1. Tujuah Koto Talago di Era Penjajahan Jepang
Pasukan tentara Nippon menduduki Sumatera pada bulan Maret 1942
setelah terlebih dahulu menduduki Singapura. Mereka selanjutnya datang
ke Payakumbuh sebagai “saudara tua” yang ingin membebaskan rakyat dari
penjajahan Belanda.
Pada tahun 1943 Ir. Soekarno datang ke Padang Japang menemui Syeikh
Abbas Abdullah dan Syeikh Mustafa Abdullah. Dalam kunjungan ini Ir.
Soekarno meminta saran Syeikh Abdullah baik dalam menyikapi keberadaan
Dai Nippon maupun hal-hal yang berkaitan dengan upaya mewujudkan
cita-cita Indonesia merdeka. Syeikh Abbas Abdullah memberikan
pandangan kepada Ir. Soekarno bahwa negara Indonesia yang sedang
diperjuangkan kelak berdasarkan agama atau Ketuhanan Yang Maha Esa.
Alhamdulillah setelah Indonesia merdeka Dasar Negara Indonesia Panca
Sila yang disepakati menempatkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila
pertamanya sebagai mana yang disarankan Syeikh Abbas Abdullah pada
Soekarno (Hikmat Israr 2009).
Kemudian hari setelah Indonesia merdeka Ir. Soekarno memberikan
bantuan kepada masyarakat Padang Japang melalui Syeikh Abbas berupa atap
genteng untuk Sekolah Rakyat Padang Japang yang didatangkan dari
Sawahlunto. Dapat dikatakan Sekolah Rakyat Padang Japang ini
merupakan sekolah terbagus bangunannya di wilayah Lima Puluh Kota saat
itu.
Dalam rangka memperkuat angkatan perang Jepang maka pemuda-pemuda
Tujuah Koto Talago dilatih oleh tentara Jepang tentang ilmu
kemeliteran. Untuk itu Jepang mendidik Heiho dan Seinendan serta
menyelenggarakan pendidikan Gyu Gun di Bukittinggi dan Padang. Dengan
seruan Chatib Soelaeman, Ketua Pusat Pembentukan Gyun Gun dan didukung
oleh para ulama melalui dalil-dalil yang mewajibkan seseorang untuk
membela tanah airnya maka berduyun-duyunlah pemuda Tujuah Koto dan
pemuda Sumatera Barat lainnya mengikuti seleksi Gyu Gun. Meskipun banyak
peminatnya namun yang dapat diterima sangat terbatas. Gyu Gun asal Lima
Puluh Koto lebih banyak ditugaskan di Kompi III Infantri (Kunizima
Tai/Takahashi Tai) yang berkedudukan di Baso. Mantan-mantan perwira Gyu
Gun asal Lima Puluh Kota dan Tujuah Koto diantaranya Makinuddin Hs,
Azhari Abbas, Nurmatias, Amir Wahid dan Mawardi HN. Kemudian hari di
awal kemerdekaan para bekas Gyu Gun tersebut memegang peran dalam
menyusun dan memimpin perjuangan bersenjata di Lima Puluh Kota. (Hikmat
Israr 2009).
2. Tujuah Koto Talago di Awal Kemerdekaan
Pada tanggal 17 Agustus 1945 kemerdekaan Indonesia diproklamirkan. Di
Tujuah Koto Talago khususnya dan Lima Puluh Kota umumnya belum banyak
yang tahu tentang proklamasi ini. Masyarakat baru mengetahui Indonesia
telah merdeka setelah mendengarkan pengumuman yang disampaikan oleh M.
Syafi’i mantan Ketua Sumatera Tyuo Sangi In (DPRD) pada tanggal 19
Agustus 1945.
Menyambut pengumuman kemerdekaan RI tersebut maka masyarakat
beramai-ramai menaikkan bendera Merah Putih. Pengibaran bendera Merah
Putih pertama kali dilakukan di Suliki pada awal September 1945. Salah
seorang diantara pelaku sejarah pengibaran bendera Merah Putih di Lima
Puluh Kota adalah pemuda Mawardi, HN seorang bekas Bintara Gyu Gun asal
Padang Japang.
Ketika para Gyu Gun dilucuti dan dipulangkan ke daerahnya
masing-masing, pemuda Mawardi, HN yang saat itu menyandang pangkat Hei
Cho Gyu Gun kembali ke Padang Japang. Setelah mendengar Indonesia telah
merdeka dan rakyat masih ragu-ragu untuk betindak, maka Mawardi HN yang
memperoleh gemblengan didikan militer di Gyu Gun Sasaki Butai Padang
beserta beberapa pemuda aktivis pergerakan lainnya dengan segala
keberanian berinisiatif mengumpulkan masyarakat daerahnya di lapangan
sepak bola Koto Kociak. Setelah sekitar 1500-an masyarakat berhasil
dihimpun, maka dengan berjalan kaki Mawardi HN memimpin barisan massa
tersebut menuju Suliki yang jaraknya sekitar sembilan kilometer dari
Koto Kociak, guna menaikkan bendera Merah Putih di Kantor Pemerintahan
Jepang yang terdapat di Suliki. Namun sesampai di Suliki rencana
pengibaran bendera Merah Putih di Kantor Pemerintahan Jepang tidak jadi
terlaksana, karena tidak disetujui Demang Suliki. Untuk menghindari
insiden dengan pihak Jepang, akhirnya diambil kebijakan menaikkan
bendera Merah Putih pada sebuah rumah yang bersebelahan dengan kantor
tersebut. ( Hikmat Israr 2009).
3. Peranan Tujuah Koto Talago di masa PDRI
PDRI adalah singkatan dari Pemerintahan Darurat Republik Indonesia.
Dibentuk di Halaban pada tanggal 22 Desember 1948 pada hari Rabu
sekitar pukul 03.00 pagi. Dasar pembentukannya dilatar belakangi karena
fakumnya kepemimpinan negara setelah Presiden Soekarno dan Wakil
Presiden Mohammad Hatta serta sejumlah menteri ditawan Belanda saat
terjadinya Agresi Militer Belanda II ke Yogyakarta. Saat sebelum ditawan
Presiden Soekarno mengeluarkan mandat yang berbunyi “Kami Presiden
Republik Indonesia memberitahukan bahwa pada hari Minggu tanggal 19
Desember 1948 pukul 06.00 pagi, Belanda telah memulai serangannya atas
ibu kota Yogyakarta. Jika dalam keadaan Pemerintah tidak dapat
menjalankan kewajibannya lagi, kami menguasakan kepada Mr. Sjafruddin
Prawiranegara, Menteri Kemakmuran Republik Indonesia untuk membentuk
Pemerintahan Republik Darurat di Sumatera.”
Mandat ini diterbitkan di Yogyakarta tanggal 19 Desember 1948 dan
ditandatangani oleh Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta.
Pembentukan PDRI disiarkan langsung oleh Pemancar Radio AURI yang ada
di Halaban di bawah pimpinan Kolonel Udara H. Soejono, sehingga
terbentuknya PDRI itu segera tersebar luas ke seluruh dunia. (H.C. Israr
1999).
Mengingat situasi yang semakin panas, karena Bukittinggi telah diduki
Belanda pada tanggal 22 Desember dan Payakumbuh diduduki Belanda
tanggal 23 Desember 1948, maka banyak pejabat-pejabat PDRI meninggalkan
Halaban terus berjuang dan bergerak secara mobilitas. Terkadang mereka
berada di Bidar Alam, Sumpur Kudus, Bangkinang, dan daerah lainnya. Akan
tetapi yang menjadi basis dan pusat PDRI adalah di Koto Tinggi dan
sekitarnya.
Koto Tinggi terletak sekitar 40 kilometer dari Payakumbuh dan hanya
ada sebuah jalan besar yang menghubungkan Koto Tinggi dengan Payakumbuh
melalui Talago. Di Koto Tinggi tinggal Menteri Kabinet dan Tokoh PDRI
serta Gubernur Militer Sumatera Tengah Mr. Mhd. Rasyid dan stafnya.
Semua para pemimpin yang cukup besar jumlahnya itu ditempatkan di
rumah-rumah penduduk.
Berbagai negara di dunia mendesak supaya resolusi Dewan Keamanan PBB
mengenai Indonesia agar dilaksanakan dan mendesak Belanda supaya segera
mengadakan perundingan. Akhirnya terjadilah perundingan antara Indonesia
dan Belanda yang dikenal dengan Persetujuan Roem-Royen pada tanggal 7
Mei 1949. (H.C. Israr 1999).
Tidak lama setelah Persetujuan Roem-Royen, Moh. Hatta ke Bangka.
Selanjutnya setelah tiba di Bangka 11 Juni 1949, Moh.Hatta kembali
merencanakan pengiriman suatu delegasi untuk mencari dan menemukan
Sjafruddin. Kali ini, delegasi itu mencari Sjafruddin ke tempat
“persembunyiannya” di Sumatera Barat. Moh. Hatta segera membentuk sebuah
delegasi yang akan dikirim untuk menemui pemimpin PDRI di Sumatera
Barat. Delegasi itu terdiri atas dr. Leimena sebagai ketua, Moh. Natsir
dan A. Halim sebagai anggota, serta Agus Djamal sebagai sekretaris
delegasi.
Pada tanggal 2 Juli 1949, delegasi utusan Hatta sudah tiba di Padang.
Mereka menginap di Hotel Muaro. Keesokan harinya tanggal 3 Juli 1949
mereka berangkat dengan konvoi menuju Bukittinggi. Dalam perjalanan
Padang-Bukittinggi mereka masih belum mengetahui dimana Mr.
Sjafruddin berada. Baru setelah diadakan hubungan radio dari Bukittinggi
untuk memberitahukan rencana kedatangan mereka diketahui bahwa tempat
yang dituju itu ialah Padang Japang (Mestika Zed 1997).
Ketua PDRI segera memberi tahu Gubernur Militer Mr. St. M. Rasjid
supaya mempersiapkan tempat pertemuan yang tidak terlalu jauh dari
Payakumbuh. Bupati Militer Saalah Yusuf St. Mangkuto setelah diberi tahu
tentang pertemuan ini, segera menghubungi Camat Militer Kecamatan Guguk
Saaduddin Sjarbani untuk mempersiapkan tempat pertemuan. Akhirnya oleh
Wali Perang Nagari VII Koto Talago Dt. Rajo Panghulu ditunjuk sebuah
rumah di Padang Japang menjadi tempat pertemuan antara delegasi Hatta
dengan Pimpinan PDRI. (H.C. Israr 1999).
Rumah tersebut adalah Rumah Kak Djawa, sebelah kiri dari Padang
Japang ke Ampang Gadang sebelum turunan Tobek Godang. Rumah ini sekarang
dijadikan pustaka dan dibangun sebuah tugu peringatan bahwa di rumah
tersebut pernah dilakukan suatu peristiwa bersejarah.
Setelah menginap di Payakumbuh, mereka berangkat ke Padang Japang
dengan berjalan kaki. Di sepanjang jalan yang dilewati, mereka mendapati
pohon-pohon yang dirubuhkan ke tengah jalan, jembatan-jembatan yang
semuanya rusak dan rumah-rumah kosong tak berpenghuni. Setelah
tiga-empat jam berjalan kaki, tiba-tiba mereka disergap gerilyawan.
Mereka lantas memperkenalkan diri. Rupanya yang menghadang adalah anak
buah Mayor Thalib. Sejak itu perjalanan berlangsung lancar hingga
Dangung-Dangung. (Mestika Zed 1997).
Pada tanggal 6 Juli 1949, delegasi Bangka yang dipimpin dr. Leimena
itu sampai di Padang Japang yang telah ditunggu Mr.Sjafruddin
Prawiranegara dan tokoh PDRI lainnya. Malam harinya diadakan perundingan
antara kedua pihak. Pertemuan berlangsung sampai jauh malam dan sempat
menemui jalan buntu. Subuh 7 Juni, saat pergi ke pancuran untuk mandi,
dr. Halim bertemu Mr. Moh. Rasjid. Tak lama kemudian Mr.Sjafruddin
Prawiranegara dan Loekman Hakim menyusul. Saat mandi di pancuran mereka
berunding secara tidak formal. Seusai mandi, mereka kembali berkumpul
untuk melakukan perundingan. Dalam waktu yang singkat, sebuah masalah
besar, urusan kenegaraan yang menjadi beban pikiran para politisi,
ternyata bisa diselesaikan di tepian tempat mandi. Padahal perundingan
sepanjang malam tidak membuahkan hasil apa-apa. Akhirnya terjadilah
perdamaian antara pihak PDRI dengan kelompok Bangka, suatu rujuk
nasional yang berlangsung bukan di ibu kota, melainkan di pedalaman
daerah gerilya. Dan Mr. Sjafruddin Prawiranegara yang awalnya menolak
Roem-Royen menyatakan kesediaannya kembali ke Yogyakarta. (Mestika Zed
1997).
4. Syuhada warga Tujuah Koto pada Peristiwa Situjuah
Kejadian itu dikenal dengan Peristiwa Situjuh, yaitu pembantaian para
pejuang oleh Belanda. Kejadiannya tanggal 15 Januari 1949. Situjuh
terletak di kaki Gunung Sago sekitar 11 kilometer dari Payakumbuh. Di
antara bukit-bukit Situjuh itu terdapat lurah yang mengalir aliran air
dan di tempat itu dibangun kincir air penumbuk padi. Lurah tersebut
dikenal dengan Lurah Kincir. Di lurah tersebut juga terdapat sebuah
surau kepunyaan Makinuddin Hs dan sebuah rumah. Di rumah itu sejak sore
14 Januari sampai subuh 15 Januari 1949 diselenggarakan pertemuan
penting para pejabat militer Sumatera Barat guna menyusun strategi
perjuangan menghadapi Belanda.
Pada hari Jumat 14 Januari 1949 dari sore hingga malam peserta rapat
berdatangan dari berbagai pelosok ke Lurah Kincir. Anggota rombongan
terbesar yang datang tentu saja berasal dari Koto Tinggi, pusat
pemerintahan darurat untuk Sumatera Barat. Sekitar 30 orang anggota
rombongan dipimpin oleh Letkol Dahlan Ibrahim, Komandan Militer Sumatera
Barat yang juga menjabat Wakil Gubernur Militer. Di antara anggota
rombongan Chatib Soelaeman serta Bupati Militer Arisun sudah
meninggalkan Koto Tinggi pada Rabu tanggal 12 Januari. Pada sore hari
mereka baru sampai di Koto Kociak dan dijamu dengan baik di rumah Anwar
ZA, yang kemudian hari menjadi Sekretaris Bupati Lima Puluh Kota.
(Mestika Zed 1997). Seusai rapat yang berlangsung hingga pukul 02.00
dinihari tanggal 15 Januari 1949, sebagian peserta rapat yang tinggal
dekat Situjuh kembali ke posnya masing-masing. Sementara yang lainnya
istirahat di surau yang ada di lurah tersebut. Pada saat istirahat dan
tidur nyenyak karena kelelahan, ternyata diam-diam serdadu Belanda
mengepung Lurah Kincir dan melepaskan rentetan tembakan membabi buta
dari atas tebing ke arah lurah. Maka tembak menembak yang tak seimbang
pun terjadi dan para pejuangpun berguguran. Sembilan pejuang gugur dan
50 orang pejuang yang kebanyakan anggota BNPK dan PMT menjadi syuhada. (
Hikmat Israr 2009).
Salah satu dari sembilan pejuang yang gugur adalah Letda Syamsul
Bahri, ZA warga VII Koto Talago. Sedangkan Sjofyan, saudara ipar Anwar
ZA asal Koto Kociak dan beristrikan orang Padang Japang selamat dari
penyerbuan biadab tersebut.
5. Berakhirnya PDRI di Koto Kociak
Sebelum berngkat ke Yogyakarta menemui Soekarno-Hatta, Mr. Sjafruddin
Prawiranegara merasa perlu untuk mengadakan rapat umum sekali gus
perpisahan dengan segenap lapisan masyarakat VII Koto Talago khususnya
dan masyarakat Suliki umumnya yang dengan setia telah membantu
perjuangan PDRI. Rapat umum tersebut diselenggarakan pada tanggal 7 Juli
1949 di lapangan bola kaki Koto Kociak yang dihadiri sekitar 5000-an
massa rakyat. Rapat umum dipimpin oleh Wedana Militer Malik Siddik.
Dalam rapat umum tersebut berbicara berturut-turut Mr.St.Moh. Rasjid,
dr.Leimena, M.Natsir dan Mr.Sjafruddin Prawiranegara. Sesudah rapat umum
itu, delegasi kembali ke Padang Japang. Tanggal 8 Juli 1949 Mr.
Sjafruddin Prawiranegara bersama-sama delegasi Bangka berangkat
meninggalkan daerah Tujuah Koto Talago menuju Yogyakarta untuk
menyerahkan mandatnya. Keberangkatan rombongan dilepas dengan keharuan
dan tetesan air mata rakyat. Secara bersama-sama rakyat mengantarkan
rombongan sampai perbatasan Dangung-Dangung. (Hikmat Israr 2009).
Rapat umum di Koto Kociak agar mudah diingat yaitu dengan menghafal
angka 3 x 7 yang artinya, tanggal 7, bulan 7 di VII Koto Talago. (H.C.
Israr 1999). Tanggal 19 Desember kini ditetapkan pemerintah sebagai Hari
Bela Negara dengan Keputusan Presiden No. 28 tanggal 2006 karena pada
tanggal tersebut terbentuknya PDRI.
Di lapangan bola kaki Koto Kociak, di tepi jalan raya Koto Kociak ke
Limbanang kini berdiri Tugu PDRI yang menjadi kenangan yang membanggakan
daerah ini. (lihat foto berikut).
Gbr. 2.1 Tugu PDRI di Koto Kociak
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?