah tangan, terkadang dikuasai pasukan
Padri, terkadang dapat di¬rebut kembali oleh pasukan raja. Walaupun
begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan
para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih
buruk bagi para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di
Pagaruyung, Basa Empat Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.
Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808,
sesudah enam tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri
dalam perundingan itu dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan
seluruh pasukannya, sedangkan para penghulu dipimpin oleh Raja
Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak keluarganya hadir dalam
pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena gencatan
senjata telah disepakati sebelumnya.
Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan
dimulai. Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang
bernama Tuanku Belo dengan para staf raja, yang berakibat meledak
men¬jadi perkelahian dan pertumpahan darah.
Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarga¬nya mati terbunuh
dalam perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan
seorang cucu raja yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.
Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan
tertinggi gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan
pasukannya, karena dianggap melanggar gencatan senjata yang telah
disepakati dan berarti menggagalkan usaha perdamaian.
Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah
kepada kaum Padri tanpa perlawanan, karena takut melihat pengalaman di
Koto Tangah.
Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan salah seorang murid¬nya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab,
untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum
Padri. Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo untuk
membuat benteng besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan
karena Malin Basa (Tuanku Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan
berani.
Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri
dan guru dari Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan
keberanian dan berhasil memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang,
di kaki bukit yang bernama Bukit Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat
Islam yang tinggal di sekitarAlahan Panjang, di mana setiap hari bekerja
tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya ‘Benteng Bonjol’ yang terletak
di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang
kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar,
tinggi tembok empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya
ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat.
Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid
yang lengkap dengan perkampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap
saat mereka dapat mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup
sehari-hari. Sesuai dengan, fungsinya, maka benteng Bonjol juga
diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna setiap saat siap
menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh Tuanku
Mudo yang bertindak sebagai ‘imam’ dari masyarakat benteng Bonjol, yang
sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tuanku Mudo digelari dengan ‘Imam Bonjol’.
Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap
berdiri, Imam Bonjol memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar
Alahan Panjang dan berhasil dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam
Bonjol dengan pasukannya menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan
Panjang seperti antara lain Datuk Sati. Kecemasan ini melahirkan satu
gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk menyerang pasukan Imam
Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812 Datuk Sati dengan
pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan
diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk
Sati mengajak diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam
Bonjol.
Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia
kemudian diangkat menjadi pe¬mimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk
meluaskan kekuasaan kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke
daerah Tapanuli Selatan. Mulai Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh
pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku
dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.
Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis
pertahanan untuk penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan
di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak agak ke sebelah utara Minangkabau.
Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao, sedangkan benteng Dalu-Dalu
dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini berasal dari
Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.
Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum
Padri di Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat
berhasil, tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Daerah-daerah di
sini bagitu setia untuk menjalankan syari’at Islain secara penuh, sesuai
dengan missi yang diemban oleh gerakan Padri.
Perang Padri ; akhir keberpihakan golongan penghulu terhadap Belanda
Sementara kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan
daerah pesisir barat Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang.
Tuanku Pamansiangan salah seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan
kepada Imam Bonjol untuk menarik pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan
menggempur kedudukan Belanda di Padang yang belum begitu kuat. Karena
baru saja serah terima kekuasaan dari Inggeris (1819). Tetapi
perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku
Lelo dari Tapanuli Selatan ber¬kebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh
karena itu Imam Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan
pasukan Belanda melalui kurir-kurir yang sengaja dikirim ke sana.
Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air
Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka
Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah ter¬sebut.
Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang
berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku
Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada
tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan
pasukan Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku
Tambusi.
Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi
pasukan Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama
ini kekuasaannya telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu
Minangkabau mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk
memerangi kaum Padri. Para penghulu yang mengatasnamakan yang Dipertuan
Minangkabau langsung mengikat perjanjian kerjasama dengan Residen
Belanda di Padang yang bernama Du Puy.
Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda,
maka berarti kaum Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi
demikian, tiba-tiba Tuanku Nan Renceh, Yang menjadi pimpinan tertinggi
kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820 wafat. Kekosongan ini secara
demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujuan para perwira pasukan
Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk menghadapi
pasukan gabungan Belanda-Penghulu.
Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan
Padri; sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau
dicerai-beraikan. Untuk menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng
di Batusangkar dengan nama ‘Benteng atau Fort van der Capellen’.
Berulang kali pasukan Belanda-Penghulu menyerang kedudukan pasukan Padri
di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan, bahkan pernah pasukan
Belanda-Penghulu terjebak.
Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk
memperkuat pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda
mengirimkan pasukannya dari Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Raaff. Dengan bantuan militer yang lengkap persenjataannya, pasukan
Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan pasukan Padri.
Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu
ditujukan ke daerah yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar.
Dengan menaklukkan Luhak Tanah Datar, yang berpusat di Pagaruyung,
menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan Padri akan mudah ditumpas.
Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-Penghulu di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung. Pertempuran sengit
terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena kekuatan
yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah
Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cakup besar.
Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan
mendatangkan bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda
sesampainya di Lintau seluruhnya dapat dipukul mundur dan terpaksa
kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.
Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan
jalan memblokade daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan
Luhak Lima Puluh Kota dan Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat
direbut oleh pasukan Belanda, tetapi usaha¬nya untuk merebut Lintau
dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak Agam di bawah pimpinan
Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit. Kemudian Letnan
Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak Agam, Koto
Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui
pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang
kemudian dihukum gantung oleh Belanda.
Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol
melakukan serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah
yang pernah didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serang¬an
pasukan Padri. Operasi ke Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam
Bonjol dibantu oleh perwira-perwira pasukan Padri dari Tapanuli Selatan.
Hanya dengan pertahanan yang luar biasa dan dibantu dengan
tembakan-tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari serangan
pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali
daerah Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut
kembali daerah Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah
lainnya.
Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer
dari Batavia. Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi
militer besar-besaran untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di
bukit Marapalam terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda
dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga Belanda
terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer Belanda itu
diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang.
Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri,
tetapi karena kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya
daerah-daerah itu dapat direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti
oleh tindakan biadab dengan jalan melakukan pembunuhan massal terhadap
penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan.
Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung
dua kali. Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat
kembali diambil oleh pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan
tambahan pasukan dari Batavia terbukti tidak dapat menumpas pasukan
Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan konsolidasi, Belanda berusaha
untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini berhasil,
sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan senjata di
Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.
Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih
sedikit. Sebab Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke
daerah Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat,
pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam dapat sepenuhnya dikuasai pasukan
Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan nama Fort de Kock di
sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan Luhak
Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol
dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah
jenuh berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya.
Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan
timbulnya perang Jawa ini, ke¬kuatan pasukan Belanda menjadi terpecah
dua: sebagian untuk menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai,
dan yang sebagian lagi harus menghadapi Perang Jawa yang baru muncul.
Karena perang Jawa dianggap oleh Belanda lebih strategis dan dapat
mengancam ek¬sistensi Belanda di Batavia, pusat pemerintahan kolonial
Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau militer
harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.
Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan
perdamaian kembali dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825
usaha perdamaian dan gencatan senjata dengan kaum Padri berhasil
dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum Padri di be¬berapa daerah
Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasairiya. Perjanjian
damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik
pasukannya dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan mensisakannya
hanya 700 orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu,
digunakan hanya untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda
di Sumatera Barat.
Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa
kolonial Belanda, maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian
terbesar dibawa ke Sumatera Barat untuk menghadapi Perang Padri. Dengan
kekuatan militer yang besar Belanda melakukan serangan ke daerah
pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831, Katiagan kota pelabuhan
yang men¬jadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh pasukan
Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau,
Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang
dikuasai Belanda pada tahun 1834.
Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum
Padri, yang memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan
jalur per¬dagangan melalui sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan,
di mana sebuah anak sungai Kampar kanan dapat dilayari sampai dekat
Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak sungai tersebut sampai ke
Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura, dapat
dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat
direbut oleh Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat
di benteng Bonjol mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai
bahan makanan dan persenjataan.
Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan
kecemasan para golong¬an penghulu, yang selama ini telah membantunya.
Kekuasaan yang diharapkan para penghulu dapat di¬pegangnya kembali,
ternyata setelah kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan
moral yang bejat yang dipertontonkan oleh pasukan Belanda-¬Kristen,
seperti menjadikan masjid sebagai tempat asrama militer dan tempat
minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari rumah-rumah mereka,
pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-¬wanita, memanjakan
orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian
rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan
penghulu kepada Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu
menumbuhkan rasa harga diri untuk mengusir Belanda dari daerah
Minangkabau untuk me¬lakukan perlawanan terhadap Belanda secara
sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan kaum
Padri.
Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri.
Perjanjian kerjasama dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum
Padri untuk mengusir Belanda, dari tanah Minangkabau dilaksanakan pada
akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung Tandikat. Gerakan perlawanan
rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin langsung oleh Imam
Bonjol.
Baca Berikutnya.......
Perang Padri ; Gerakan perlawanan rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin oleh Imam Bonjol
Dalam perjanjian dan ikrar rahasia di lereng gunung Tandikat itu,
telah ditetapkan bahwa tanggal 11 Januari 1833, kaum Padri dan golongan
penghulu beserta rakyat Sumatera Barat secara serentak melakukan
serangan kepada pasukan Belanda. Awal serangan rakyat Minangkabau ini
terhadap pasukan Belanda banyak mengalami kemenangan, terutama di daerah
sekitar benteng Bonjol, di mana pasukan Belanda ditempatkan untuk
melakukan blokade. Pasukan Belanda yang langsung dipimpin oleh Letnan
Kolonel Vermeulen Krieger, pimpinan tertinggi militer di Sumatera Barat,
di daerah Sipisang diporak-porandakan oleh pasukan Padri, sehingga,
banyak sekali serdadu Belanda yang mati terbunuh. Hanya Letnan Kolonel
Vermeulen Krieger dan beberapa orang anak buahnya yang dapat
menyelamatkan diri dari pembunuhan itu. Karena semua jalan terputus maka
terpaksa Letnan Kolonel Vermeulen Krieger dengan anak buahnya yang
tinggal beberapa orang itu menempuh jalan hutan belantara untuk bisa
kembali ke Bukittinggi.
Apabila di daerah Alahan Panjang, serangan secara serentak dapat
dilakukan oleh rakyat Minangkabau dan berhasil memukul mundur pasukan
Belanda, tetapi di Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam, serangan itu tidak
dapat dilaksanakan. Faktor penyebabnya ialah banyak daerah-daerah di
sini belum menerima informasi dari hasil Ikrar Tandikat; disamping
banyak daerah-daerah strategis yang dikuasai Belanda. Bahkan ada juga
informasi ikrar ini jatuh ke tangan Belanda, sehingga orang-orang yang
dicurigai segera ditangkap. Di samping itu memang masih banyak para
penghulu atau kepala adat yang tetap setia kepada Belanda.
Timbulnya perlawanan serentak dari seluruh rakyat Minangkabau,
sebagai realisasi ikrar Tandikat, memaksa Gubernur Jenderal Van den
Bosch pergi ke Padang pada tanggal 23 Agustus 1833, untuk melihat dari
dekat tentang jalannya operasi militer yang dilakukan oleh pasukan
Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan dengan Jenderal
Riesz dan Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan benteng Bonjol,
yang dijadikan pusat meriam besar pasukan Padri, Riesz dan Elout
menerangkan bahwa belum datang saatnya yang baik untuk mengadakan
serangan umum terhadap benteng Bonjol, karena kesetiaan penduduk Agam
masih disangsikan, dan mereka sangat mungkin kelak me¬nyerang pasukan
Belanda dari belakang. Tetapi Jenderal Van den Bosch bersikeras untuk
segera menaklukkan benteng Bonjol, dan paling lambat tanggal 10
september 1853 Bonjol harus jatuh. Kedua opsir tersebut meminta tangguh
enam hari lagi, sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16
September 1833.
Meskipun demikian, kedua opsir tersebut belum yakin dapat
melaksanakan rencana yang telah diputuskannya, sebab besar sekali
kesulitan-kesulitan yang harus dihadapinya. Pertama, karena mereka harus
rnengerahkan tiga kolone: satu kolonne harus menyerang Bonjol dengan
melalui Suliki dan Puar Datar di Luhak Lima Puluh Kota, dan satu kolonne
dari Padang Hilir melalui Manggopoh dan Luhak Ambalau, dan kolonne
ketiga dari Ram melalui Lubuk Sikaping. Dan disamping itu harus
disiapkan pula satu kolonne yang pura-pura menyerang Padri di daerah
Matur, supaya pasukan Padri mengerahkan pasukannya ke sana. Sebelum
pasukan menyerbu ke Bonjol, kolonne-kolonne itu harus mampu menundukkan
dan menaklukkan daerah-daerah di sekelilingnya, dan merusakkan semua
pertahanan rakyat di Luhak Agam.
Rakyat Padang Datar umumnya marah betul kepada tentara Belanda,
karena melihat kekejaman dan kesadisannya di Guguk Sigadang; dan rasa
benci kepada kaki-tangan Belanda yang bersifat sewenang-wenang serta
mencurigai dan menangkap rakyat awam.
Sementara itu, Mayor de Quay mengutus Tuanku Muda Halaban untuk
membujuk Imam Bonjol supaya suka berunding dan berdamai dengan Belanda.
Imam Bonjol menyatakan kepada Tuanku Muda Halaban, bahwa ia bersedia
berunding di suatu tempat yang telah ditetap¬kan. Akhirnya perundingan
itu dapat dilaksanakan.
Dalam kesempatan perundingan ini, tenggang waktu yang tersedia itu
digunakan dengan sebaik-baiknya oleh Belanda untuk menyiapkan
pasukannya, di samping diharapkan pasukan Padri menjadi lengah. Untuk
memudahkan mencapai Bonjol, maka Mayor de Quay mengerahkan pasukannya
yang dibantu oleh 1500 penduduk dari Lima Puluh Kota untuk membuat jalan
melalui hutan-hutan lebat, yang membatasi Luhak Lima Puluh Kota dengan
Lembah Alahan Panjang.
Pasukan Padri ternyata tidak lengah untuk terus mengamat-amati semua
persiapan tentara Belanda itu, sehingga. semua jalan masuk ke Lambah
Alahan Panjang ditutupnya dengan pelbagai rintangan, dikiri kanan jalan
dipersiapkan kubu-kubu pertahanan.
Di satu bukit, di tepi jalan ke Tujuh Kota, di dekat Batu Pelupuh, di
puncaknya yang kerap kali ditutupi kabut dan awan, dibuat oleh pasukan
Padri sebuah kubu pertahanan. Dari sini dapat diperhatikan segala
gerak-gerik pasukan Belanda dari jarak jauh. Kubu pertahanan pasukan
Padri yang strategis ini diketahui, oleh Belanda. Karenanya pada tanggal
10 September 1833, Jenderal Riesz mengerahkan rakyat Agam yang setia
kepada Belanda untuk menaklukkan kubu tersebut. Usaha penaklukan kubu
ini gagal total, dimana sebagian besar pasukan rakyat Agam mati dan
luka-luka, dan memaksa mereka kembali ke Bukittinggi.
Besok paginya, yakni tanggal 11 September 1833, Belanda mengerahkan
200 orang tentaranya yang di¬lengkapi dengan meriam dan diperkuat oleh
pasukan golongan adat dari Batipuh dan Agam. Pada Jam 05.00 pagi pasukan
Belanda telah dapat mendaki bukit per¬tahanan pasukan Padri. Tetapi
kira-kira 150 langkah mendekati kubu pertahanan, dengan
sekonyong-konyong pasukan Padri mendahului menyerang pasukan Belanda.
Pertempuran sengit terjadi, diantara kedua belah pihak banyak korban
berjatuhan. Tetapi karena kekuatan yang tak seimbang, akhirnya pasukan
Padri mengundurkan diri turun ke desa Batu Pelupuh dan bertahan di
belakang pematang-pematang sawah. Belanda mengerahkan pasukannya untuk
mengejarnya, dengan sangat cerdik pasukan Padri bersembunyi ke
hutan-hutan lebat yang sulit untuk dikejar oleh pasukan Belanda. Desa
Batu Pelupuh dan tujuh desa lainnya yang ditinggalkan pasukan Padri
habis dirampok dan dibumi-hanguskan oleh pasukan Belanda. Walaupun
pasukan Padri kalah, tetapi di pihak Belandapun banyak sekali yang mati
dan luka-luka; dan dengan susah payah mereka dapat kembali ke
Bukittinggi.
Setelah kubu pertahanan di bukit dekat Alahan Panjang dapat direbut
pasukan Belanda, maka Jenderal Riesz memusatkan serangan tipuan ke
Matur. Sebagian pasukannya diharuskan menduduki daerah Pantar, sebuah
desa yang letaknya di seberang jurang dekat kubu pertahanan pasukan
Padri. Pasukan Belanda ini dibantu oleh pasukan ada 600 orang dari
Batipuh, 400 orang dari Banuhampu, 300 orang dari Sungai Puar, 340 orang
dari Empat Kota, 604 orang dari Ampat Angkat, dan 240 ¬orang dari
Tambangan; seluruhnya berjumlah 2400 orang. Tetapi sebelum tentara
Belanda datang di Pantar, pada pagi-pagi sekali tanggal 12 September
1833, desa tersebut telah dibumi-hanguskan oleh pasukan Padri. Di
selatan Pantar yang telah menjadi lautan api, Belanda membuat kubu
pertahanan untuk menahan serangan¬-serangan pasukan Padri. Tetapi
pasukan Padri pun me¬ngerti bahwa serangan pasukan Belanda ini hanya
merupakan pancingan, karenanya mereka tetap bertahan di kubu-kubu
pertahanan mereka masing-masing.
Sementara itu pasukan Padri memperkuat Kota Lalang guna menaban
tentara Belanda yang datang dari arah Suliki yang dipimpin oleh Mayor de
Quay. Pada tanggal 13 September 1833 pasukan Belanda telah dihadang
oleh pasukan rakyat dari Tanah Datar, sehingga perjalanannya terhambat.
Dan baru pada tanggal 14 ¬September 1833 tentara Belanda melanjutkan
serangan¬nya ke Kota Lalang, yang dipertahankan dengan gigih oleh
pasukan Padri. Tentara Belanda banyak yang mati dan luka-luka.
Pertempuran berlangsung siang-malam dengan dahsyatnya, yang
masing-masing pihak me¬ngerahkan semua kekuatannya. Karena kekuatan
pasukan Padri yang jauh lebih kecil dan lebih sederhana persenjataannya,
akhirnya mengundurkan diri ke hutan belantara yang sulit dikejar oleh
tentara Belanda.
Kota Lalang yang ditinggalkan pasukan Padri dijaga oleh pasukan Jawa
dan Adat; dan tentara Belanda yang dibantu oleh ratusan pasukan adat
dari Batipuh dan Lima Puluh Kota meneruskan penyerbuannya menuju Bonjol.
Dalam perjalanan yang sulit ini pasukan Belanda senantiasa terjebak
dengan serangan pasukan Padri dari belakang yang bersembunyi di hutan
lebat.
Serangan gerilya pasukan Padri dengan taktik “serang dengan tiba-tiba
dan lenyap secara tiba-tiba”, me¬nimbulkan kerugian yang besar bagi
pasukan Belanda; dan karenanya menimbulkan rasa takut bagi
pasukan-pasukan adat yang membantunya. Dengan diam-diam pasukan adat
meninggalkan pasukan Belanda, sehingga menyulitkan pasukannya untuk
melanjutkan penyerbu¬an. Hujan yang turun terus-menerus menambah
ke¬sulitan lagi bagi pasukan Belanda, selain pasukan yang basah kuyup
hampir mati kedinginan, juga pasukan pembawa makanan dan perlengkapan
perang yang terdiri dari pribumi, banyak yang tak tahan dan akhirnya
melarikan diri. .
Dengan sisa-sisa kekuatan, pasukan Belanda sampai memasuki lembah Air
Papa. Di lembah ini, yang sisi-sisi tebingnya cukup curam, digunakan
oleh pasukan Padri sebagai kubu pertahanan dengan mudah menembak pasukan
Belanda yang berada di bawah lembah. Dalam posisi yang demikian,
terpaksa pasukan Belanda memusatkan pasukannya di lembah yang agak
gersang, yang jauh dari jangkauan pasukan Padri. Daerah terbuka yang
digunakan pasukan Belanda memudahkan serangan bagi Pasukan Padri.
Kelemahan ini benar-benar digunakan oleh pasukan Padri. Serangan yang
datang dengan tiba-tiba, menyebabkan timbulnya kepanikan di kalangan
pasukan Belanda, dimana akhirnya tidak ada jalan lain kecuali
mengundurkan diri dan membatalkan rencana penyerbuan selanjutnya. Dengan
diam-diam pasukan Belanda pada malam hari mening¬galkan medan
pertempuran kembali ke Payakumbuh, dengan meninggalkan korban yang mati
maupun yang luka-luka banyak sekali.
Dari front barat, pasukan Padri telah mengetahuinya bahwa tentara
Belanda akan menyerang dari Manggopoh. Rakyat yang tinggal di sekitar
Manggopoh seperti Bukit Maninjau dan Lubuk Ambalau diyakinkan dan
diancam oleh pasukan Padri untuk tidak membantu pasukan Belanda.
Kolonne Belanda yang menyerang dari jurusan Manggopoh itu dipimpin
oleh Letnan Kolonel Elout. Mereka berangkat ke Tapian Kandi tanggal 11
September 1835. Di daerah ini saja pasukan Belanda telah men¬dapat
perlawanan pasukan Padri yang cukup sengit, hanya karena tembakan meriam
yang bertubi-tubi pasukan Padri terpaksa mundur ke daerah Pangkalan.
Pasukan Belanda terus mendesak pasukan Padri di Pangkalan; pertempuran
sengit terjadi hampir tiap langkah dari perjalanan pasukan maju Belanda.
Hanya dengan pengorbanan yang besar pasukan Padri dapat dipukul mundur
dan pasukan Belanda dapat sampai di Kota Gedang.
Dari dataran tinggi Kota Gedang ini ada dua jalan; yaitu ke utara
menuju Bonjol dengan melalui Tarantang Tunggang, dan ke timur menuju XII
Kota. Letnan Kolonel Elout pergi ke Tanjung untuk bertemu dengan Tuanku
nan Tinggi dari Sungai Puar guna mendapat petunjuk jalan yang terbaik
untuk mencapai Bonjol. Tuanku dari Sungai Puar memberi petunjuk jangan
pergi ke Bonjol melalui XII Kota, karena rakyat di sana pasti akan
menghambatnya. Karenanya ia kembali ke Kota Gedang, tetapi gudang
perbekalan pasukan Belanda yang dikawal tidak begitu kuat disaat
ditinggalkan telah habis dibakar oleh rakyat. Dalam kondisi seperti ini,
Letnan Kolonel Elout sebagai komandan pasukan Belanda dari sektor barat
memutuskan untuk mengundurkan diri.ke Kota Merapak. Gerakan mundur
pasukan Belanda diketahui oleh pasukan Padri, kesempatan dan peluang ini
digunakan sebaik-baiknya untuk melakukan pengejaran, dengan taktik
gerilya.
Serangan gerilya yang dilakukan pasukan Padri berhasil dengan
gemilang bukan saja ratusan tentara Belanda dan pasukan adat yang mati
terbunuh, tetapi juga hampir semua perlengkapan perang seperti meriam
dan perbekalan semuanya dapat dirampas. Pasukan Belanda hanya dapat
membawa senjata dan pakaian yang melekat di tangan dan badannya.
Kolonne ketiga dari pasukan Belanda yang datang dari jurusan utara
melalui Rao dipimpin oleb Mayor Eilers. Pasukan Eilers yang memang tidak
begitu kuat, diberikan kelonggaran, jika pasukannya tidak mampu melawan
pasukan Padri di sebelah utara Alahan Panjang, ia boleh maju hanya
sampi Lubuk Sikaping saja. Di sini pasukannya harus bertahan sambil
menunggu informasi kolonne yang lain, yang menyerang dari timur dan
barat daerah Bonjol. Sambil menunggu berita dari kolonne-kolonne yang
lain, Mayor Eilers menghimpun pasukan dari kepala-kepala adat dari
Tuanku Yang Dipertuan di Rao dan Mandahiling untuk memperkuat pasukannya
yang hanya terdiri ‘atas 80 orang serdadu. Usahanya berhasil dengan
1000 orang Rao, 400 orang Mandahiling dan 500 orang Batak lainnya.
Dengan kekuatan sekitar 2000 orang; Mayor Eilers maju menuju Bonjol.
Sepanjang perjalanan pasukan Belanda mendapat perlawanan sengit dari
pasukan Padri, baik dalam bentuk serangan gerilya maupun pertempuran
frontal dari benteng ke benteng.
Pada tanggal 18 September 1833 pasukan Belanda telah sampai di Alai,
kira-kira dua kilometer dari benteng Bonjol. Di sini pasukan Belanda
telah mendapat per¬lawanan yang luar biasa oleh pasukan Padri,
pertempuran sudah sampai satu lawan satu. Akibatnya korban di pihak
pasukan Belanda banyak sekali baik yang mati maupun luka-luka. Untuk
menghindari korban yang lebih banyak, akhirnya-pasukan Belanda
mengundurkan diri ke Bonjol Hitam. Pengunduran diri pasukan Belanda ini
diikuti terus dengan serangan-serangan pasukan Padri, baik siang maupun
malam hari.
Karena terancam oleh kehancuran total, disamping ternyata dua kolonne
dari timur maupun barat telah mengundurkan diri, maka Mayor Eilers,
pada tanggal 19 September 1833 memutuskan untuk mengundurkan diri,
kembali ke pangkalan. Agar selamat dari sergapan pasukan Padri di tengah
jalan, pengunduran diri harus dilakukan tengah malam.
Pada saat maghrib tiba, disaat tentara Belanda sedang sibuk
berkemas-kemas untuk melarikan diri, tiba-tiba menjadi panik, karena
pasukan Padri menyerbu dengan cepat dan keras. Pasukan Rao dan
Mandahiling berhamburan keluar mencari selamat dengan meninggalkan
segala persenjataan dan perlengkapannya. Tentara Belanda juga tak mampu
menguasi keadaan dan bahkan turut lari tanpa menghiraukan teriakan
komandannya Mayor Eilers. Keadaan panik dan kacau, menyebabkan pasukan
Belanda. meninggalkan begitu saja meriam dan granat-granat serta
senjata-senjata lainnya. Bahkan pasukan yang luka parah sebanyak 50
orang ditinggalkan begitu saja, sampai mati terbunuh semuanya. Hanya
dengan susah payah, sisa-sisa pasukan Belanda pada tanggal 20 September
1835, baru dapat selamat ke pangkalan.
Pengunduran diri pasukan Belanda adalah atas per¬setujuan Jenderal
Van den Bosch; karenanya ia datang sendiri ke Guguk Sigandang untuk
menerima pasukan-pasukan yang kalah itu. Dihadapan pasukannya, Jenderal
Van den Bosch berucap: “Bila keadaan memang tidak mengizinkan, dan
kesulitan begitu besar, sehingga sulit diatasi, pasukan boleh ditarik
mundur; menunggu waktu yang tepat. Tetapi bagaimanapun Bonjol harus
ditaklukkan”.
Pada tanggal 21 september 1833, Jenderal Van den Bosch memberi
laporan ke Batavia bahwa penyerangan ke Bonjol gagal dan sedang
diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Selama tahun 1834 tidak ada usaha yang sungguh-sungguh yang dilakukan
oleh pasukan Belanda untuk menaklukkan Bonjol, markas besar pasukan
Padri, kecuali pertempuran kecil-kecilan untuk membersihkan
daerah-daerah yang dekat dengan pusat pertahanan dan benteng Belanda.
Selain itu pembuatan jalan dan jembatan, yang mengarah ke jurusan Bonjol
terus dilakukan dengan giat, dengan mengerahkan ribuan tenaga kerja
paksa. Pembuatan jalan dan jembatan itu dipersiapkan untuk memudahkan
mobilitas pasukan Belanda dalam gerakannya menghancurkan Bonjol.
Baru pada tanggal 16 April 1835, pasukan Belanda memutuskan untuk
mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol dan
sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, dimana
dua kolonne pasukan Belanda yang berkumpul di Matur dan Bamban, bergerak
menuju Masang. Meskipun sungai itu banjir, mereka menyeberangi juga dan
terus masuk menyelusup ke dalam hutan rimba; mendaki gunung dan
menuruni lembah; guna meghindarkan dari kubu-kubu pertahanan Padri yang
dipasang disekitar tepi jalan.
Pada tanggal 23 April 1835 pasukan Belanda telah sampai di tepi
sungai Batang Ganting, terus menyeberang dan kemudian berkumpul di Batu
Sari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang, daerah yang
dikuasai oleh pasukan Padri. Jalan sepanjang menuju Sipisang
dipertahankan oleh pasukan Padri dengan pimpinan Datuk Baginda Kali.
Serangan-serangan pasukan Padri untuk menghambat laju pasukan Belanda
memang cukup merepotkan dan melelahkan, tetapi tidak berhasil menahan
secara total.
Sesampainya di Sipisang, pertempuran sengit antara pasukan Belanda
dengan pasukan Padri berjalan sangat kejam, tiga hari tiga malam
pertempuran berlangsung tanpa henti, sampai korban di kedua belah pihak
banyak yang jatuh. Hanya karena kekuatan yang jauh tak sebanding,
pasukan Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan rimba dan
menyeberangi kali. Jatuhnya daerah Sipisang, dijadikan oleh pasukan
Belanda untuk kubu pertahanannya, sambil menunggu pembuatan jembatan
menuju Bonjol.
Selain itu, satu kolonne pasukan Belanda pada tanggal 24 April 1835
berangkat menuju daerah Simawang Gedang, yaitu daerah yang dikuasai
pasukan Padri. Dengan kekuatan hanya 500 orang pasukan Padri mencoba
menahan tentara Belanda yang jumlah dan kekuatannya jauh lebih besar.
Pertempuran dahsyat tak terhindari lagi, berjalan alot; walau akhirnya
pasukan Padri mengundurkan diri.
Satu kompi pasukan tentara Bugis yang dibantu oleh pasukan adat dari
Batipuh dan Tanah Datar bertugas untuk mengusir pasukan Padri yang
berada di luar daerah Simawang Gadang. Bahkan pasukan Bugis bersama-sama
pasukan adat Batipuh dan Tanah Datar berhasil mendesak pasukan Padri
sampai ke Batang Kumpulan. Tetapi disini telah menunggu 1200 orang
pasukan Padri untuk menghadang gerakan maju pasukan Belanda. Usaha
ofensi pasukan Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis, Batipuh dan
Tanah Datar diporak-porandakan oleh pasukan Padri, hampir-hampir
sebagian terbesar mati terbunuh.
Kalaulah tidak segera bala bantuan pasukan Belanda datang dengan
cepat dan dalam jumlah besar, dapat diduga bahwa pasukan Belanda yang
terdepan itu akan musnah seluruhnya. Datangnya bala bantuan pasukan
Belanda bukan dapat menyelamatkan sisa-sisa pasukanriya yang telah
cerai-berai; tetapi juga mampu mendesak pasukan Padri, sehingga daerah
Kampung Melayu yang menjadi ajang pertempuran dapat dikuasai oleh
Belanda.
Kampung Melayu terletak di tepi sebatang sungai kecil, Air Taras
namanya. Tidak berapa jauh ke hilir sungai itu bertemu dengan sungai
Batang Alahan Panjang. Kampung Melayu tersembunyi di dalam sebuah lembah
yang dilingkari oleh bukit-bukit tinggi yang terjal.
Pasukan Padri yang mengundurkan diri dari daerah Kampung Melayu,
bersembunyi di bukit-bukit terjal dengan kubu-kubu pertahanan yang
tersembunyi, untuk menjepit pasukan Belanda yang ada di Air Taras. Pada
tanggal 27 April 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang pasukan Padri
yang berada di bukit-bukit terjal itu; tetapi hasilnya nihil, bahkan
puluhan tentaranya yang mati dan luka-luka.
Selama tiga hari pasukan Belanda melakukan konsolidasi dengan
menambah pasukannya. Baru pada tanggal 3 Mei 1835 operasi militer dapat
dilanjutkan. Tetapi, baru saja dimulai, Letnan Kolonel Bauer komandan
pasukan Belanda telah terluka kena ranjau. Di saat pasukan Belanda
menyeberangi sungai Air Taras di¬serang oleh pasukan Padri, sehingga
banyak pasukan¬nya yang tenggelam dan mati, karena senjata yang
digunakan macet terendam air. Pertempuran kemudian berkembang menjadi
perang tanding, yang tentunya menguntungkan pasukan Padri. Tetapi karena
pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya pasukan Padri terdesak dan
meninggalkan kubu-kubu pertahanan yang ada di bukit-bukit terjal itu.
Kemajuan yang diperoleh pasukan Belanda di daerah ini tidak langgeng
karena tidak berapa lama pasukan Padri datang menyerang dengan kekuatan
sekitar 500 orang.
Karena merasa daerah ini kurang aman, maka pasukan Belanda sebelum
meninggalkannya telah melakukan perampokan dan pembakaran rumah-rumah
penduduk dan ladang-ladang, sehingga menjadi daerah yang hangus
terbakar.
Laju pasukan Belanda menuju Bonjol sangat lamban, hampir sebulan
waktu yang diperlukan untuk bisa mendekati daerah Alahan Panjang. Front
terdepan dari Alahan Panjang adalah Padang Lawas, yang secara penuh
dikuasai oleh Pasukan Padri. Pada tanggal 8 Juni 1855 pasukan Belanda
yang mencoba maju ke front Padang Lawas dihambat dengan, pertempuran
sengit oleh pasukan Padri. Hanya dengan pasukan yang besar dan kuat
persenjataannya dapat memukul mundur pasukan Padri, dan menguasai front
Padang Lawas.
Pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda menuju sebelah timur sungai
Alahan Panjang, sedangkan pasukan Padri berada di seberangnya pasukan
musuh yang bersembunyi di benteng-benteng partahanannya senantiasa
mendapat serangan gerilya dari pasukan Padri, sehingga selama lima
hari-lima malam, pasukan musuh tidak dapat maju dan bahkan kehilangan 7
orang serdadunya mati dan 84 orang luka-luka.
Kampung Bonjol kira-kira 1200 hasta panjangnya dan 400 sampai 700
hasta lebarnya, sebab bagian selatan dari dinding barat mundur kira-kira
200 hasta ke belakang. Letak kampung ini antara 1000 atau 1200 hasta
dari tepi timur suang Batang Alahan Panjang. Di timur dan tenggaranya
terdapat tebing terjal dan sebuah bukit yang tegak hampir lurus keatas,
yang dengan Bonjol dipisahkan oleh sebatang anak sungai kecil. Bukit ini
Tajadi namanya, menguasai lapangan di setelah barat dan timurnya.Di
atas bukit ini pasukan Padri mem¬buat beberapa kubu pertahanan yang kuat
dan baik letaknya, dan dari sana mereka menembakkan meriam yang
bermacam kaliber kepada musuh di seberang barat Alahan Panjang.
Di kampung itu banyak rumah yang terbuat dari kayu, yang sebagian
besar dinaungi oleh hutan bambu, pohon-pohon kelapa dan pohon
buah-buahan. Di sebelah barat dan utara kampung Bonjol terbentang sawah
luas.
Di sebelah timur Bonjol membujur bukit barisan tinggi membujur, yang
diselimuti oleh hutan lehat. Di balik timur bukit barisan itulah
terletak tanah Lima Puluh Kota. Tanah di sebelah selatan dan tenggara
Lambah Alahan Panjang ini bergunung-gunung dan ber¬bukit batu yang
benjal-benjol. Keadaan alam ini diper¬gunakan oleh pasukan Padri sebagai
benteng pertahanan yang paling besar dan menjadi markas besar Imam
Bonjol. Pada umumnya, semak, belukar dan hutan yang sangat tebal di
sekitar Bonjol ini, sehingga kubu-kubu pertahanan pasukan Padri tidak
mudah dilihat dari luar. Di tengah lembah mengalir dan berliku-liku
sungai Batang Alahan Panjang dari utara ke selatan.
Pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835 pasukan Belanda membuat kubu
pertahanan yang kira-kira hanya 250 langkah dari Bonjol. Dengan
meriggunakan houwitser, mortir dan meriam besar, menemhaki benteng
Bonjol, yang dibalas kontan oleh meriam-meriam pasukan Padri yang berada
di bukit Tajadi. Karena posisi yang kurang menguntungkan pasukan musuh
maka banyak pasukannya yang mati dan terluka, oleh karena itu Letnan
Kolonel Bauer meminta kepada Residen Francis untuk memberikan bala
bantuan sebanyak 2000 orang lagi. Dan pada tanggal 17 Juni 1835 bala
bantuan itu datang. Pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yang
besar pasukan Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu
Bonjol. Sebelum pasukan musuh sampai pada sasaran terakhir, di kampung
Jambak dan Kota mendapat perlawanan yang sengit dari pasukan rakyat dan
Padri.
Di Bonjol yang merupakan markas besar pasukan Padri telah berkumpul
komandan-komandan pasukan Padri yang datang dari daerah-daerah yang
telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari Tanah Datar, Lintau, Bua,
Lima Puluh Kuta, Agam, Rao dan Padang Hilir. Semua bertekad bulat untuk
mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan, hidup
mulia atau mati syahid.
Melihat kokohnya benteng Bonjol, disamping banyak tentaranya yang
mati dan luka-luka, pasukan Belanda tidak melakukan gerakan ofensif
menyerang Bonjol tetapi melakukan blokade terhadap Bonjol, dengan tujuan
untuk melumpuhkan suplai bahan makanan dan senjata pasukan Padri.
Blokade yang dilakukan Belanda, ternyata tidak efektif, karena justru
benteng-benteng pertahanan pasukan musuh dan bahan perbekalannya yang
banyak diserang oleh pasukan gerilya Padri yang memang berada di
belakang pasukan musuh.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol masih menunggu
bala bantuan tentara, walau di sekitar Bonjol pasukan Belanda telah
berkumpul, pada awal Agustus 1835, sekitar 14.000 orang. Baru setelah
datang bala bantuan tentara Belanda yang terdiri dari pasukan Bugis;
pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan dilakukan terhadap kubu-kubu
pertahanan pasukan Padri yang berada di bukit Tajadi. Satu persatu
kubu-kubu pertahanan strategis pasukan Padri ini jatuh ke tangan pasukan
musuh.
Pada tanggal 5 September 1835 pasukan Bonjol menyerbu ke luar benteng
menghancurkan kubu-kubu pertahahan musuh yang dibuat sekitar benteng.
Dengan keberanian yang luar biasa pasukan Padri menyerang
benteng-benteng Belanda, yang banyak menelan korban di kedua belah
pihak. Setelah serangan dilakukan, pasukan Padri segera masuk kembali ke
dalam benteng.
Sementara itu pasukan Belanda yang berada di Puar Datar diperintahkan
oleh Letnan Kolonel Bauer maju menuju Bonjol. Dalam perjalanannya
pasukan Belanda ini harus melalui desa Talang. Sesampainya di sini
pasukan Padri yang dibantu oleh rakyat melakukan perlawanan yang sengit,
sehingga memaksa pasukan musuh kembali ke Air Papa dan terus ke Puar
Datar. Usaha mendatangkan bantuan untuk menyerang Bonjol dari jurusan
Luhak Lima Puluh Kota gagal.
Kegagalan menyerang Bonjol dari jurusan Luhak Lima puluh Kota, pada
tanggal 9 September 1835, serangan ditempuh melalui Padang Bubus.
Hasilnya sama, gagal, bahkan pasukan Belanda banyak yang mati dan
luka-luka. Dan Letnan Kolonel Bauer yang menderita sakit, terpaksa
dikirim ke Bukittinggi dan digantikan oleh Mayor Prager.
Kebijaksanaan Mayor Prager tidak melakukan serangan ofensif ke Bonjol
sampai datangnya bala bantuan baru dari markas besarnya di Bukittinggi.
Dalam kesempatan yang terluang ini, pasukan Padri melakukan serangan
gerilya terhadap kubu-kubu pertahanan Belanda, memusnahkan gudang-gudang
perbekalan dan gudang mesiu bukan saja daerah di sekitar Bonjol, tetapi
sampai jauh menyelinap ke Kumpulan, Sirnawang Gadang dan Puar Datar.
Blokade yang berlarut-larut, menimbulkan ke¬beranian rakyat untuk
memberontak terhadap pasukan Belanda, sehingga pada tanggal ll Desember
1835 rakyat desa Alahan Mati dan Simpang mengangkat senjata kembali.
Tentara Belanda tak mampu mengatasi pemberontakan rakyat desa-desa ini,
sehingga men¬datangkan pasukan bantuan dari serdadu-serdadu Madura.
Hanya dengan bantuan pasukan Madura, Belanda dapat memadamkan
pemberontakan ini. Di desa Kumpulan juga terjadi peristiwa yang sama,
yaitu pemberontakan terhadap pasukan musuh.
Gerakan maju pasukan Belanda menyerbu benteng Bonjol yang tinggal
beberapa ratus kilometer, dalam tiga bulan ini, hampir-hampir tidak
mengalami kemajuan yang berarti, malah sebaliknya daerah-daerah yang
telah ditaklukkan kembali pemberontak; dan tidak sedikit menimbulkan
korban bagi pasukan musuh. Sambil menunggu bala bantuan dari Batavia,
Belanda mencoba melakukan perundingan dengan pasukan Padri. Perundingan,
yang sebenarnya hanya untuk mengulur-ulur waktu saja, ternyata ditolak
oleh Imam
Bonjol. Peluang waktu ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk membangkitkan rakyat yang tinggal di garis belakang pasukan musuh untuk berontak..
Bonjol. Peluang waktu ini dipergunakan oleh Imam Bonjol untuk membangkitkan rakyat yang tinggal di garis belakang pasukan musuh untuk berontak..
Setelah kegagalan perundingan ini, dan tambahan pasukan dari Batavia
telah tiba, maka pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan Belanda melakukan
serangan besar-besaran terhadap benteng Bonjol, sebagai pukulan
terakhir penaklukkan Bonjol. Serangan dahsyat mampu menjebol sebagian
benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda masuk menyerbu dan berhasil
membunuh putera serta keluarga Imam Bonjol. Tetapi serangan balik
pasukan Bonjol (Padri) mampu memporak-porandakan musuh sehingga terusir
keluar benteng dengan me¬ninggalkan banyak sekali korban.
Kegagalan penaklukkan benteng Bonjol sekarang ini benar-benar memukul
kebijaksanaan Gubernur Jenderal ¬Hindia Belanda di Batavia. Oleh karena
itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengirimkan panglima ter¬tingginya
Mayor Jenderal Coclius ke Bukittinggi untuk memimpin langsung serangan
ke benteng Bonjol untuk kesekian kalinya. Dengan mengunakan pasukan
artileri yang bersenjatakan meriam-meriam besar untuk mem¬boboIkan
benteng; diperkuat dengan pasukan infantri dan kavaleri, pasukan Belanda
meinulai lagi serangan¬nya ke benteng Bonjol.
Serangan yang bertubi-tubi dan dahsyat dengan hujan peluru meriam,
masih memerlu¬kan waktu yang cukup lama, kira-kira 8 bulan lamanya.
Setelah bukit Tajadi jatuh pada tanggal 15 Agustus 1837, maka pada
tanggal 16 Agustus 1837 benteng Bonjol yang anggun dapat ditaklukkan.
Tetapi tak ber¬hasil menangkap Imam Bonjol, karena sempat meng¬undurkan
diri keluar benteng dengan pasukan Padri yang mendampinginya dan terus
menuju daerah Marapak. Imam Bonjol mencoba mengadakan konsoli¬dasi
terhadap pasukannya yang telah bercerai-berai dan lemah, karena telah
lebih 3 tahun bertempur melawan Belanda, ternyata sia-sia. Hanya sedikit
saja lagi pasukan yang masih siap bertempur.
Melihat kenyataan semacam ini, Imam Bonjol me¬nyerukan ke pada
pasukannya yang terserak di mana-¬mana untuk kembali ke kampung
halamannya masing-¬masing, untuk memulai hidup baru sebagai rakyat
biasa. Dan yang memang benar-benar tak ada lagi semangat berjuang,
dibenarkan untuk menyerah kepada Belanda.
Dalam pelarian dan persembunyiannya Imam Bonjol dengan pengawalnya
dari hutan ke hutan, lembah dan ngarai, memang sangat melelahkan,
penderitaan kurang makan, kurang tidur, sakit dan lelah mengakibatkan
para pengawalnya hampir-hampir mati semuanya. Dalam kondisi seperti ini,
tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francis di Padang untuk
mengajak Imam Bonjol berunding.
Setelah dirundingkan bersama antara Imam Bonjol dan para stafnya,
tawaran perundingan dari Residen Francis di terima. Daerah perundingan
dipilih Pelupuh, di mana Imam Bonjol akan bertemu langsung dengan
Residen Francis. Pada tanggal 28 Oktober 1837 Imam Bonjol dengan stafnya
keluar dari Bukit Gadang me¬nuju Pelupuh. Sesampainya di pelupuh,
bukannya pe¬rundingan yang terjadi, tetapi sepasukan Belanda telah siap
menangkap Imam Bonjol dengan stafnya. Karena Imam Bonjol dan stafnya
tidak membawa senjata, sesuai dengan syarat-syarat perundingan akhirnya
dengan mudah pasukan Belanda menangkap Imam Bonjol dan stafnya. Dari
Pelupuh Imam Bonjol di bawa ke Bukit¬tinggi dan terus ke Padang. Pada
tanggal 23 Januari 1838 dipindahkan ke Cianjur, dan pada akhir tahun
1838 itu juga Imam Bonjol dipindahkan ke Ambon. Baru tanggal 19 Januari
1839 Imam Bonjol dipindahkan ke Menado. Di sini ia menemui ajalnya pada
tanggal 8 Nopember 1864, setelah menjalani masa pembuangap selama 27
tahun lamanya.
Dari fakta-fakta sejarah yang terungkap di muka, terlihat dengan
gamblang bahwa sejak awal timbulnya gerakan Padri sampai meletusnya
Perang Padri dan tertangkapnya Imam Bonjol sebagai pemimpin Padri
terbesar, adalah satu usaha perjuangan politik merebut kekuasaan guna
dapat menjalankan Syari’at Islam dengan utuh dan murni. Umat Islam
Sumatera Barat dengan kaum Padrinya, sama dengan Diponegoro dengan
Perang Jawanya, mempunyai tujuan politik yang sama yaitu berdirinya satu
negara yang melaksanakan ajaran Islam secara utuh dan konsekwen. Dengan
kata lain, perjuangan Diponegoro dan Imam Bonjol mempunyai tujuan yang
satu yaitu berdirinya Negara Islam.
sumber : PERANG SABIL versus PERANG SALIB
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) oleh ABDUL QADIR DJAELANI, Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH Jakarta 1420 H / 1999 M
(Ummat Islam Melawan Penjajah Kristen Portugis dan Belanda) oleh ABDUL QADIR DJAELANI, Penerbit: YAYASAN PENGKAJIAN ISLAM MADINAH AL-MUNAWWARAH Jakarta 1420 H / 1999 M
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?