Sejarah PDRI Yang Terlupakan
KRONOLOGIS SEJARAH PDRI (19 DESEMBER 1948 – 13 JULI 1949)
“peristiwa situjuah adalah Rangkaian Perjuangan PDRI yang dicabik-cabik oleh Belanda”
19 Desember 1948
Yogyakarta dan Bukittinggi diserang oleh Belanda, secara serentak Kabinet Hatta mengeluarkan dua surat mandat tentang pembentukan Pemerintah Darurat untuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi dan Mr. A.A. Maramis di New Delhi. Pada saat yang sama Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengadakan rapat darurat dengan para pemimpin di Bukittinggi dan mengumumkan secara terbatas tentang pembentukan PDRI.
20 Desember 1948
Rapat-rapat dilakukan di Bukittinggi, sementara arus pengungsi keluar kota mulai terjadi. Kepala Staf AURI Komodor H. Soejono memerintahkan penyelamatan dua Stasiun Radio PHB AURI dengan membawanya ke Halaban (Payakumbuh Selatan) dan Piobang, Stasiun Radio tersebut adalah :
a. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III Luhukay.
b. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III M.S. Tamimi.
21 Desember 1948
Rombongan pemerintah sipil, termasuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Teuku Hasan meninggalkan Bukittinggi untuk seterusnya mengungsi ke Halaban. Kepala Kepolisian Sumatera Barat , Komisaris Sulaiman Efendi dan sejumlah pemimpin menyingkir ke Lubuk Sikaping, Pasaman. Stasiun Radio AURI pimpinan Lahukay tiba Halaban, tetapi tidak sempat mengudara, karena dibumihanguskan di Halaban. Stasiun Radio Pemancar pimpinan M. Jacob Loebis sampai di Piobang, Payakumbuh untuk seterusnya dibawa ke Koto Tinggi, tengah malam Kota Bukittinggi dibumihanguskan.
“peristiwa situjuah adalah Rangkaian Perjuangan PDRI yang dicabik-cabik oleh Belanda”
19 Desember 1948
Yogyakarta dan Bukittinggi diserang oleh Belanda, secara serentak Kabinet Hatta mengeluarkan dua surat mandat tentang pembentukan Pemerintah Darurat untuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Bukittinggi dan Mr. A.A. Maramis di New Delhi. Pada saat yang sama Mr. Sjafruddin Prawiranegara mengadakan rapat darurat dengan para pemimpin di Bukittinggi dan mengumumkan secara terbatas tentang pembentukan PDRI.
20 Desember 1948
Rapat-rapat dilakukan di Bukittinggi, sementara arus pengungsi keluar kota mulai terjadi. Kepala Staf AURI Komodor H. Soejono memerintahkan penyelamatan dua Stasiun Radio PHB AURI dengan membawanya ke Halaban (Payakumbuh Selatan) dan Piobang, Stasiun Radio tersebut adalah :
a. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III Luhukay.
b. Stasiun Radio di bawah Opsir Udara III M.S. Tamimi.
21 Desember 1948
Rombongan pemerintah sipil, termasuk Mr. Sjafruddin Prawiranegara dan Mr. Teuku Hasan meninggalkan Bukittinggi untuk seterusnya mengungsi ke Halaban. Kepala Kepolisian Sumatera Barat , Komisaris Sulaiman Efendi dan sejumlah pemimpin menyingkir ke Lubuk Sikaping, Pasaman. Stasiun Radio AURI pimpinan Lahukay tiba Halaban, tetapi tidak sempat mengudara, karena dibumihanguskan di Halaban. Stasiun Radio Pemancar pimpinan M. Jacob Loebis sampai di Piobang, Payakumbuh untuk seterusnya dibawa ke Koto Tinggi, tengah malam Kota Bukittinggi dibumihanguskan.
Pembentukan Kabinet PDRI di Halaban. Stasiun Radio PHB AURI Pimpinan Tamimi diserahkan oleh Komondor H. Soejono Kepala PDRI (Sjafruddin Prawiranegara) untuk melayani komunikasi radio Mr. Sjafruddin Prawiranegara beserta rombongannya. Stasiun Radio itu ikut serta bergerilya hingga ke tempat pengungsian di Bidar Alam.
23 Desembar 1948
Stasiun Radio Tamimi di Halaban untuk pertama kali dapat berhubungan dengan Stasiun Radio AURI yang lain, baik yang berada di Jawa maupun di Sumatera (Ranau, Jambi, Siborong-Borong dan Kotaraja). Sjafruddin Prawiranegara merasa gembira menerima laporan tes kemampuan Stasiun Radio PDRI, dan memngumumkan berdirinya PDRI.
24 Desembar 1948
Menjelang Subuh, rombongan PDRI di bawah pimpinan Sjafruddin Prawiranegara meninggalkan Halaban menuju Pekan Baru, melalui Lubuk Bangku dan Bakinang. Stasiun Radio Tamimi dengan semua peralatan pengirim dan penerima ditempatkan pada sebuah Jip, mengikuti rombongan PDRI Awak (Crew) Stasiun Radio tersebut adalah :
1. Opsir Udara M.S. Tamimi sebagai Kepala
2. Sersan Mayor Udara Kusnadi. sebagai Teknisi merangkap Teloegrafis
3. Sersan Mayor Udara R. Oedojo, Telegrafis
4. Kopral Udara Zainal Abidin,Telegrafis Mengabungkan diri di Bidar Alam dari Pangkalan Udara Jambi.
5. Letnan Muda Udara III Umar Said Noor, Bagian Sandi
Mengabungkan diri di Bidar Alam dari Pangkalan Udara Jambi.
Stasiun Radio Tamimi mengunakan kode pangil (Call Sign) “UDO” singkatan dari Oedojo. Sering dipakai juga Call Sign “KND” atau “ZAY” singkatan dari Kusnadi dan Zainal Abidin. Type sender yang digunakan ialah MK III 19 Set.
24 - 26 Desembar 1948
Rombongan Rasjid tiba di Koto Tinggi, dilengkapi dengan beberapa set perlengkapan Stasiun Radio :
a.Stasiun Radio AURI yang melayani Gubernur Sumatera Barat/Tengah di Koto Tinggi adalah Stasiun Radio ZZ di bawah pimpinan Opsir Muda Udara I M. Jacob dengan ahli telegaf antara lain Zainul Aziz, Soesatyo, Soegianto, Soeryo.
b.Stasiun Radio AURI yang bertugas mulai 22 Desember 1948 sampai 11 November 1948 mengikuti Gubernur Sumatera Barat/Tengah Mr. Rasjid dengan type sender : TCS-10
c.Stasiun Radio yang berpindah-pindah tempat, mulai dari Desa Koto Tinggi, Puar Datar (di sini hampir saja Stasiun Radio ini diketahui olah Belanda yang menyerbu Puar Datar, tetapi berkat kesiagaan dan kegesitan para awak pihak Belanda dapat dikelabui), Sungai Dadok sampai Mudik Dadok. Sebelum memasuki Kota via Piobang, pada tanggal 11 November 1948, Stasiun Radio ini beroperasi di Sungai Rimbang, Stasiun Radio AURI ini mampu berhubungan pula dengan Jawa dan Luar Negeri (India).
d.Stasiun Radio AURI yang melayani Mr. Sjafruddin Prawiranegara di Koto Tinggi, antara 19 Juni 1949 dan 8 Juli 1949, berakhir saat tokoh ini berangkat ke Yogyakarta.
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara berada di Bangkinang. Sewaktu rombongan berada di Bangkinang. Belanda yang mengunakan pesawat-pesawat P-51 menyerang dengan bom.
Stasiun Radio mengirim berita ke Pangkalan Udara Jambi, menyampaikan permintaan PDRI agar pesawat RI 005 PBY (AU) diterbangkan kesalah satu sungai di Riau, ternyata kemudian pada tanggal 29 Desember 1948 ketika Belanda menyerbu Kota Jambi, pesawat yang dimaksud tenggelam di Sungai Batang Hari saat berusaha lepas landas.
27 - 28 Desembar 1948
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara segera meninggalkan Bangkinang, menuju Tarakan Buluh dan menyeberangi Sungai Kampar untuk meneruskan perjalanan ke Teluk Kuantan. Beberapa sadan ditinggalkan dan ditenggelamkan ke dalam sungai. Setelah melewati beberapa kampong antara lain Lipat Kain dan Muara Lembu, Jip berisi peralatan Sender terbalik, masuk kubangan lumpur beserta seluruh penumpangnya. Penumpang Jip itu adalah
Sjafruddin Prawiranegara, Tumimi (yang bertindak sebagai sopir), Oedojo dan Kusnadi. Sjafruddin Prawiranegara kehilangan kacamatanya, untunglah jip beserta peralatan pengirim tidak mengalami kerusakan, meskipun memerlukan waktu sehari semalam untuk dibersihkan dan dikeringkan. Sedangkan Sjafruddin Prawiranegaraberuntung mendapatkan kacamata “baru” dari seorang Dokter yang bertugas di wilayahn itu.
29 Desembar 1948
Perjalanan diteruskan ke Teluk Kuantan, ditepi Sungai Kuantan mereka menginap. Sementara itu Panglima Kol. Hidayat singah di Koto Tinggi dalam perjalanan cross-country dari Selatan ke Utara Sumatera, hingga ke Aceh. Hidayat mengadakan rapat dengtan Gubernur Rasjid dan mengambil keputusan merombak Pemerintahan Sipil menjadi Pemerintahan Militer. Semua pejabat Gubernur Sipil dan segenap jajarannya dimiliterkan dan semua Wakil Gubernur diangkat dari Tokoh Militer.
30 - 31 Desembar 1948
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki dari Taluk ke Sungai Dareh, semua kendaraan di tinggalkan di Taluk. Pada suatu tempat tertentu antara Taluk dan Sungai Dareh peralatan Sender diangkut melalui hutan dengan Lori bekas Jepang. Penumpang Lori hanya dua orang yaitu : Ir. Indra Tjahja sebagai masinis dan Oedojo (Telegrafis) sebagai penjaga peralatan Sender.
1 Januari 1949
Tahun Baru rombongan menginap selama tiga hari di Sungai Dareh, beristirahat dan merayakan tahun baru. Stasiun Radio sempat mengirimkan Ucapan Selamat tahun Baru kepada seluruh Stasiun Radio AURI di Jawa dan Sumatera yang melayani Pemerintahan Sipilo dan Militer.
3 Januari 1949
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara berangkat dari Sungai Dareh ke Bidar Alam via Aabi Siat dan Abai Sangir. Rombongan dibagi menjadi tiga : (1) Rombongan Induk dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara, menempuh jalur Sungai Batang Hari dengan mempergunakan sampan yang digerakan dengan dayung dan galah dari bamboo. (2) Rombongan Keuangan dipimpin oleh Mr. Loekman Hakim (Menteri Keuangan PDRI) menuju Muara Tebo dengan naik perahu bermotor, membawa klise oeang RI Poeloe Sumatera (ORIPS) untuk dicetak di Muaro Bungo. (3) Rombongan Satsiun Radio dipimpin oleh Wakil PDRI Mr. Teuku Hasan, mengambil jalan darat karena takut tenggelam, dengan berjalan kaki menuju Abai (setelah berpisah kurang lebih 2 minggu mereka bertemu kembali di Bidar Alam).
(Keterangan mengenai ORIPS : Mesin Cetak Uang RI Muaro Bungo dirakit oleh anggota-anggota AURI dari Jambi, yang dipimpin Opsir Udara III Soejono, dari bekas mesin cetak biasa. Hasil cetakan ORIPS itu diserahkan kepada Mr. Loekman Hakim, Menteri Keuangan PDRI dan dibagi-bagikan kepada pemerintah setempat di Muaro Bungo).
4 - 5 Januari 1949
Rombongan Stasiun Radio tiba di Abai Siat dan bersiap-siap menuju Abai Sangir (“From Abai to Abai”). Beberapa peralatan sender yang tidak begitu penting terpaksa ditinggalkan ditengah perjalanan kerena medan yang ditempuh sangat berat.
7 – 9 Januari 1949
Rombongan Stasiun Radio beristirahat selama kurang lebih satu minggu di Abai Sangir. Ketika rombongan stasiun radio berada di Sangir, rombongan keuangan yang dipimpin Mr. Loekman Hakim sudah tiba di Muara Tebo dan siap-siap melanjutkan ke Bidar Alam. Selama di Abai Sangir, stasiun radio tetap mengudara.
10 Januari 1949
Belanda menyerang Koto Tinggi dari basisnya di Payakumbuh.
15 Januari 1949
Tragedi Situjuh Batur. Rapat Besar Pimpinan Sumatera Barat di Situjuh Batur digrebek Patroli Belanda. Banyak Korban jatuh termasuk beberapa Tokoh Paling Terkemuka di Sumatera Barat (antara lain Ketua MPRD, Chatib Soelaiman) dan Puluhan Prajurit dan BNPK di Nagari itu. Antara lain yang dimakamkan di Situjuh Batur yaitu :
1 CH. SULAIMAN MPRD
2 ARISUN ST. ALAMSYAH BUPATI
3 MUNIR LATIF LETKOL
4 ZAINUDDIN MAYOR
5 TANTAWI KAPTEN
6 AZINAR LAETNA I
7 SYAMSUL BAHRI LETNAN II
8 RUSLI SOPIR
9 SYAMSUDIN PMT
Yang dimakamkan di Situjuh Banda Dalam adalah :
1 M. ZEIN BPNK
2 RAMLI BPNK
3 SYAMSUL KAMAL BPNK
4 KAMASYHUR BPNK
5 NAKUMAN BPNK
6 MANGKUTO BPNK
7 AHMAD BPNK
8 RAJIMAN BPNK
Yang dimakamkan di Situjuh Gadang adalah :
1 RAUDANI LETDA
2 ABDUDIS LETDA
3 AGUS YATIM LETTU
4 AZIS JUNAID LETTU
5 ABAS HASAN SERMA
6 DARUHAN SERMA
7 RASYID SIRIN KOPTU
8 Y. MALIKI BPNK
9 HASAN BASRI BPNK
10 BURHAN BPNK
11 ALI AMRAN BPNK
12 SYAFWANEFF BPNK
13 A. MALIK BPNK
16 Januari 1949
Rombongan Stasiun Radio beserta Mr. Teuku Hasan tiba di Bidar Alam, rombongan Sjafruddin Prawiranegara sudah tiba disana terlebih dahulu. Sekitar minggu terakhir Januari 1949, seluruh rombongan secara lengkap sudah berada di Bidar Alam.
17 Januari 1949
Stasiun Radio PDRI berhasil melakukan kontak dengan New Delhi.
21 Januari 1949
Sjafruddin Prawiranegara mengirimkan ucapan selamat kepada Nehru dan peserta Konferensi New Delhi tentang Indonesia.
22 Januari 1949
Konferensi New Delhi yang dihadiri oleh 19 Delegasi Negara Asia, termasuk Delegasi Peninjau, mengeluarkan Resolusi (Resolusi New Delhi), yang berisi protes terhadap agresi Militer Belanda dan menuntut pengembalian Tawanan Politik (Soekarno-Hatta) dan semua pemimpin Republik ke Yogyakarta.
23 Januari 1949
Mr. Rasjid dari Koto Tinggi, mengirimkan ucapan selamat atas keberhasilan Konferensi New Delhi.
28 Januari 1949
DK-PBB mengeluarkan resolusi tentang masalah Indonesia.
29 Januari 1949
Hubungan PDRI dengan para pemimpin di Jawa mulai dapat dibuka lewat telegram Kol. T.B. Simatupang, Wakil Kepala Staf APRI, yang melaporkan perkembangan di Jawa kepada PDRI Pusat di Sumatera. Laporan ini kemudian pada 12 Februari 1949 disusul dengan laporan Kol. A.H. Nasution kepada Ketua PDRI.
7 Februari 1949
Menteri Kasimo, atas nama KPPD melaporkan perkembangan terakhir di Jawa sebagai tanggapan atas telegram Ketua PDRI, 15 Januari 1949.
8 – 30 Februari 1949
Komunikasi antar Tokoh PDRI di Sumatera dan Jawa dapat diintensifkan sehingga kepemimpinan dan strategi perjuangan menghadapi kekuatan militer Belanda semakin Terkonsolidasi.
Prakrasa perundingan yang disponsori oleh Badan PBB, UNCI, antara para pemimpin yang ditawan di Bangka dengan para petinggi Belanda di Jakrta di bawah pimpinan Wakil Tinggi Mahkota Belanda Dr. Beel.
28 Februari – Maret 1949
Serangan balik ke Ibu Kota berdasarkan gagasan cemerlang penguasa tertinggi Republik di Yogya, Sri Sultan Hamengku Buwono. Serangan itu dilaksanakan oleh para prajurit yang bermarkas di sekitar Yogya, dipimpin oleh Letkol Soeharto.
2 – 29 Maret 1949
Kontak antara PDRI di Sumatera dan PDRI di Jawa.
3 Maret 1949
Stasiun Radio Dick Tamimi di Bidar Alam menerima radiogram dari Wonosari tentang serangan 1 Maret 1949 (“6 jam di Yogya”). Radiogram tersebut langsung dikirim keseluruh Satsiun Radio AURI di Sumatera, termasuk Koto Tinggi, Aceh. Kabar itu, oleh Stasiun Radio AURI di Koto Tinggi, dikirimkan pula ke Perwakilan RI di New Delhi melalui surat stasiun radio di India. Berita yang sama juga disebarkan oleh Stasiun Radio AURI di Aceh (belakangan diketahui bahwa stasiun radio AURI tersebut berada di Desa Tangse dan di Kota Kotaraja), yang ternyata mempunyai hubungan dengan Stasiun Radio Angkatan Darat Burma. Atas izin pemimpin AD Burma saat itu, Stasiun Radio Angkatan Darat Burma dapat dipergunakan oleh Opsir Muda Udara III Soemarno untuk berhubungan dengan Stasiun Radio AURI di Aceh. Soemarno, telegrafis, bersama Opsir Udara III Wiweko, penerbangan berada di Burma dalam rangka penerbangan RI Seulawah.
31 Maret 1949
Penyempurnaan Susunan Kabinet PDRI. Keanggotaan Kabinet diperlengkapi dengan para Menteri yang masih aktif di Jawa, termasuk Mr. Maramis, Menteri Keuangan dalam Kabinet Hatta, yang diangkat sebagai Menteri Luar Negeri PDRI berkedudukan di New Delhi.
1 April 1949
Panglima Besar Soedirman akhirnya memilih menetap di Desa Sobo, setelah mengungsi dan bergerilya sejak mundur dari Yogya, Subuh 19 Desember 1948 dia menetap di Desa itu hingga kembali ke Yogya 10 Juli 1949.
15 – 25 April 1949
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara secara bertahap meninggalkan Bidar Alam menuju Sumpur Kudus, tempat musyawarah besar pimpinan PDRI akan diadakan.
4 Mei 1949
Rombongan Gubernur Militer Mr. Rasjid dari Koto Tinggi dan Mr. Moh. Nasroen, mantan Wakil Gubernur Sumatera Tengah yang diangkat sebagai Komisaris Pemerintah Pusat untuk Sumatera Tengah, tiba di Sumpur Kudus.
5 Mei 1949
Rombongan PDRI Sjafruddin Prawiranegara, secara lengkap tiba di Desa Calau, Sumpur Kudus. Rombongan PDRI meninggalkan Bidar Alam dengan naik perahu dan berjalan kaki melalui desa-desa antara lain Abai Siat, Sungai Dareh, Kiliran Jao, Sungai Betung, Padang Tarok, Tapus, Durian Gadang, Menganti (menginap satu malam) dan akhirnya tiba di Calau, Silantai, Sumpur Kudus.
7 Mei 1949
Pernyataan Roem-Royen di Jakarta, disusul dengan reaksi keras dari pihak oposisi, PDRI dan Panglima Besar Soedirman.
9 Mei 1949
Rombongan Sjafruddin Prawiranegara meninggalkan Calau, menuju ke Sumpur Kudus. Setelah menempuh satu hari perjalanan, rombongan tiba disebuah dataran tinggi. Saat itu anggota rombongan dipecah tiga : Sjafruddin Prawiranegara ke Desa Silangit dan Silantai, Stasiun Radio Sjafruddin ke Desa Guguk Siaur dan rombongan Keuangan ke Desa Padang Aur dam desa-desa lain sekitarnya. Di Daerah Ampalu itu, kru Stasiun Radio AURI bertemu dengan Kru Stasiun Radio PTT di Desa Tamporunggo, Sungai Naning dan desa-desa lain. Sejak saat itu, kegiatan Stasiun Radio Dick Tamimi semakin intensif.
14 – 17 Mei 1949
Sidang Paripurna Kabinet PDRI di Silantai, Sumpur Kudus di daerah Ampalu. Di tempat itu berkumpul semua anggota Kabinet PDRI yang berada di Bidar Alam dan Koto Tinggi, untuk membicarakan reaksi PDRI terhadap prakarsa perundingan yang dilakukan oleh para pemimpin yang ditawan di Bangka (Pimpinan Soekarno – Hatta). PDRI mengeluarkan pernyataan yang menolak prakarsa perundingan kelompok Bangka.
18 Mei – 19 Juni 1949
Sjafruddin tidak kembali ke Bidar Alam, melainkan tetap bersama seluruh anggota rombongan berangkat ke Koto Tinggi.
2 Juni 1949
Sjafruddin melakukan kontak radiogram dengan Hatta, via Kol. Hidayat, Panglima Sumatera yang bermarkas di Aceh.
5 – 10 Juni 1949
Hatta berangkat ke Aceh untuk mencari PDRI
19 Juni – 30 Juli 1949
Stasiun Radio AURI Tamimi (walaupun tanpa Tamimi lagi, karena yang bersangkutan telah ikut ke Koto Tinggi) masih berada di Siaur untuk beristirahat. Mereka ikut berpuasa dan berlebaran di Desa Siaur, pada tanggal 27 juli 1949.
2 – 3 Juli 1949
Utusan Hatta (terdiri dari dr. Leimena, Moh. Natsir dan dr. A. Halim) yang hendak menemui Sjafruddin di Koto Tinggi, tiba di Padang. Setelah menginap satu malam di Hotel Muaro, mereka berangkat dengan konvoi ke Bukittinggi dan seterusnya ke Payakumbuh. Keadaan pada waktu itu belum aman, sehingga kendaraan mereka paling kurang harus berhenti lima kali, karena dicegat oleh Gerilyawan.
6 – 7 Juli 1949
Perundingan antara utusan Hatta dan PDRI berlangsung di Koto Kaciak, Padang Japang Payakumbuh. Setelah melalui perundingan yang alot dan menegangkan, Sjafruddin berhasil diajak kembali ke Yogya, menandai terjadinya rujuk antara PDRI dan kelompok Bangka.
6 – 8 Juli 1949
Rombongan pemimpin dari Bangka tiba di Yogya. Dua hari kemudian utusan Hatta tiba pula di Ibu Kota.
10 Juli 1949
Sjafruddin dan Panglima Besar Soedirman memasuki Yogya. Sjafruddin bertindak sebagai Inspektur upacara penyambutan para pemimpin yang kembali ke Yogya.
13 Juli 1949
Sidang Kabinet Hatta pertama sejak Agresi kedua Belanda dengan acara pokok pengembalian Mandat PDRI oleh Sjafruddin kepada Soekarno – Hatta.
25 Juli 1949
Badan Pekerja KNIP dalam sidang pertama yang dipimpin Mr. Asaat, menyetujui pernyataan Roem Royen, tetapi dengan persyaratan yang diajukan PDRI melalui pengumuman pada 14 Juni. Persyaratan itu adalah : (1) TNI tetap berada di daerah yang didudukinya; (2) Tentara Belanda harus ditarik dari daerah yang didudukinya; (3) Pemulihan Pemerintah RI di Yogyakarta harus dilakukan dengan tanpa syarat.
Sejak itu, babak baru sejarah perjuangan memasuki tahap akhir, hingga menyerahkan kedaulatan oleh Belanda kepada Indonesia (RIS) pada tanggal 27 Desember 1949.
Daftar Pustaka :
Mestika Zed, Somewhere in the Jungle
Pemerintah Darurat Republik Indonesia, Sebuah Mata Rantai Sejarah Yang Terlupakan
Jakarta, Pustaka Utama Grafiti, 1997, hal.335.
By ; Biro Humas, dikutip dari buku saku Panpel Mubes Yayasan (Peduli Perjuangan) PDRI Th.2003
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Peristiwa Situjuah adalah suatu peristiwa penyerangan oleh pasukan penjajah Belanda terhadap para pejuang kemerdekaan Indonesia di masa Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang menewaskan beberapa orang pimpinan pejuang dan puluhan orang anggota pasukan lainnya.
PDRI
PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia) adalah suatu
pemerintahan darurat yang dibentuk pada tanggal 22 Desember 1948 oleh
beberapa orang pimpinan pejuang kemerdekaan Indonesia dan dipimpin oleh Sjafruddin Prawiranegara. Pemerintahan itu dibentuk karena ditangkap dan diasingkan-nya beberapa orang pemimpin Republik Indonesia yaitu Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan Menteri Luar Negeri Agus Salim serta Sjahrir dan lainnya oleh pihak Belanda ketika terjadinya Agresi Militer Belanda II pada tanggal 19 Desember 1948.
Ibukota PDRI adalah Bukittinggi, namun perjuangannya lebih banyak terjadi di desa-desa dan hutan-hutan Sumatera Tengah
sehingga disebut "Pemerintahan Dalam Rimba Indonesia" (PDRI) oleh pihak
Belanda. Sedangkan lokasinya disebut "Somewhere in the Jungle".
Patriot Bangsa
Dalam salah satu mata rantai perjuangan PDRI itulah terjadi suatu
peristiwa pada tanggal 15 Januari 1949, dimana puluhan orang pejuang
yang terdiri dari beberapa pimpinan dan puluhan anggota pasukan Barisan
Pengawal Negeri dan Kota (BPNK) tewas seketika diberondong tembakan oleh
pihak penjajah Belanda. Peristiwa itu terjadi di Lurah Kincia, Situjuah
Batua, Kecamatan Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat.
Malam sebelumnya pada 14 Januari 1949 para pejuang tersebut
mengadakan rapat untuk membahas strategi dalam menghadapi agresi yang
dilakukan pihak Belanda yang dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II.
Rapat itu atas instruksi Gubernur Militer Sumatera Tengah Sutan Mohammad Rasjid dan dipimpin oleh Chatib Sulaiman
selaku Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah. Selain itu rapat juga
diikuti oleh beberapa orang pimpinan pejuang lainnya, diantaranya Arisun Sutan Alamsyah (Bupati Militer Lima Puluh Kota), Letnan Kolonel Munir Latief, Mayor Zainuddin, Kapten Tantawi, Lettu Azinar, Letda Syamsul Bahri serta 69 orang pasukan Barisan Pengawal Negeri dan Kota (BPNK).
Hasil rapat memutuskan bahwa mereka akan menyerang kota Payakumbuh
yang diduduki Belanda, dan akan menduduki kota itu sambil menggelorakan
semangat perlawanan gerilya rakyat untuk membuktikan pada dunia
internasional bahwa Pemerintahan Republik Indonesia masih ada dan
didukung rakyat yang terus melakukan perlawanan dan perjuangan. Semua
itu dilakukan untuk melawan propaganda Belanda yang selalu mengatakan
bahwa mereka telah menguasai Indonesia sepenuhnya setelah mereka
berhasil menduduki ibu kota Republik Indonesia, Yogyakarta, serta menangkap dan mengasingkan para pemimpin Republik.
Subuh hari setelah beristirahat seusai rapat, ketika hendak
melaksanakan shalat subuh tiba-tiba mereka diserang oleh pihak Belanda.
Para pimpinan pejuang yang ikut menghadiri rapat tersebut beserta
puluhan pejuang lainnya-pun gugur seketika.
Peristiwa yang terjadi di Lurah Kincia, Situjuah Batua, Kecamatan
Situjuah Limo Nagari, Kabupaten Lima Puluh Kota, Sumatera Barat itu
dikenang sebagai "Peristiwa Situjuah".
Makam Pahlawan PDRI di Situjuh Batur, Kecamatan Situjuah Limo Nagari
TOKOH PERISTIWA SITUJUAH 15 Januari 1949
Sekilas Tentang Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (1), Arisun Sutan Alamsyah, Sosok Sejati
PERISTIWA SITUJUAH BATUA 15 Januari
1949 adalah mata rantai Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI)
di Sumbar, yang tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sejarah
Indonesia. Dalam peristiwa ini puluhan pejuang dan rakyat badarai tewas
di tangan Belanda, sehingga menjadi tragedi buruk sepanjang PDRI
berdiri.
Air cucuran atap jatuhnya ke genangan juga. Pepatah
itu cocok betul untuk mengambarkan sosok Arisun Sutan Alamsyah, mantan
Bupati militer Kabupaten Limapuluh Kota, yang dipanggil sang pencipta
ketika tragedi berdarah 15 Januari 1949 meletus di Lurah Kincia,
Situjuah Batua (sekarang masuk dalam Kecamatan Situjuah Limo Nagari,
Kabupaten Limapuluh Kota, Sumbar). Mengapa tidak? Jauh sebelum menjadi
Bupati dan pemimpin rakyat, Arisun telah tumbuh di lingkungan
orang-orang besar pun terpandang. Ayahnya adalah Tamin Datuk Bandaro
Sati, mantan Kepala Negeri Banuhampu Agam. Pamannya Mr Assa’at, Ketua
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sekaligus mantan Pj Presiden
Republik Indonesia . Menurut (Alm) HC Israr, seorang penulis sejarah di
Sumbar, Arisun Sutan Alamsyah lahir tahun 1915 di Nagari Kubang Putiah,
Kabupaten Agam dari ibu bernama Harikam. Dalam keluarganya yang bersuku
Piliang, Arisun merupakan anak keempat dari lima bersaudara.
Layaknya banyak pemimpin di negeri ini, Arisun Sutan
Alamsyah juga sempat mengecap berbagai jenjang pendidikan. Dia pernah
bersekolah di-Hollands Inlands School (HIS), dan Mee Uitgebreid Lager
Onderwijs (MULO) Bukittingi. Setamat dari Mulo, dia melanjutkan
pendidikan ke Algeene Middelbare Scholl (AMS) di Jakarta. Setamat dari
AMS, Arisun mendapat tawaran bekerja dari Belanda. Tapi dia bukanlah
orang yang haus akan jabatan, karena jauh di balik sanubarinya, terpatri
rasa tidak ingin menjadi robot-robot penjajah Belanda! Makanya, Arisun
Sutan Alamsyah langsung bertekad untuk terus dan terus menggali ilmu
pengetahuan, dengan berencana melanjutkan pendidikan ke Filipina. Namun
tragis, sebelum kapal cita-citanya sampai di pulau harapan, Arisun Sutan
Alamsyah yang sedang minta izin pulang kampung, mengalami cedera hebat
di kaki, karena bermain bola melawan klub REMZ Sawahlunto.
Sejak mengalami cedera panjang, dia terpaksa
membatalkan niat untuk berangkat ke negeri Corazon Aquiono (Filipina),
dan memilih jalan hidup baru sebagai seorang guru. Pertama-tama, dia
mengajar di Perguruan Jirek Bukittingi. Kemudian pindah ke perguruan
Training College Payakumbuh. Selain menjadi guru, Arisun Sutan Alamsyah
juga aktif kembali dalam perjuangan bangsa. Buktinya, bersama Dokter
Anas (orang Indonesia yang agak bergaya Belanda) serta Sudiro, dia
membentuk Badan Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan atau Geneskunding
Transport Colone (GTC) atau sebuah organisasi yang tugasnya mirip dengan
Palang Merah Indonesia (PMI). Kemudian, pada zaman pemerintahan
Jepang, Arisun aktif pula dalam Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat)
Kabupaten 50 Kota yang dipimpin Haji Darwis Datuk Tumanggung. Lalu, saat
di Payakumbuh muncul Gyu Gun, Arisun St Alamsyah juga turut aktif dalam
Gyu Gun ‘Ko En Bu’ Kabupaten 50 Kota .
Menikah dan Jadi Bupati
Pada tahun 1946, Arisun mengakhiri masa lajangnya
dengan menyunting gadis manis dari Ladang Laweh Banuhampu Agam, bernama
Ros Sa’adah. Kelak, dia dan Ros Sa’adah dikarunai Tuhan seorang putri
yang bernama Yulida. Sayang, putri semata wayang itu umurnya tidak
panjang, menyusul dengan terjadinya kecelakaan pada pesawat Merpati yang
ditumpangi Yulida di sekitar Pulau Katang pada tahun 1969. Masih pada
tahun 1946, Arisun mendapat amanah sebagai Wedana pertama di Kewedanaan
Suliki, dalam masa kemerdekaan. Wedana Kecamatan Suliki membawahi dua
kecamatan, yaitu kecamatan Suliki dengan camatnya DP. Sati, dan
Kecamatan Guguk dengan Camatnya Saadudin Syarbani. Setelah terjadi
Agresi Belanda, disusul dengan terbentuknya PDRI dan Pemerintahan
Militer di Sumbar pada tahun 1948. Arisun Sutan Alamsyah akhirnya
diangkat menjadi Bupati Militer Kabupaten 50 Kota. Bersamanya, diangkat
pula Anwar ZA menjadi Sekretaris Daerah Kabupaten 50 Kota.
Tapi menjadi Bupati semasa Agresi Belanda ini
tentulah tidak menyenangkan. Bila para Bupati hari ini masih bisa
memikirkan rakyat sambil duduk di ruangan atau mobil yang memiliki air
conditioner (AC). Arisun Sutan Alamsyah, justru memimpin di tengah
desingan peluru dan bom musuh. Bahkan, pada tanggal 10 Januari 1949,
ketika Belanda melancarkan operasi ke Suliki dan Koto Tinggi. Akibatnya,
Arisun Sutan Alamsyah terpaksa mengajak pejuang dan masyarakat, untuk
mengosongkan kawasan Suliki lalu kembali bergerilya. Bukan hanya itu,
istri dan anaknya terpaksa pula diungsikan ke rumah Anwar ZA di Koto
Kociak, Padang Jopang. Masih akibat serangan pada tanggal 10 Januari
tersebut, Gubernur Militer Mr Sutan Muhammad Rasyid, langsung membuat
agenda rapat di Situjuh Batua. Sebelum berangkat ke Situjuah Batua,
Arisun Sutan Alamsyah bersama Komandan Teritorial Sumatera Barat Dahlan
Ibrahim, Ketua MPRD Khatib Sulaiman, Mayor Thalib, Arisun Sutan Alamsyah
dan sejumlah tokoh lain, berkumpul dulu di Koto Kociak.
Dari sanalah mereka berangkat ke Situjuah, dengan
melalui kawasan Batu Hampa yang merupakan kampung asal ayah Proklamator
RI Bung Hatta. Setiba di Situjuah tanggal 14 Januari 1949, mereka
langsung menggelar rapat di surau Mayor Makinudin HS yang merupakan ayah
kandung Haji Khairuddin. Rapat tersebut berlangsung sampai sampai jauh
malam. Karena terlalu lelah, selepas rapat, Arisun Sutan Alamsyah
langsung istirahat. Namun takdir berkata lain, ketika ayam jantan mulai
berkokok dan halimun pagi baru nampak di ufuk timur, tiba-tiba desingan
peluru penjajah mulai menyalak. Lurah Kincia dikepung dari berbagai
penjuru mata angin. Para pejuang, ada yang mencoba untuk melawan. Tapi
kekuatan tidak seimbang. Bayonet di tangan, tentulah tak bisa menandingi
peluru yang muncrat dari moncong senapan. Akibatnya, para pejuang gugur
satu-persatu. Arisun Sutan Alamsyah, termasuk satu dari banyak syuhada
itu
Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (2), Chatib Soelaiman, Kesempurnaan Seorang Pahlawan
Dia tidak hanya seorang pemimpin di medan perang.
Tapi juga pemikir dengan bejibun teori. Dia bukan sekedar seniman dan
penulis hebat. Tapi juga tokoh yang taat beragama dan tahu adat. Dia
tidak cuma kekasih yang romantis, tapi juga kawan yang setia!
Bila ada alasan, kenapa Sumatera Barat harus dikenang
sepanjang massa, barangkali nama besarnya adalah salah satu jawaban.
Itulah dia Chatib Soelaiman. Mantan Ketua MPRD Sumbar yang gugur dalam
Peristiwa Situjuh 1 Januari 1949 ini, memang seorang pahlawan sempurna.
Ulama legendaris ranah Minang Haji Abdul Malik Karim Amarullah alias
Buya Hamka, dalam kenangannya dengan gamblang mengatakan, perjuangan di
Sumbar tidaklah dapat memisahkan nama Chatib Soelaiman, baik di zaman
Belanda ataupun pendudukan Jepang, apalagi di zaman sesudah proklamasi.
Chatib Soelaiman menurut sejarah terlahir di Sumpur
tahun 1906, sebagai anak kelima dari 8 bersaudara, ibunya bernama Siti
Rahma, sedangkan ayahnya adalah Haji Soelaiman. Usia 6 tahun (1912), dia
bersekolah di Gouvernement Benteng (Sekolah Dasar) Padang. Kemudian
berniat memasuki MULO. Tapi untuk memasuki MULO, anak didik haruslah
tamatan HIS, semacam sekolah dasar yang menjadikan Bahasa Belanda
sebagai bahasa pengantar.
Karena untuk masuk HIS, murid-murid harus dilihat
status sosial orangtuanya, dan kedudukan dalam stetsel pemerintah
Belanda, atau ketaatan kepada pemerintah Belanda, misalnya dalam
membayar pajak, Chatib Soelaiman tidak bisa memasuki HIS milik
pemerintah. Untung, ada kawan ayahnya yang berbaik hati, sehingga Chatib
bisa masuk HIS Adabiyah, sebuah perguruan swasta yang setingkat dengan
HIS Pemerintah.
Setamat dari HIS pada tahun 1919, Chatib Soelaiman
baru bercita-cita untuk meneruskan ke MULO. Sayang beribu kali sayang,
usaha ayahnya ternyata pailit atau mengalami gulung tikar. Bagaimana
mungkin bisa sekolah, jika biaya tidaklah ada. Tapi Chatib tidak
menyerah. Berkat bantuan Inyiak Basa Bandaro, lagi-lagi soerang kawan
ayahnya yang merupakan tokoh pergerakan dan saudagar di Pasa Gadang,
Chatib akhirnya bisa masuk MULO. Cuma sayang, jenjang pendidikan ini
tidak selesai ditamatkan oleh Chatib Soelaiman, karena dia justru lebih
menekuni dunia seni. Ya, Chatib mulai-mulai ‘tergila-gila’ menggesek
Biola.
Jiwa Seniman dan Tentang Pernikahan
‘Kegilaan’ Chatib akan biola, telah berhasil
membuatnya menjadi seorang Violis atau penggesek biola terkenal di Kota
Padang. Bahkan, dia juga sering untuk mengiringi film-film bioskop yang
saat itu masih disebut film bisu alias tanpa suara. Chatib Soelaiman
yang terbiasa menikmati kesulitan hidup, mengakhiri masa lajangnya pada
tahun 1938. Dia “dinikahkan” dengan gadis sekampung bernama Zubaidah.
Dalam pernikahan gaya Siti Nurbaya ini, Chatib Soelaiman memang kurang
harmonis. Mungkin karena istrinya Zubaidah berasal dari keluarga berada.
Sehingga faktor materi termasuk dalam kalkulasi hidup.
Setelah menikah dengan Zubaidah, Chatib Soelaiman
kembali menjalani bahtera rumah tangga dengan menikahi gadis manis dari
Bukik Surungan, Padangpanjang bernama Syafiah Emma. Syafiah adalah guru
berpendidikan yang menghayati keresahan Chatib. Malang, cinta mereka
tidak bertahan lama, karena Syafiah meninggal dunia dalam usia muda
dengan dua orang anak. Selang beberapa waktu kemudian, Chatib menikah
lagi dengan adik Syafiah Emma bernama Junidar. Junidar adalah seorang
bidan. Dengan istrinya ini Chatib Suleman memperoleh tiga orang anak.
Dengan demikian, sepanjang hidupnya, Chatib tercatat menjalani tiga kali
pernikahan.
Mulai Menjadi Guru
Kisah heroik Chatib Soelaiman sendiri, diawali dengan
keaktifan dirinya dalam pergerakan bangsa di Padangpanjang. Dia pernah
memimpin HIS Muhammadiyah dan mengajar pada Madratsah Isyadinnas (MIN)
Padangpanjang, sekitar tahun 1930. Lalu, pada tanggal 11 Nopember 1932,
dia menjadi pengurus PNI Cabang Padangpanjang. Cuma sayang, pada tahun
1934 pemerintah Belanda mengeluarkan larangan mengadakan rapat dan
berkumpul (vergader-verbod). Dengan larangan itu otomatis dunia
pergerakan mengalami pukulan hebat.
Namun peristiwa itu tidak membuat Chatib berkecil
hati. Dia memindahkan gerakannya ke wilayah ekonomi. Bersama Leon Salim,
ia menerbitkan Majalah Sinar. Dalam terbitan setebal 32 halaman, Chatib
dan Leon membuat karangan untuk saudagar muda dan pelajar-pelajar.
Karangan itu terutama menyangkut masalah ekonomi. Setelah itu, Chatib
pindah ke Bukittinggi. Bersama dengan teman-temannya Anwar St Saidi, Mr
Nasrun dan Marzuki Yatim, Mr Moh Yamin dibangunlah persatuan dagang Bumi
Putera. Kecuali di Bumi Putera, ia bersama teman-temannya mendirikan
pula sebuah Bank yang dinamakan Bank Nasional. Di zaman penjajahan
Belanda sulit ditemui bank-bank swasta. Oleh karena itu mendirikan Bank
Nasional harus diakui sebagai suatu keberanian.
Menjelang Belanda Hengkang
Ketika Belanda mulai berakhir dan adanya
undang-undang S.O.B yang memunculkan kesadaran politik rakyat. Chatib
muncul lagi. Ia merencanakan demonstrasi di Padangpanjang tanggal 12
Maret 1942. Dalam demonstrasi itu pemerintah Belanda dituntut agar
menyerahkan kemerdekaan kepada rakyat Indonesia, atau bukan kepada
Jepang. Kecuali itu, Belanda diminta tidak membumihanguskan kekayaaan
alam Indonesia .
Waktu demonstrasi, direncanakan akan dikibarkan Merah
Putih. Tapi upaya ini dicium Belanda. Akibatnya, pagi Subuh tanggal 12
Maret 1942, Chatib Soelaiman ditangkap dan dibuang ke Kotacane, Aceh.
Tanggal 25 Maret 1942, tentara Belanda telah meninggalkan Kotacane.
Chatib Soelaiman beserta pejuang bisa menghirup udara bebas. Sementara
rakyat, mulai mencari keberadaan mereka. Lalu pada tanggal 31 Maret
1942, Chatib kembali di tengah rakyat Sumbar.
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Chatib Soelaiman membentuk ”Pemuda Nippon Raya”. Sepintas lalu, organisasi ini Pro-Jepang. Tapi ditilik lebih jauh, organisasi ini bertujuan untuk menyelamatkan pergerakan dari Jepang. Awalnya, Jepang suka dengan kehadiran Pemuda Nippon Raya. Tapi kemudian Jepang membubarkan. Chatib Soelaiman ditangkap lagi. Selang beberapa waktu, dia kembali dibebaskan. Kemudian, Jepang membuat Syu Sangi Kai atau sejenis Dewan Perwakilan Rakyat di Sumatera Tengah. Mohammad Syafei ditunjuk sebagai Ketua, Chatib Soelaiman aktif pula di sana .
Ketika Jepang berkuasa di Indonesia. Chatib Soelaiman membentuk ”Pemuda Nippon Raya”. Sepintas lalu, organisasi ini Pro-Jepang. Tapi ditilik lebih jauh, organisasi ini bertujuan untuk menyelamatkan pergerakan dari Jepang. Awalnya, Jepang suka dengan kehadiran Pemuda Nippon Raya. Tapi kemudian Jepang membubarkan. Chatib Soelaiman ditangkap lagi. Selang beberapa waktu, dia kembali dibebaskan. Kemudian, Jepang membuat Syu Sangi Kai atau sejenis Dewan Perwakilan Rakyat di Sumatera Tengah. Mohammad Syafei ditunjuk sebagai Ketua, Chatib Soelaiman aktif pula di sana .
Saat Indonesia Merdeka
Ketika Republik Indonesia dinyatakan Merdeka, pada
Desember 1945 Chatib Soelaiman bergabung dengan Partai Masyumi. Pada
akhir tahun, dia mempersiapkan pula Partai sosialis sebagai reinkarnasi
dari Pendidikan Nasional Indonesia. Sekitar tahun 1947, tepatnya pada
tanggal 21 Januari 1947, Chatib dan kawan-kawan pergi ke Jawa,
menghadiri sidang Komite Nasional Indonesia Pusat yang akan diadakan di
Malang. Chatib Soelaiman kembali ke Sumbar pada pertengahan Mei 1947.
Mengenai keterlibatan Chatib Soelaiman dalam
peristiwa Situjuah 15 Januari 1949. Sesungguhnya, tidak terlepas dari
serangan Belanda ke Koto Tinggi pada tanggal 10 Januari 1949. Serangan
tersebut sangat telak dan membuat Koto Tingi sebagai tempat kedudukan
Gubernur Militer jadi sedikit darurat. Makanya, setelah pasukan Belanda
meninggalkan Koto Tinggi, pemimpin republik di Sumatera Tengah langsung
berkumpul kembali. Mereka berniat untuk menggelar rapat penting. Dalam
rapat tersebut disepakati sejumput keputusan, termasuk menggelar
pertemuan yang lebih lengkap singkat dan penting di daerah Situjuah
Batua, tanggal 15 Januari 1949.
Untuk pertemuan tersebut, Chatib diutus Gubernur
Militer Sumbar Sutan Muhamad Rasyid datang ke Situjuah Batua. Maka pada
tanggal 12 Januari 1949, Chatib Soelaiman, bersama Dahlan Ibrahim, Mayor
A Thalib, berangkat dari Koto Tinggi menuju Koto Kociak, Padang Jopang.
Di sana mereka bermalam, dan sudah dinanti oleh Bupati Militer
Limapuluh Kota Arisun Sutan Alamsyah. Setelah menginap semalam di rumah
Sekwilda Anwar ZA, rombongan ini kemudian berangkat ke Situjuah Batua
tanggal 13 Januari 1949, dengan melewati Nagari Batu Hampa. Di Batu
Hampa, mereka bertemu dengan pemimpin setempat dan menggelar pertemuan
pula. Baru tanggal 14 Januari 1949, sekitar jam 10 malam, Khatib
Sulaiman sampai di Situjuah Batua. Dia langsung memimpin rapat dengan
sejumlah tokoh penting.
Karena terlalu lelah, selepas rapat Chatib Soelaiman
langsung istirahat. Namun takdir berkata lain, ketika ayam jantan mulai
berkokok dan halimun pagi baru nampak di ufuk timur, tiba-tiba desingan
peluru penjajah mulai menyalak. Lurah Kincia dikepung dari berbagai
penjuru mata angin. Para pejuang, ada yang mencoba untuk melawan.
Akibatnya, para pejuang gugur satu persatu, termasuk Chatib Soelaiman.
Namun sebelum menghadap Sang Khalik, Chatib Soelaiman sempat menulis
puisi pada kertas bungkus rokok. Puisi itu diberikan kepada Dahlan
Ibrahim. Sebelum menutup tulisan ini, simaklah sepenggal puisnya:
“Kekasihku../Siapa kuasa memecah cinta/Tumbuh murni antara kita/Biar aku
kejam di asing/Dipaksa suruh beralih kasih/ dan dikau kini jauh/ tiada
hilang dimusnahkan orang.
Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (3) : Munir Latief, Cincin Cinta Anak Saudagar
Ayahnya seorang saudagar tenun yang terkenal. Pamannya, Wali Kota Padang pertama sejak Indonesia merdeka. Tapi dia tidak pongah, juga tidak suka hura-hura. Paling benci dengan manusia pendendam, selalu hidup sederhana. Ketika menjadi Tentara berpangkat Mayor, fasilitasnya yang cukup justru dimanfaatkan untuk perjuangan bangsa, bukan untuk keluarga! Itulah dia Letnan Kolonel (Anumerta) Munir Latief. Tentara pejuang berdarah Koto Anau Solok dan Silungkang Tanahdatar, yang tewas sebagai Syuhada dalam peristiwa berdarah di Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluh Kota, 15 Januari 1949 silam.
Ayahnya seorang saudagar tenun yang terkenal. Pamannya, Wali Kota Padang pertama sejak Indonesia merdeka. Tapi dia tidak pongah, juga tidak suka hura-hura. Paling benci dengan manusia pendendam, selalu hidup sederhana. Ketika menjadi Tentara berpangkat Mayor, fasilitasnya yang cukup justru dimanfaatkan untuk perjuangan bangsa, bukan untuk keluarga! Itulah dia Letnan Kolonel (Anumerta) Munir Latief. Tentara pejuang berdarah Koto Anau Solok dan Silungkang Tanahdatar, yang tewas sebagai Syuhada dalam peristiwa berdarah di Situjuah Batua, Kabupaten Limapuluh Kota, 15 Januari 1949 silam.
Terlahir sekitar tahun 1925 sebagai anak ke 7 dari 14
saudara satu ibu, dan 30 saudara satu ayah di Padang ”Kota Padang
Tercinta Kujaga dan Kubela”. Ibunya bernama Hj Siti Dalisah. Kakeknya
adalah Tuanku Lareh Silungkang, Dja’ar Sutan Pamuncak. Ayah Munir Latief
yang bernama Haji Abdul Latief, pernah menjadi Komisaris sebuah
perusahan terkenal milik Belanda, yakni Pabrik Tenun Padang Asli yang
memproduksi kain sarung Cap Kopi. Kawan akrab ayahnya sesama Komisaris
di perusahan tersebut adalah Haji Turki. Walau agak dekat dengan
Belanda, tapi Abdul Latief sangatlah dikagumi rakyat. Apalagi wataknya
amatlah dermawan dan suka mewakafkan tanah, termasuk tanah di Simpang
Haru dan Pasa Mudiak Padang yang diwakafkan untuk pembangunan masjid.
Kelak, sikap derwaman ini juga menurun kepada anaknya Munir Latief.
Pendidikan dan Karier
Kembali pada Letkol (Anumerta) Munir Latief. Dia
pernah mengecap pendidikan pada Sekolah Adat dan MULO Padang. Setelah
itu melanjutkan ke HBS Jakarta, tapi pendidikannya tidak selesai karena
Jepang sudah masuk dan ”menguasai” Indonesia. Lantaran itu, Munir Latief
kembali ke Padang sambil memasuki pendidikan calon perwira Gyu Gun
angkatan pertama. Menurut pelaku sejarah, saat itu Munir Latief satu
angkatan dengan Dahlan Jambek, Ahmad Husen, Ismail Lengah, Dahlan
Ibrahim, A Thalib, Sofyan Ibrahim, Syarif Usman, K Datuk Malilik Alam,
Nurmatias, dan lainnya. Dalam pendidikan tersebut dia memperoleh pangkat
Gyu Syool atau Letnan II.
Setelah Jepang Hengkang, Gyun Gun dibubarkan. Tapi
banyak opsirnya tetap aktif dan menyusun kekuatan di Barisan Keamanan
Rakyat (BKR) yang tersebar di Sumatera Tengah. BKR ini kemudian berubah
menjadi Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pada tanggal 1 Januari 1946
diresmikan TKR Sumatera Barat dan Riau menjadi Divisi III dengan komando
Kolonel Dahlan Djambek. Suatu langkah penting yang diambil pada waktu
itu adalah mendirikan Sekolah Pendidikan Opsir di Bukittinggi.
Kolonel Ismail Lengah diangkat sebagai Direktur
Pendidikan Opsir tersebut. Tetapi kemudian ia dipindahkan ke Komando
Sumatera. Kedudukannya sebagai Direktur Pendidikan opsir, digantikan
oleh Mayor Munir Latif. Di bawah Pimpinan Munit dilaksanakan pendidikan
Angkatan kedua yang diikuti 60 orang Calon Kadet, di antaranya termasuk
Jamaris Yunus, Azwar, Anwar Bey, Burhanuddin, Tazwar Akbid, Lukman
Madewa dan lainnya. Seusai Pendidikan Opsir angkatan ke-2 ditutup dengan
resmi pada tanggal 18 Juni 1947. Mayor Munir Latif akhirnya dipindahkan
dan diangkat menjadi Komandan Bataliyon III/Resimen II di Sungai Penuh.
Setelah itu, sebagai seorang Tentara ia kembali dimutasi lagi ke
Bukittinggi untuk memimpin Pendidikan Divisi IX. Sementara kedudukannya
sebagai komandan Bataliyon di Sungai Penuh, digantikan oleh Mayor
Sjoeib.
Ode Sebuah Cincin
Meski sudah berpangkat Mayor dan mempunyai cukup
fasilitas. Namun Munir Latief tetap sederhana dan menganggap belum
waktunya untuk menjalani bahtera rumah tangga. Padahal, keluarganya
sudah mendesak, agar Munir Latief segera bekeluarga. Tapi desakan itu
selalu ditolak dengan alasan tugas belum mengizinkan dan perjuangan
belum selesai. Saat Kota Bukittinggi diduduki Belanda, seluruh pejabar
militer dan pemerintahan mulai menyingkir ke luar kota. Paman Munir
Latief, Mr Abu Bakar juga menyingkir ke Batusangkar. Sejujurnya, Abu
Bakar sudah lama betul meminta Munir Latif menikah dengan anaknya
Amalaswinta. Namun ide maminang anak mamak itu selalu ditolak Munir
Latief. Tapi entah bagaimana kisahnya, ketika permulaan Agresi Belanda
ke-2 meledak. Munir Latief justru tidak bisa menolak ide Abu Bakar yang
kembali meminta dirinya menikah dengan Amalaswinta. Tiga hari setelah
pernikahan yang berlangsung sederhana, dihadiri kerabat dan dan kawan
dekat, Munir Latief berangkat ke Kabupaten Limapuluh Kota untuk menemui
Gubernur Militer dan Panglima Territorial di Koto Tinggi.
Syahdan menurut cerita, dalam perjalanan tersebut,
Munir Latief yang belum sempat berbulan madu, mampir di sebuah warung.
Saat itu, dia tahu kalau cincin permata hadiah cinta dari mertuanya saat
pernikahan, justru hilang. Akibatnya, Munir Latief kaget bukan
kepalang. Dia yakin, cincin itu hilang tidak jauh dari warung tempat ia
duduk. Karenanya, meminta seseorang untuk mencari hingga cincin cinta
itu ditemukan kembali. Tapi aneh sekali, setelah cincin didapat, Munir
Latief justru enggan untuk memakainya kembali. Seperti pernah ditulis
wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, Kamardi Rais justru
menyuruh seorang pembantunya untuk mengantarkan kembali cincin itu
kepada mertuanya yang berada di Sumaniak, Tanahdatar. Menerima cincin
dari pembantu Munier Latirf, mertuanya jadi terkejut sekali. Timbul
pertanyaan dalam hati, ”Apa arti dibalik semua ini”? Adakah ini sebuah
firasat aneh?
Di Nagari Andaleh, Munir Latief bertemu dengan
Komandan Batalyon Singa Harau Kamaruddin Datuk Machudum, serta Kapten
Zainuddin Tembak yang merupakan bekas wakilnya semasa sekolah Pendidikan
Opsir ada di Bukittinggi. Pada pertemuan itu, kedua pejuang ini
menerima undangan rapat penting yang diadakan di Situjuah Batua, 15
Januari 1949. Karenanya, Munir Latief dan Zainudin Tembak, berangkat
dari Andaleh dan sampai di surau milik Mayor Makinudin HS, tanggal 14
Januari 1949. Selesai rapat, Syofyan Ibrahim sempat mengajak Munir
Latief untuk tidur di tempat lain. Tapi, dia mengaku terlalu lelah dan
ingin tidur di surau saja. Cuma apa hendak dikata, subuh harinya takdir
berkata lain. Ia gugur ditembak peluru penjajah, bersama sederet para
syuhada.
Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (4) : Syamsul Bahri, Orang Muda yang Menyabung Nyawa
Berpuluh tahun lalu, Proklamator RI Bung Karno pernah
mengatakan, ”Berikan kepadaku sepuluh pemuda, maka akan kugoncangkan
Indonesia”. Pernyataan founding fauther ini jelas memiliki makna, betapa
besar peranan anak muda dalam sebuah bangsa. Bahkan, tidak sedikit
revolusi di dunia, justru diprakasai oleh orang-orang berusia muda.
Dalam tragedi berdarah mempertahankan merah putih
dari gencarnya Agresi Belanda II di Lurah Kincia Situjuah Batua, 15
Januari 1949 lalu, juga ada seorang pejuang berusia muda belia yang
gugur di terjang peluru penjajah. Namanya adalah Syamsul Bahri. Pangkat
terakhirnya Letnan Dua. Dia lahir di Nagari Ampang Gadang, Kecamatan
Guguk, Kabupaten Limapuluh Kota, sekitar tahun 1928. Tahun di mana
semangat pemuda Indonesia sedang bergelora sebagai satu bangsa, tanah,
pun bahasa!
Masa kecil Syamsul Bahri, sedikit susah dilacak
sejarah. Tapi ayahnya diketahui bernama Zainal Abidin Datuk Rajo Ali,
seorang pemuka rakyat berjiwa sosial, disegani, dan sering berbuat untuk
pembangunan nagari. Semasa tambang emas di Manggani masih jaya, Zainil
Abidin Datuk Rajo Ali pernah bekerja sebagai annamer dan leverransir,
sekitar tahun 1911 sampai 1930. Sedangkan ibu Syamsul Bahri bernama
Zubaidah, perempuan sholehah yang sederhana. Dalam keluarga, Syamsul
Bahri diketahui merupakan anak ketiga dari enam bersaudara seayah.
Saudaranya yang lain adalah Letnan Damanhhuri ZA, serta Anwar ZA yang
merupakan bekas Sekda Limapuluh Kota dan Sekwilda Pasaman. Pendidikan
Syamsul Bahri kecil, dimulai dari Sekolah Desa di Padang Japang dan
Sekolah Gubernemen di Dangung-dangung. Sayang, kapan tahunnya belum bisa
diketahui dengan pasti.
Pernah ke ”Neraka Dalam Rimba”
Semasa Jepang berkuasa di Ranah Minang, Syamsul Bahri
Bahri pernah dikirim untuk bekerja paksa ke daerah Logas yang disebut
wartawan senior Marthias Duski Pandoe dalam tulisannya di Padang
Ekspres, sebagai ”Neraka Dalam Rimba”. Selaku orang yang dipercaya
menjadi kepala rombongan ke Logas, Syamsul Bahri ketika itu benar-benar
merasakan betapa kejamnya militer Jepang. Betapa pahitnya hidup sebagai
bangsa terjajah. Di Logas, ia melihat korban-korban berjatuhan akibat
kelaparan dan kerja paksa. Banyak yang mati karena kerja sangat berat,
sedangkan makanan tidak ada. Bahkan, ada di antara pekerja yang tubuhnya
tinggal kulit pembungkus tulang, tapi tetap dipaksa mengangkat sekarung
semen, memikul balok, dan benda berat lain. Atas kondisi tersebut, hati
kecil Syamsul Bahri berontak. Dia tidak mau pasrah begitu saja kepada
pemerintah Jepang serta Mandor yang sering menghardik-hardik. Dengan
kecerdasan dan sikap, akhirnya dia bisa keluar dari pedihnya penyiksaan
”Neraka Dalam Rimba” bersama rombongan yang ia pimpin.
Masuk Batalyon Singa Harau
Ketika Indonesia mulai menghirup udara kemerdekaan
sekitar tahun 1946, Syamsul Bahri masuk menjadi Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) di Payakumbuh. Dia bekerja sebagai staf Keuangan bagian
perlengkapan dan Pengangkutan (P&P) Batalyon Singa Harau bersama
Junahar, dengan pangkat Sersan Mayor. Semasa itu, Bagian P&P yang
terletak di bekas gedung gudang garam kampung Cina Payakumbuh, langsung
dipimpin oleh Komandan Batalyon Singa Harau, Mayor Makinudin HS. Menurut
cerita Makinudin HS pada anaknya Haji Khairuddin, sekitar bulan Juli
1944, Serma Syamsul Bahri dan Serma Junahar ikut pindah tugas ke bagian
Perlengkapan dan Pengangkutan Divisi III Bukitttingi.
Bagian yang memiliki kantor di lantai dua Toko Tokra
Jalan Kampung Cina ini juga dipimpin masih Makinudin HS. Sedangkan
Bagian Perlengkapan dikepalai oleh Kapten Amiruddin Kr, sementara untuk
Bagian Pengangkutan dikepalai oleh Letnan Satu Kamaluddin ”Tambiluak”,
tokoh kontroversi dalam peristiwa Situjuah. Ketika Bukittinggi
dibumihanguskan, pada Desember 1948, Syamsul Bahri ikut menyingkir ke
Payakumbuh, kemudian terus ke VII Koto Talago. Lalu, pada tanggal 12
Januari 1949, ia ikut berangkat bersama rombongan Dahlan Ibrahim dari
Koto Kociak menuju Situjuah Batua. Terakhir, pada tanggal 15 Januari
1949, dia menghadap Sang Khalik. Anak muda itu pergi untuk selamanya.
Walau belum berbuat banyak, setidaknya, Syamsul Bahri telah menjadi icon
betapa anak muda, juga memiliki peranan saat Republik ini digempur
Agresi II Belanda. Hidup anak muda!
Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (5) Kapten Thantowi
Bagi warga Sumatera Barat yang pernah merunut sejarah
pendidikan agama Islam, nama Syekh Mustafa Abdullah dan Syekh Abbas
Abdullah, tentu tidaklah asing. Dua saudara ini tidak hanya terkenal
sebagai ulama yang memiliki banyak jamaah. Tapi juga kesohor karena
mendirikan perguruan Darul Funun El-Abbasiyah di Padang Japang. Pada
masa keemasannya, Darul Funun El-Abbasiyah tidak hanya memiliki murid
dari berbagai pelosok Sumbar, melainkan juga dari berbagai provinsi
sekitar, termasuk dari negeri Jiran Malaysia. Perguruan Islam ini juga
pernah dikunjungi Proklamator Republik Indonesia Ir Soekarno.
Konon, kabarnya, Syekh Abbas Abdullah dan Mustafa
Abdullah, merupakan dua dari sederet orang yang pernah diminta nasehat
spritualnya oleh Bung Karno. Lalu, apa hubungannya dengan Kapten
Thantowi, satu dari 69 pejuang yang tewas dalam tragedi peristiwa
Situjuah? Nah, Kapten Thantowi yang lahir tahun 1926 di Nagari Aiatabik
(sekarang masuk dalam Kecamatan Payakumbuh Timur) dari ibu bernama
Dariham, ternyata adalah putra kandung dari Syekh Mustafa Abdullah.
Di Aiatabik, Kapten Thantowi Mustafa yang namanya
sekarang sudah diabadikan sebagai nama sebuah lapangan bola kaki di
Payakumbuh, terkenal sebagai pemuda berani, ta’at beragama, suka
tantangan, dan sering dijuluki ”Tuanku Nan Pahik”.
Gelar ”Tuanku Nan Pahik” tentu tidak diberikan
sembarangan saja kepada Kapten Thantowi. Sebab menurut HC Israr, bekas
anggota DPRD Sumbar yang semasa hidupnya rajin menulis sejarah, sosok
”Tuanku Nan Pahik” adalah sosok seorang ulama yang berani, berpendirian
teguh, serta pengikut dari Tuanku Imam Bonjol. Pernah diceritakan HC
Israr kepada penulis, bahwa sekitar tahun 1832, ”Tuanku Nan Pahik” yang
setia dengan Tuanku Imam Bonjol, tampil dalam pertempuran melawan
Belanda yang hendak menaklukkan Aiatabik, Bukik Sikumpa dan Halaban.
”Sayang, takdir berkata lain. Tuanku Nan Pahik gugur dalam pertempuran
tersebut, dan dimakamkan di tanah taban dekat lereng Gunung Sago, dalam
Kanagarian Sungai Kamuyang (sekarang masuk dalam Kecamatan Luak),”
begitu cerita HC Israr menjelang akhir hayatnya.
Kembali pada Kapten Thantawi, karena dia adalah cicit
dari Tuanku Nan Pahik yang pemberani, maka diberilah gelar itu
kepadanya. Kapten Thantowi sendiri menempuh pendidikan Sekolah di
Aiatabik. Lalu dilanjutkan ke Schakel School Payakumbuh. Setamat dari
situ, dia masuk ke sekolah Gubernemen di Dangung-dangung. Kemudian,
Kapten Thantowi meneruskan pendidikan di Ambch School Padangpanjang dan
pendidikan Kadet Bukittinggi. Selesai menempuh pendidikan Kadet tahun
1947, dia masuk dalam kesatuan Bataliyon Merapi Padangpanjang dengan
pangkat Letnan Muda. Selama di Bataliyon Merapi, Kapten Thantowi pernah
ditugaskan di Lubukbasung dan Simpang Tonang. Lalu pada tahun 1948, dia
pindah ke Padang Mangateh.
Kiprah Semasa Agresi
Ketika permulaan Agresi Belanda II meletus, Kapten
Thantowi ditangkap menja di Komandan Kompi I Bataliyon Merapi dengan
pangkat Letnan II. Mengenai kehadirannya dalam rapat malam hari tanggal
14 Januari 1949 di Lurah Kincia Situjuah Batua. Kapten Thantowi saat itu
bertindak mendampingi komandan Pertempuran Payakumbuh Selatan, Kapten
Kamaruddin Datuak Machudum. Namun malang , pada subuh hari dia ikut
menjadi korban keganasan peluruh penjajah yang membabi-buta di Lurah
Kincia. Sebagai prajurit sejati, ia telah berupaya menghadapi serangan
Belanda sampai tetes darah penghabisan. Namun sebelum wafat, Kapten
Thantowi seperti halnya Munir Latief, juga meninggalkan prilaku ”aneh”
yang selalu dikenang keluarga. Bila Munier Latief mengembalikan cincin
permata pemberian mertuanya. Maka, Kapten Thantowi sebagaimana ditulis
wartawan senior Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie, pernah
tergopoh-gopoh mencari notesnya yang tidak ditemukan dalam.
Padahal saat itu, Kapten Thantowi baru saja minta
izin kepada pamannya Rais Datuk Machudum dan adiknya Mustafa untuk pergi
meninggalkan rumah. Tapi baru sampai di Balai Adat Nagari Aiatabik, ia
kembali pulang untuk mencari buku. Akhirnya, kata Kamardi, buku Kapten
Thantowi itu baru ditemukan di tebing sumur, tidak jauh dari rumah
gadang kaum mereka. Namun buku itu sudah lembab. Beberapa catatan harian
yang ditulisnya juga sudah kabur dan mengembang. Atas peristiwa itu,
pamannya yang merupakan ayah kandung Kamardi Rais Datuk Panjang Simulie
memberi wejangan kepada Munir Latief. ”Lain kali, kalau sudah
berangkat, jangan balik lagi, celaka kata orang tua-tua!” ”Antah iyo,
indak ka babaliak (Apa betul, tidak akan kembali?)”jawab Thantowi pelan,
seperti orang bercanda. Ternyata, Thantowi Mustafa memang tak kembali
dari Situjuah. Yang pulang ke kampungnya di Aiatabik, cuma nama.
Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (6), Kamaluddin Tambiluak, Kontroversi Si Sayap Kanan
Ia bertubuh pendek dan gempal. Orang Minang menyebut
ukuran tubuh seperti itu dengan istilah ’Sabuku”. Kulitnya agak hitam,
tapi larinya kencang bagaikan kilat. Karena itu dia dijuluki ”Tambiluak”
atau sejenis serangga berwarna hitam kekuningan yang bisa terbang
kencang dan hidup pada pohon kelapa atau aren. Sebelum menjadi serdadu
pada Bagian Perlengkapan dan Pengangkutan (P&P) Batalyon Singa Harau
pimpinan Mayor Makinuddin HS, Kamaludin Tambiluak bekerja sebagai
tukang gunting di pangkas rambut Sutan Kerajaan Barbier, yang terletak
di Jalan Gajah Mada Payakumbuh.
Layaknya tukang gunting, Kamaluddin Tambiluak
memiliki banyak pelanggan. Salah satu pelanggannya adalah Dokter Anas.
Menurut cerita HC Israr (penulis sejarah/mantan Anggota DPRD Sumbar),
Dokter Anas adalah bekas Kepala Rumah Sakit Payakumbuh. Dia asli pribumi
Indonesia, tapi gaya dan pola pikirnya, sangat kebelanda-belandaan.
Dialah intelektual yang pernah mempelopori berdirinya negara
”Minangkabau”. Ketika ide negara ”Minangkabau” ini diusungnya, Dokter
Anas mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Belanda. Bahkan, dia
dipersiapkan untuk menjadi calon Kepala Negara. Tapi ide negara
”Minangkabau” itu kemudian ”mati dalam kandungan” menyusul dengan
tercapainya persetujuaan antara Indonesia-Belanda di Konferensi Meja
Bundar (KMB) tahun 1949. Selepas persetujuan itu, Dokter Anas langsung
memboyong istrinya Jus Anas dan dua anaknya, untuk bertolak ke negeri
Kincir Angin Belanda. Di sanalah, sang Dokter yang sempat menjadi
Manajer Club Horizon, sebuah kesebelasan dari Payakumbuh ini menikmati
masa hidupnya hingga tutup usia.
Kesebelasan Horizon sendiri tercatat sebagai klub
tangguh dari Payakumbuh yang tergabung dalam Bond Eleftal (Bond
Kesebalasan). Kamaluddin Tambiluak merupakan ”Sayap Kanan” paling
kesohor dari Horizon. Kamaluddin Tambiluak sendiri, menurut Haji
Kahiruddin (anak Wedana Militer Payakumbuh Selatan Makinudddin HS), asli
berasal dari Kota ”Serambi Mekkah” Padangpanjang. Bahkan Haji
Khairuddin yakin, kalau Kamaluddin memiliki rumah di belakang Bioskop
Karya Padangpanjang. Sepanjang hidupnya, Kamaluddin Tambiluak tercatat
pernah menikah satu kali saja, dengan perempuan bernama Nur Cahaya.
Dalam pernikahan dengan Nur Cahaya yang asli Payakumbuh, dia dikaruniai
seorang anak. Kelak, anak (lagi-lagi belum diketahui namanya) beserta
istri Kamaluddin Tambiluak ikut dihabisi nyawanya.
Pengkhianat atau Pahlawan? Alih-alih soal rumah
tangga Kamaluddin Tambiluak dengan Nur Cahaya. Sekarang, saatnya
menulusuri keberadaan mantan Intel tentara Sumatera Tengah itu dalam
peristiwa Situjuah. Betulkah dia seorang pengkianat, sebagaimana cerita
yang beredar dari mulut ke mulut, bahkan sampai dari sekolah ke
sekolah? Atau jangan-jangan Tambiluak cuma seorang pahlawan bangsa yang
menjadi korban hukum revolusi? Dua pertanyaan itu memang seperti mata
uang berlainan. Selalu terjadi silang pendapat hebat dan mungkin tidak
pernah berkesudahan untuk dijawab. Satu sisi, banyak pejuang dan saksi
sejarah dalam Peristiwa Situjuah yang menyebut Tambiluak benarlah
seorang pengkhianat bangsa. Bahkan, sebelum insiden berdarah terjadi di
Situjuah Batua tepatnya tanggal 13 Januari 1949, seorang anggota Badan
Penerangan bernama Syamsul Bahar yang menerima tugas darurat dari
komandannya, dilaporkan bertemu dengan Kamaluddin Tambiluak.
Dalam pertemuan itu Kamaluddin mengajak Syamsul
Bahar, agar datang dalam rapat penting tanggal 15 Januari 1949. Karena
sudah pernah mengenal Tambiluak semasa ikut Kongres BKPRI di Yogyakarta,
pada tanggal 14 Januari 1949, Syamsul Bahar ikut berangkat ke Situjuah
dan sampai malam hari sekitar pukul 19.00 WIB. Bersama rombongan, dia
langsung masuk ke surau milik Mayor Makinuddin HS. Rupanya, dalam surau
itu sudah penuh dengan pejuang yang melepas lelah. Karena kondisi
tersebut, Syamsul Bahar pindah ke sebuah bangunan yang merupakan surau
usang. Dia bermaksud istirahat sejenak, menjelang ikut rapat. Tak
tahunya di halaman surau yang gelap, ada seorang lelaki bermenung diri.
Awalnya, Syamsul Bahar dan kawan-kawanya, tidak menghiraukan lelaki
tersebut. Tapi ketika Syamsul Bahar hendak menjemput barangnya yang
masih ketinggalan di Surau Makinuddin, dia mencoba mendekati lelaki yang
bermenung diri. Ternyata orangnya adalah Kamaluddin Tambiluak. Merasa
kaget dengan prilaku Kamaluddin, Syamsul Bahar lalu menanyakan gerangan
apa yang membuat Kamaluddin bermenung diri. Tapi, Kamaluddi hanya
menjawab dingin:”Ah, tidak ada apa-apa!”.
Perubahan sikap Kamaluddin yang sangat drastis ketika berada di Lurah Kincia, ternyata tidak hanya dirasakan oleh Syamsul Bahar menjelang rapat di Situjuah. Ketika rapat selesai, Tambiluak juga berpirilaku aneh dan ganji. Waktu itu para pejuang baru saja salam-salaman dan bermaksud hendak istirahat di Surau Makinuddin.
Perubahan sikap Kamaluddin yang sangat drastis ketika berada di Lurah Kincia, ternyata tidak hanya dirasakan oleh Syamsul Bahar menjelang rapat di Situjuah. Ketika rapat selesai, Tambiluak juga berpirilaku aneh dan ganji. Waktu itu para pejuang baru saja salam-salaman dan bermaksud hendak istirahat di Surau Makinuddin.
Ketika para pejuang mulai beristirahat, ada seseorang
lelaki yang sangat antusias bercerita tentang kemenengan Belanda dan
kekalahan Indonesia. Dia bahkan tertawa terbahak-bahak menceritakan itu.
Syamsul Bahar yang sedang ”tidur-tidur ayam” kaget bukan kepalang
mendengar cerita tersebut. Entah serius, entah berkelakar, yang jelas
seumur-umur menjadi pejuang, baru kali itu Syamsul Bahar mendengar ada
pemimpin dan tentara yang dengan gembira memuji musuh bernama Belanda.
Maka, timbullah tanda tanya besar di hati Syamsul
Bahar. ”Siapa orang yang bercerita itu? Adakah sebuah keseriusan yang ia
ucapkan?” Lalu, Syamsul yang tidur beralaskan tikar usang dan
berselimut kain sarung sendiri, mengintip orang tersebut. Di balik
remangnya lampu cogok (tradisionil), Syamsul bahar melihat dengan jelas
wajah orang itu. Ternyata dia adalah Kamaluddin Tambiluak. Waw,
mengagetkan sekali!
Setelah Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak makin
berprilaku aneh. Tanda-tanda keanehan Tambiluak itu terlihat ketika ia
mencari-mencari Mayor A Thalib yang sedang terluka parah pada bagian
paha karena ditembak oleh Belanda (lebih lengkap tentang ini nanti bisa
dibaca dalam buku berjudul ”Tambiluak – Secuil Tentang Peristiwa
Situjuah” yang akan dilaunching Februari 2008 mendatang).
”Menantang Maut” di Padang Mangateh
Sekarang, tinggalkan dulu cerita tentang perubahan
sikap dan keanehan Tambiluak, mari melayangkan pikiran pada sebuah
peristiwa sejarah tanggal 23 Januari 1949, yang menjadikan Letnan Satu
Kamaluddin Tambiluak sebagai aktor penting sekaligus pemeran
”antagonis”. Ketika itu terjadi pertemuan di daerah bernama Aia Randah,
antara Dahlah Ibrahim, dengan Syofyan Ibrahim, dan sejumlah pula
sejumlah pejuang bangsa.
Dalam pertemuan, Dahlan Ibrahim mendengarkan laporan
tentang peristiwa Situjuah. Dari semua laporan, diperoleh benang merah,
bahwa Letnan Satu Kamaluddin Tambiluak memang telah menjadi pengkhianat.
Karenanya, dia harus diadili! Ketika rapat sedang dilangsungkan,
Kamaluddin berada di Gaduik. Karenanya, untuk mengorek keterangan
Tambiluak, peserta rapat sepakat, kalau dia harus dijeput. Sebagai
dalih, dikatakan bahwa rapat akan dilanjutkan ke daerah Padang Mangateh,
dan Tambiluak diminta kehadirannya. Rupanya, ide peserta rapat ini
termakan pula oleh Tambiluak. Bak seekor buruan, dia tidak tahu kalau
sudah masuk dalam perangkap. Kemudian ikut berangkat ke Padang Mangateh
sekitar pukul 18.30 malam.
Akhirnya, sesampai di Padang Mangateh, sebagian
rombongan yang pura-pura datang untuk rapat, langsung masuk ke dalam
sebuah rumah. Sedangkan sebagian lain, berjaga-jaga di luar rumah yang
konon kabarnya, merupakan bekas tempat tinggal seorang dokter hewan.
Dari dalam rumah, Tambiluak akhirnya mulai diinterogasi. Ditanya ini dan
itu. Namun dia justru ”dianggap” menjawab dengan bertele-tele. Tak lama
kemudian, Tambiluak dipanggil ke luar rumah oleh seseorang. Belum
sampai di luar rumah atau baru tiba di pintu. Seorang bernama Tobing,
tiba-tiba tak bisa mehanan emosi. Diserangnya Tambiluak dengan golok.
Ditebasnya bagian kepala itu hingga tinggal rambut di golok.
Ajaib sekali. Serangan untuk Tambiluak ternyata tidak
tepat sasaran. Mungkin rambutnya terlalu tebal, mungkin juga karena dia
pakai topi warna hitam. Tapi beberapa pelor yang ditembakkan, juga
melenceng. Sehingga Tambiluak bisa melarikan diri dalam kegelapan malam.
Dia melompat tebing, melewati sungai kecil. Orang-orang yang ada di
Padang Mangateh, berupaya untuk mengejar. Tapi sia-sia. Tambiluak
menghilang tanpa jejak. Mereka yang mencari, terpaksa kembali dengan
tangan kosong. Tak lama Tambiluak akhirnya benar-benar menghilang tanpa
jejak. Kemudian, beredar informasi, dia tewas dibunuh pasukan Panah
Beracun yang merupakan bekas anak buahnya sendiri, di kawasan Padang
Tarok.
Tambiluak Juga Pahlawan?
Kini, Kamaluddin Tambiluak memang telah tiada. Stigma
pengkhianat, melekat pada tubuhnya. Tapi, di balik kematian Tambiluak,
sekarang justru muncul berbagai kontraversi. Bahkan, ada yang berani
menyebut Tambiluak juga pahlawan. Adalah Haji Khairuddin Makinuddin,
putra mantan Wedana Militer Payakumbuh Selatan, yang menilai Tambiluak
tidak bisa disebut sebagai pengkhianat di balik peristiwa Situjuah.
Sebab menurut Haji Khairuddin, beberapa hari
menjelang tanggal 15 Januari 1949, pesawat capung alias helikopter milik
Belanda, telah berputar-putar di sekitar Lurah Kincia. Kemungkinan
besar, awak pesawat tersebut sedang mengawasi kegiatan yang dilakukan
warga dan pejuang.
Selain alasan tersebut, Haji Khairuddin menganalisa, bisa jadi Tambiluak dicap sebagai pengkhianat, karena faktor kecumburuan sosial. Alasannya, secara ekonomi Tambiluak memang lebih mapan dari beberapa pejuang. Sebab sebelum Agresi Belanda Kedua, sosok yang pernah menjadi Wakil Kepala Intelijen Sumatera Tengah ini, pernah dipercaya untuk menukar getah dan candu dengan senjata ke Singapura.
Selain alasan tersebut, Haji Khairuddin menganalisa, bisa jadi Tambiluak dicap sebagai pengkhianat, karena faktor kecumburuan sosial. Alasannya, secara ekonomi Tambiluak memang lebih mapan dari beberapa pejuang. Sebab sebelum Agresi Belanda Kedua, sosok yang pernah menjadi Wakil Kepala Intelijen Sumatera Tengah ini, pernah dipercaya untuk menukar getah dan candu dengan senjata ke Singapura.
Kamaluddin Tambiluak berangkat menaiki kapal lewat ke
Sungai Siak. Namun kemudian, getah dan candu yang dibawah Tambiluak
tidak jadi bertukar dengan senjata. Karena dia dicegat oleh kapal
patroli Belanda yang ada di Sungai Siak. Bisa candu dan getah yang
dibawa Tambiluak, tidak dia setorkan seluruhnya atau dijual. Sehingga
dia memiliki sisa barang berharga itu sebagai tambahan hidup. Karenanya,
tentu saja akan ada pejuang yang mengalami kecemburuan sosial.
Sebelumnya, sejarahwan UNP Mestika Zed juga pernah
menyatakan, bahwa Tambiluak bukanlah pengkhianat. Ditegaskan Mestika
Zed, tidak ada data kuat yang menunjukkan, bahwa Tambiluak adalah
pengkhianat dalam Peristiwa Situjuh Batua 15 Januari 1949. Karena itu
hanya sebatas isu yang kemudian sengaja dibesar-besarkan. Untuk
mendukung pendapatnya, Mestika dalam tulisan itu memunculkan argumen
dengan teori dan logika. Dia menjelaskan, bahwa ketika pagi-pagi
Peristiwa Situjuah terjadi, Tambiluak lari mencari Dahlan Jambek
(Pimpinan Militer Sumbar paling disegani saat itu, Red).
Akhirnya, terlepas dari berbagai versi di atas,
agaknya memang perlu diambil sebuah benang merah, bahwa revolusi memang
kerap memakan anak sendiri. Walau begitu bukan berarti pula, revolusi
harus disalahkan. Peristiwa Situjuah adalah peristiwa besar untuk
tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Apapun romantika dan
kisah di belakangnya, janganlah membuat Peristiwa Situjuah jadi
bernilai kecil.
Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (7), Kapten Zainuddin, Penembak Jitu Berdisiplin
Dia adalah tipe pejuang berkemauan keras, pantang
menyerah, dan sangat menjunjung tinggi disipilin. Baginya, setiap
tentara harus bisa berbuat apa saja. Kalau tidak, jangan menjadi abdi
negara! Prinsip itulah yang membuat sosok dengan panggilan populer
Kapten Zainuddin ”Tembak” ini, jadi disegani pasukannya di Batalyon
Singa Harau. Baginya tidak ada kata menyerah sebelum dicoba. Sekali
layar terkembang, pantang surut biduk kembali. Sekali senapang dikokang,
pantang untuk terbuang, kecuali bersarang di tubuh penjajah. Meski
demikian, sebagai manusia ciptaan Tuhan, Zainuddin juga memiliki sedikit
sifat yang susah untuk dikendalikan, apalagi kalau bukan pemarah dan
tempramen. Buktinya, gelar ”Kapten Tembak” yang dijuluki kepada
Zainuddin, tercipta karena dia memang gampang main tembak. Dia tidak
senang kalau ada anak buahnya yang tidak berdisplin, apalagi melanggar
jati diri prajurit sejati.
Kapten Zainuddin sendiri menurut beberapa keterangan
lahir di kawasan Lubuak Bagaluang, Kota Padang, sekitar tahun 1924 dari
perempuan yang biasa dipanggil Mak Inen. Sedangkan ayahnya bernama
Bachtiar, seorang pejabat pada Kantor Gemente Pemerintah Belanda di
Padang. Lalu beberapa tahun terakhir, juga diperoleh informasi kalau
Zainnuddin Tembak memiliki seorang putra yang sempat menjadi petinggi
TNI, dia adalah almarhum Mayjend Ismed Yuzairi. Sebagai anak seorang
Amtenar, Kapten Zainuddin bersekolah di HIS. Setelah itu dia melanjutkan
ke MULO. Bagaimana aktivitas Zainuddin selanjutnya, tidak banyak
referensi maupun sakasi sejarah tentan hal tersebut. Pada tahun 1943
para pemimpin di Sumbar mendirikan Tentara Rakyat yang dinamai Gyu Gun.
Tentara Rakyat ini sama dengan Pembela Tanah Air (PETA) di Pulau Jawa.
Pemuda Zainuddin dengan penuh semangat masuk Gyu Gun. Di sana dia
menyelesaikan pendidikan dengan memperoleh gelar ”Minerai Sikang” alias
Calon Perwira.
Waktu Kemerdekaan
Ketika Republik Indonesia sudah merdeka, Zainuddin
bergabung dalam Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Dia memperoleh tugas
sebagai Wakil Komandan Perlengkapan dan Pengangkutan dengan Pangkat
Kapten. Komandannya ketika itu adalah Mayor Sofyan Ibrahim. Kemudian,
pada bulan Januari 1946, menurut HC Israr, Divisi III TKR di bawah
komando Kolonel Dahlan Jambek, untuk pertama kalinya memanggil dan
memberikan kesempatan kepada para pemuda untuk dididik menjadi Calon
Opsir. Sekolah Pendidikan Opsir angkatan pertama ini dipimpin oleh
Letkol Ismail Lengah. Pendidikannya berlangsung selama sembilan bulan
dan sangat keras. Selesai pendidikan, hanya 84 orang yang dinyatakan
lulus sampai selesai. Kemudian, pada bulan Juli 1946 Letkol Ismail
Lengah diangkat menjadi Kepala Seksi Persenjataan Markas Umum Komandemen
Sumatera. Sebagai pengganti Pimpinan Sekolah Pendidikan Opsir,
diangkatlah Mayor Munir Latif. Kemudian untuk wakilnya sekaligus
merangkap Kepala Pelatih, ditunjuk Kapten Zainuddin Tembak.
Saat Agresi II Belanda
Ketika Agresi II Belanda ”meledak” di Indonesia,
Markas Batalyon III/Singa Harau terpaksa dipindahkan dari Talawi. Kapten
Zainuddin yang tergabung dalam Batalyon tersebut, langsung melakukan
konsolidasi dengan pasukan, tentu saja bersama Letnan Kolonen Ahmad
Husein. Ketika konsolidasi dilangsungkan, Nagari Talawi sudah dipenuhi
pula oleh keluarga tentara dan para pengungsi. Sehingga berbagai
kesulitan logistik dan kebutuhan pokok sehari-hari mulai terasa. Akibat
sulitnya mendapat perbekalan, banyak anggota pasukan yang tidak memegang
senjata, disuruh untuk pulang ke kampung masing-masing beserta keluarga
mereka. Kebetulan, kebanyakan anggota Bataliyon Singa Harau berasal
dari Kabupaten 50 Kota.
Saat disuruh pulang tersebut, beredar pula isu bahwa
mereka harus meninggalkan senjata, lalu siap-siap untuk cuti. Mungkin
karena merebaknya isu tersebut, Letnan Satu Bainal Datuk Paduko Malano,
mengajak kawan-kawannya untuk segera berangkat ke Payakumbuh awal
Januari 1949. Dengan keyakinan, mereka tidak akan susah dalam
mendapatkan perbekalan di daerah tersebut ataupun di Kabupaten Limapuluh
Kota . Kedatangan pasukan Singa Harau yang terdiri dari Letnan Satu
Bainal Datuk Paduko Malano CS, disusul pula oleh Opsir Muda Azwar yang
merupakan Komandan Kompi Markas, yang tiba di Pakan Raba’a Gaduik pada
tanggal 8 Januari 1949. Lalu besok harinya, tiba pula Komandan
Bataliyon singa Harau Kapten Zainuddin Tembak. Mereka bermaksud hendak
menjemput kembali pasukan pasukan Singa Harau yang pergi tanpa
sepengetahuan komandan/Zainuddin mengecam keras tindakan tersebut dan
menganggap sebagai sebuat pelanggaran disiplin militer. Karenanya,
Zainuddin melaporkan kepada Komandan Sub Territorial Sumatera yang
berkedudukan di Koto Tinggi.
Bertemu Dengan Munir Latief
Tidak lama setelah peristiwa di atas, Kapten
Zainuddin Tembak bertemu dengan Mayor Munir Latief di nagari Andaleh
(sekarang masuk dalam Kecamatan Luak, dulu tercatat sebagai wilayah
Kewedanaan Militer Payakumbuh Selatan). Dalam pertemuan tersebut, kedua
perwira ini menerima undangan rapat penting di Lurah Kincia Situjuah
Batua, pada tanggal 15 Februari 1949. Karenanya, sehari sebelum rapat,
Zainuddin Tembak dan Munir Latief sama-sama berangkat. Namun sebelum
sampai di Situjuah Batua, mereka bermaksud akan menemui opsir muda Azwar
yang sedang berada di Limbukan. Tapi kebetulan Azwar sedang pergi ke
Koto Nan Ampek menemui Kapten Nurmatis, dan baru akan kembali esok
harinya. Karena batal menemui Azwar Tontong, Kapten Zainuddin dan Mayor
Munir Latif meneruskan perjalanan ke Situjuah Batua. Sore harinya,
mereka berdua sampai di lokasi rapat. Malam hari langsung ikut
berdiskusi. Tapi belum sampai Matahari esok terbit, penjajah Belanda
telah duluan memberondongkan senjata. Apalah daya, Zainuddin tembak ikut
menjadi syuhada.
Sekilas Tokoh Peristiwa Situjuah 15 Januari 1949 (8) Mayor Makinuddin HS, Sang Wedana
Dua tahun Indonesia merdeka atau sekitar tahun 1947,
Makinuddin mengalami perpindahan tugas. Dia dipercaya memimpin Batalyon
Istimewa Galanggang di Payakumbuh. Namun jabatan tersebut tidak bertahan
lama di tangannya, karena Ibukota RI di Yogyakarta pada tahun 1948
mulai digempur Agresi Militer II Belanda. Gempuran serupa juga dirasakan
di Bukittingi dan daerah lainnya dalam wilayah Sumatera Tengah.
Karena Agresi Belanda nampak mulai serius, para
pejabat militer dan pemerintah langsung ambil ancang-ancang. Mayor
Makinuddin yang sedang menjabat sebagai Danyon Istimewa Galanggang,
ditunjuk menjadi Komandemen Kepala Perlengkapan Sumatera Tengah pada
tahun 1948-1949. Nah, saat Divisi III mengalami perubahan menjadi
Divisi IX Banteng, jabatan Kepala P & P diserahterimakan dari Mayor
Makinuddin HS kepada Kapten Chatib Salim. Sedangkan Makinuddin diangkat
menjadi Wedana Militer Payakumbuh Selatan. Ketika menjadi Wedana
Militer inilah, Makinuddin dipercaya untuk mempersiapkan rapat penting
pejuang pemerintahan dan militer Sumatera Tengah di Lurah Kincia,
Situjuah Batua, 15 Januari 1949. Namun apalah daya, tidak lama setelah
rapat tersebut ditutup sekiatr pukul 04.30 dini hari, Belanda telah
duluan menyerang Situjuah Batua.
Akibatnya, para pahlawan berguguran satu persatu.
Mereka yang meninggal pada hari itu diperkirakan mencapai 69 orang.
Namun masih bersyukur, Makinuddin HS dapat selamat. Ketika Agresi
Belanda telah usai dan rakyat Indonesia mulai menikmati manisnya gula
kemerdekaan, maka pada tahun 1950 sampai 193, Makinuddin diangkat
menjabat sebagai Wedana Pembantu Bupati Urusan Pembangunan. Usai
memegang amanah tersebut, Makinuddin HS tidak terlalu aktif lagi dalam
bidang pembangunan atau pemerintahan. Dia mulai memasuki dunia
wiraswasta di Jakarta dari tahun 1954 sampai tutup usia dan dimakamkan
di pemakaman Karet, pada tahun 1974. (***) (Sumber : Fajar Rillah Vesky, Padang Ekspres)
sumber. http://thomy265.wordpress.com
PDRI, Peristiwa Situjuah Diperingati
Laporan Wartawan Kompas Yurnaldi
PAYAKUMBUH, KOMPAS–Setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengakui keberadaan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) sebagai mata rantai sejarah yang membuat Indonesia eksis sampai saat ini, dan menetapkan hari kelahirannya sebagai Hari Bela Negara yang akan diperingati setiap tanggal 19 Desember, Gubernur Sumatera Barat Gamawan Fauzi tampil untuk pertama kalinya sebagai inspektur upacara Peringatan 58 Tahun Peristiwa Situjuah Batua, di Kabupaten 50 Kota.
“Para pahlawan yang gugur tidak minta dihormati, tapi kita yang masih hiduplah yang harus menghargai jasa-jasa perjuangannya. Indonesia bisa eksis sampai sekarang, tak terlepas dari perjuangan mereka menentang dan mengusir penjajah,” kata Gamawan, Senin (15/1) di Situjuah Batua, Kabupaten 50 Kota.
Peristiwa Situjuah Batua yang menewaskan 60 pejuang, 15 Januari 1949, berhubungan erat dengan PDRI yang sudah diakui pemerintah dan diperingati sebagai Hari Bela Negara. Ia menjadi bagian terpenting dalam sejarah nasional.
Peristiwa Situjuah Batua terjadi, ketika Belanda ingin menangkap para pejuang dan memusnahkan pemancar radio yang ada di Koto Tinggi, tempat PDRI bermarkas. Mengetahui rencana Belanda itu, para pejuang menyingkir ke Situjuah Batua. Dipimpin Ketua Markas Pertahanan Rakyat Daerah, Khatib Sulaiman, dengan niat membebaskan Indonesia dari belenggu penjajahan, Sabtu tengah malam, 14 Januari 1949 mereka berapat hingga larut malam.
Ada tiga poin keputusan yang diambil ketika itu, yakni (1) kita harus menyerang Kota Payakumbuh dari segala jurusan dan mendudukinya walaupun sesaat, guna meyakinkan dunia luar bahwa rakyat Indonesia tetang perjuang mengusir penjajah. (2) mengatur dan menyempurnakan persenjataan di komando pertempuran, dan (3) mengobarkan semangat perang gerilya di masyarakat dan menanamkan rasa benci terhadap penjajah.
Tanpa disangka, Belanda mengetahui keberadaan para pejuang di Situjuah Batua ini, dan tanggal 15 Januari 1949, ketika akan melaksanakan shalat subuh, mereka diberondong tembakan. Dalam peristiwa yang kemudian dikenal sebagai Peristiwa Situjuah Batua itu, sejumlah pejuang tewas.
“Sembilan pejuang di antaranya dikuburkan di Lambah Kincia, Situjuah Batua, tak jauh dari tempat mereka berapat. Bangunan rumah tempat mereka berapat akan dijadikan Museum Situjuah Batua,” kata Mahyuni Datuak Marajo nan Gamuak, salah seorang pejuang.
Usai memperingati Peristiwa Situjuah Batua, Gubernur Sumbar Gamawan Fauzi dan rombongan Muspida Sumbar serta Bupati 50 Kota Amri Darwis dan Wakil Bupati Irfendi Arbi dan Muspida serta para veteran di Kabupaten 50 Kota, tabur bunga di makam sembilan pejuang di Lambah Kincia, sekitar 300 meter dari lapangan upacara.
“Semangat kepahlawanan harus tetap kita gelorakan. Jika dulu mengusir penjajah dan menyelamatkan Proklamasi Kemerdekaan RI, maka sekarang memerangi kemiskinan agar masyarakat bisa hidup damai dan sejahtera serta berkeadilan,” kata Gamawan Fauzi, seusai tabur bunga.
http://www2.kompas.com/ver1/nasional/0608/26/112441.htm
Kecamatan Situjuah Limo Nagari
Nama Camat
: Herman Azmar, AP, M.Si
Alamat Kantor Camat
: -
Nomor Telpon
: -
Nomor FAX
: -
Alamat website
: http://www.situjuahlimonagari.co.cc
Alamat E-mail
: situjuahlimonagari@gmail.com
GEOGRAFIS
Kecamatan Situjuah Limo Nagari lahir berdasarkan Perda No.14 tahun 2001, tangal 29 Oktober 2001 tentang Penataan Wilayah Kecamatan dalam Kabupaten Limapuluh Kota yang diresmikan pada tangal 25 Januari 2002. Dengan ibu KecamatanSitujuah Banda Dalam. Luas kecamatan mencapai 74,18 Km2 yang berarti 2,21 % dari luas Kabupaten limapuluh Kota yang luasnya 3.354,30 km2 dengan 5 Nagari dan 27 Jorong, Rincian nagari terluar adalah:
TOPOGRAFI
Topografi Kecamatan Situjuah Limo Nagari berbukit dan bergelombang dengan ketingian tempat terendah terdapat di Jorong Padang Jariang Nagari Situjuah Gadang (589 m dpl) dan tertinggi Gunung Sago ( 2078 m dpl) .Daratan kecamatan ini dialiri oleh Batang Agam dengan anak sungainya yang telah dimanfaatkan oleh masyarakatnya untuk sumber pengairan, kolam dan galian.C. Sungai yang mengaliri nagari Situjuah Gadang ,yaitu : B. Sukali, B.Pincuran Malin, B.Pincuran Talang, yang mengaliri nagari Situjuah Banda Dalam, yakni : S. Batuang, S. Dareh, S.Tabek Silambah, S.Garong-garong, S.Ikua Kandang, S.Lisano, Nagari Tungka mempunyai Sungai yaitu: S. Sialang dan Batang Air Langkatan. Di nagari Situjuah Ladang Laweh mepunyai sebuah sungai B. Babui. Kecamatan ini mempunyai dua buah gunung yang tidak aktif lagi, yaitu Gunung Sago (2078 m dpl) dan Gunung Tigo ( 1630 m dpl)
SEJARAH MENURUT TAMBO
Di dalam Barih Balabeh Luhak Limopuluah, Situjuah disebut dengan Hulu ( Luhak Limopuluah terdiri dari : Hulu, Luhak, Lareh, Ranah, dan Sandi )Yang dimaksud dengan ulayat Hulu adalah; berjenjang ke Ladang Laweh, bapintu ke Sungai Patai, Selingkar Gunung Sago adalah urang badunsanak, dimana dari Labuah Gunuang Mudiak sampai Bobai Koto Tinggi Hilia disebut dengan urang nan salareh Gunuang.
Kecamatan Situjuah Limo Nagari lahir berdasarkan Perda No.14 tahun 2001, tangal 29 Oktober 2001 tentang Penataan Wilayah Kecamatan dalam Kabupaten Limapuluh Kota yang diresmikan pada tangal 25 Januari 2002. Dengan ibu KecamatanSitujuah Banda Dalam. Luas kecamatan mencapai 74,18 Km2 yang berarti 2,21 % dari luas Kabupaten limapuluh Kota yang luasnya 3.354,30 km2 dengan 5 Nagari dan 27 Jorong, Rincian nagari terluar adalah:
- Nagari terluas adalah Situjuah Gadang 16,90 Km2, dengan 6 jorong,yaitu:1)Padang Kuniang, 2)Situjuah Gadang, 3)Padang Jariang, 4)Kociak, 5)Tanjuang Bungo, 6)Tanjuang Simantuang
- Nagari Situjuah Ladang Laweh 15,93 Km2 dengan dua Jorong,yaitu:1) Jorong Ateh ,2) Jorong Bawah,
- Nagari Situjuah Batua 15,49 Km2 dengan 6 jorong,yaitu : 1) Tapi, 2) Tangah, 3)Bumbuang 4) Lakuang, 5) Koto, 6)Kubang Bungkuak
- Nagari Tungka 14,15 Km2 dengan 5 jorong,yaitu;1) Dalam Nagari, 2)Sawah Laweh, 3)Sungai Lansek, 4)Taratak, 5)Sialang
- Nagari Situjuah Banda Dalam 11,71 Km2, dengan 7 jorong, yaitu :1) Banda Dalam, 2)Gurun, 3)Tangah Padang, 4)Padang Ambacang, 5) Koto Baru Lurah Pantai, 6) Sungai Jilatang, 7) Subarang Tabek, 8)Koto Laweh
TOPOGRAFI
Topografi Kecamatan Situjuah Limo Nagari berbukit dan bergelombang dengan ketingian tempat terendah terdapat di Jorong Padang Jariang Nagari Situjuah Gadang (589 m dpl) dan tertinggi Gunung Sago ( 2078 m dpl) .Daratan kecamatan ini dialiri oleh Batang Agam dengan anak sungainya yang telah dimanfaatkan oleh masyarakatnya untuk sumber pengairan, kolam dan galian.C. Sungai yang mengaliri nagari Situjuah Gadang ,yaitu : B. Sukali, B.Pincuran Malin, B.Pincuran Talang, yang mengaliri nagari Situjuah Banda Dalam, yakni : S. Batuang, S. Dareh, S.Tabek Silambah, S.Garong-garong, S.Ikua Kandang, S.Lisano, Nagari Tungka mempunyai Sungai yaitu: S. Sialang dan Batang Air Langkatan. Di nagari Situjuah Ladang Laweh mepunyai sebuah sungai B. Babui. Kecamatan ini mempunyai dua buah gunung yang tidak aktif lagi, yaitu Gunung Sago (2078 m dpl) dan Gunung Tigo ( 1630 m dpl)
SEJARAH MENURUT TAMBO
Di dalam Barih Balabeh Luhak Limopuluah, Situjuah disebut dengan Hulu ( Luhak Limopuluah terdiri dari : Hulu, Luhak, Lareh, Ranah, dan Sandi )Yang dimaksud dengan ulayat Hulu adalah; berjenjang ke Ladang Laweh, bapintu ke Sungai Patai, Selingkar Gunung Sago adalah urang badunsanak, dimana dari Labuah Gunuang Mudiak sampai Bobai Koto Tinggi Hilia disebut dengan urang nan salareh Gunuang.
Sedangkan dari Tanah
Mungguak mudiak, sampai Bobai Koto tinggi Hilia disebut Lareh nan
Panjang. Yang menjadi Rajo di Hulu adalah Dt. Marajo Simagayua di
Pitapang Situjuah Banda Dalam, disebut juga dengan Pamuncak Adat dari
Luhak Limopuluah Koto. Dt.Marajo Simagayua di sebut juga sebagai “
tampek lompek basitumpu” bagi luhak Limopuluah, artinya jika ada datang
ketentuan adat dari Basa Ampek Balai , maka jika suatu ketentuan itu
baik, dia hutang memakai, jika “lamak” hutang mamakan, dan jika betul
hutang membenarkan.
Begitu juga apabila ada datang sudi siasat
dari Raja Pagaruyung terhadap Luhak Limopuluah, maka yang akan
menghadapinya adalah Raja di Hulu Dt. Marajo Simagayua, dengan tujuan “
duduak jan tasundak, malenggang jan tapampeh”, supaya jangan malu Luhak
Limopuluah. Untuk menjaga orang yang masuk dari Luhak Tanah Datar
memasuki Luhak Limopuluah Koto di Situjuah dibuat pula “ Pasak Jalujua”
dengan penghulunya Dt. Musoik, dubalangnya Dt. Sipado Nyalo, dan
pengawalnya Sati Dirajo. Apabila ada keramaian di Balai Jariang Aie
Tabik, Maka Dt. Marajo Simagayua dijemput ke Situjuh Banda Dalam, dibawa
ke kampung Dt. Paduko Majo Lelo , didudukan diatas kasur yang bunta.
Maka dipanggillah anak nan balimo, nan banamo anak jajatan : Dt. Rajo
Malingkan di Mungo, Dt. Pangulu Basa di Andaleh, Dt. Rajo Malano di
sungai Kamuyang, Dt. Paduko Sinaro di Aua Kuniang, Dt. Paduko Alam di
Limbukan Apabila ada perkara antara Luhak, Lareh atau Ranah di
Limapuluah Koto, maka disebutlah orang yang sembilan di dalam memutuskan
perkara tersebut bertempat di rumah Dt. Marajo simagayua. Adapun orang
yang sembilan tersebut adalah :Dt, Marajo Simagayua (pitapang Banda
Dalam ), beserta Dt. Paduko Rajo Lelo nan gadang di ateh Baliang ,
berdua dengan anaknya nan gadang di ateh Patapaan (Baliang dan Patapaan
nagari kecil di atas Gunung Sago), serta Dt. Paduko Tuan, nan gadang di
Labuah Gunuang, berdua dengan anaknya nan gadang diateh Surau yang
bernama Imam Maliki yang kedudukannya sebagai Kadi, Dt.Simulie dari
gaduik Tabiang Tinggi. Dt. Paduko Alam di Ampalu, Dt.Rajo Mudo di
Halaban, Dt.Rajo Dubalang di Ujuang Aua Tanah Bamungguak. Itulah adat di
Luhak Limopuluah menurut barih balabehnya Tersebut dalam adat di nagari
Situjuah Batua yang menjadi pucuak adat adalah Dt. Marajo Kayo, Nagari
Situjuah Gadang adalah Dt. Tanmarajo, dan Nagari Situjuah Banda Dalam
adalah Dt. Simagayua nan Mangiang. Situjuah Banda Dalam disebut baurang
nan duo baleh, yaitu ; 1) Dt. Simagayua nan Mangiang , 2) Dt. Pangulu
Basa, 3)Dt. Gayua, 4) Dt. Paduko Alam, 5) Dt. Marajo nan Bagadang, 6)
Dt. Marajo, 7) Dt. Mangkudun, 8) Dt. Mali, 9) Dt. Paduko Sati, 10)Dt.
Majo Indo nan Balapiah, 11) Dt. Paduko Marajo, 12) Dt. Paduko Rajo.
ZAMAN BELANDA
Di
zaman Belanda daerah Situjuah merupakan satu Kelarasan dengan empat
nagari , yaitu : Situjuah Batua, Situjuah Gadang, Situjuah Banda Dalam,
dan Situjuah Ladang laweh dengan Lareh terakhir bernama Sutan nan Kawai
Dt. Indo Marajo ( meningal di mekah tahun 1927 ).Setelah kelarasan
dihapus pada bulan Nopember 1914, maka situjuah merupakan bagian dari
onderdistrik Luhak, distrik Luhak dengan demangnya bernama Nabi Ulah Dt.
Bandaro ( asal Tuanku Lareh Mungka terahir )
ZAMAN KEMERDEKAAN
Situjuah
Limo Nagari, sejak kemerdekaan merupakan bagian dari wilayah Kecamatan
Luhak. Sehubungan dengan luasnya Kecamatan Luhak ( 17 Nagari ), maka
sejak tahun 1986 dibentuk Kecamatan Perwakilan Luhak di
Situjuah.Berdasarkan Perda Kabupaten Limapuluh Kota No.14 Tahun 2001.
Kecamatan perwakilan ini dijadikan Kecamatan Defenitif dengan nama
Kecamatan Situjuah Limo Nagari yang diresmikan pada tangal 25 Januari
2002 dengan Camatnya Drs. Iddarussalam Nama-nama Camat perwakilan sejak
Tahun 1986 adalah : Mukhlis, BA ( 1986-1990),Drs.M. Yunis (1990-1993)
,Musdar Darwis ,BA (1993-1996), Drs. Maulia Rozadi ( 1996-1998), Drs.
Iddarussalam (1998-1999), Elfi Rahmi, S.Sos (1999-2001), dan Camat
Defenitif Drs. Iddarussalam (2002-2004), Rahmanida,S.Sos
(2004-2008),Hidayatur Rusyda.S.Sos, MH (2008-2009), Drs. Efli Zen (
2009- 2010), Fiddria Fala AP,M,Si 2011-sekarang)
AGAMA
Untuk
menunjang kehidupan beragama di Kecamatan Situjuah Limo Nagari terdapat
fasilitas tempat ibadah berupa Masjid (21 buah), Mushala (29 buah),dan
Langgar (17 buah) . Masyarakatnya 100 % memeluk agama Islam. Jumlah
ulama 13 orang, mubalig 43 orang, penyuluh agama 10 orang dan khatib 21
orang
KEPENDUDUKAN
Jumlah Penduduk di
Kecamatan Situjuah Limo Nagari berjumlah 19.529 jiwa dengan jumlah
Laki-laki 9.462 jiwa, dan perempuan 10.067 jiwa, sex rasio 93,99 %
dengan tingkat kepadatan penduduk 263 jiwa /Km2. Sumber mata pencarian
penduduk adalah petani (85%), Buruh dan Tukang (8 %), pengrajin (3%),
pedagang (2%), PNS,TNI,Polri, pensiunan/veteran dan lainya (2 %),
PENDIDIKAN Sarana pendidikan di Kecamatan Situjuah Limo Nagari yang
telah tersedia sejak tingkat pendidikan TK sampai SLTA. Sarana
pendidikan TK berjumlah 5 (lima) unit. Sarana pendidikan SD tersebar
disemua nagari berjumlah 22 (dua puluh dua) unit. Untuk tingkat
pendidikan SLTP Negeri/swasta 2 (dua) unit. MTN/MTS berjumlah 2 (dua)
unit . Dan untuk tingkat pendidikan SLTA/SMK berjumlah 1 (satu) unit.
Dan MAN/MAS ada 1 (satu) unit. Sekolah SLB Negeri/Swasta berjumlah 1
unit.
KESEHATAN
Dibidang kesehatan,
fasilitas dan sarana kesehatan di Kecamatan Situjuah Limo Nagari masih
memadai. Untuk melayani 5 Nagari terdapat 1 unit Puskesmas , 8 unit
Puskesmas Pembantu (Pustu) , Polindes 8 unit dan Posyandu 30 unit.
Adapun tenaga medis yang terdapat di kecamatan ini terdiri dari 1 orang
dokter umum, 2 orang doktergigi, perawat umum 8 orang, perawat gigi 1
orang, dan 20 orang bidan.
Potensi Kecamatan Situjuah Limo Nagari
LAHAN KERING DAN SAWAH TADAH HUJAN UNTUK TANAMAN PALAWIJA, TERNAK SAPI DAN GALIAN C
PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Kecamatan Situjuah Limo Nagari ,wilayahnya berada di Kaki Gunung Sago, Potensi di Bidang Pertanian dengan luas sawah 1.693 Ha yang terdiri dari sawah berpengairan setengah teknis/sederhana 1.076 Ha dan Tadah Hujan 617 Ha dengan Luas Panen sekitar 3.153 Ha dengan Produksi 14.913,69 Ton GKP setiap tahunnya . Lahan kering dan sawah tadah hujan sangat potensi untuk dikembangkan berbagai tanaman Palawija (Jagung, Kacang Tanah, dan Ubijalar, Ubi Kayu) dan tanaman sayur-sayuran seperti Cabe. Lereng Bukitnya sangat potensi ditanaman dengan berbagai tanaman perkebunan seperti Cangkeh, Coklat , Kopi, dan Kulit Manis.
PETERNAKAN DAN PERIKANAN
Untuk Bidang Peternakan wilayah Situjuah Limo Nagari sangat potensi dikembangkan Ternak besar seperti Sapi dan Kerbau serta ternak ungas ( ayam Ras, dan Buras). Sapi merupakan hewan ternak besar yang paling banyak terdapat di Kecamatan Situjuah Limo Nagari dengan populasi ternak Sapi adalah 3.090 ekor, Kerbau 1.479 ekor, Kambing 2.633 ekor .Selain itu, jenis unggas yang paling banyak terdapat adalah Ayam petelur 79.500 ekor, Ayam Pedaging 50.000 ekor, Ayam Buras 52.750 ekor dan Itik 10.745 ekor. Sementara luas Kolam adalah 107 ha dengan produksi 1.568,79 ton/tahun,luas penangkapan ikan diperairan umum dengan luas 5 ha dengan produksi 0,48 ton/tahun
PERTAMBANGAN
Di Bidang Pertambangan Galian C Kecamatan Situjuah Limo Nagari mempunyai potensi seperti batuan Andesit terdapat di Ketapiang Sialang Taratak Nagari Tungka yang mempunyai fungsi lindung terhadap kawasan dibawahnya yang didominasi oleh perkampungan yang dikelilingi oleh pertanian produktif. Batuan Andesit di Sungai Jilatang Nagari Situjuah Banda Dalam kualitasnya cukup baik untuk bahan bangunan seperti batu belah, batu split, pondasi,dan lain-lain . Potensi batuan Gamping terletak di Ujung Batu Sialang Nagari Tungka. Bahan galian ini pernah di eksploitasi untuk dijadikan marmer, tetapi saat ini didiversifikasi produk berupa kapur tohor. Di samping itu secara sederhana diekploitasi oleh masyarakat setempat dijadikan bongkah/batu pecah untuk dimanfaaatkan sebagai bahan konstruksi dan industri kertas di Riau.
KERAJINAN DAN PASAR
Potensi Kerajinan di Nagari Situjuah Gadang yakni pembuatan “sangkar burung .‘ yang dipasarkan ke Payakumbuh. Kerajinan di Situjuah Banda Dalam berupa usaha “ anyaman bambu, dan rotan” yang dipasarkan ke Payakumbuh. Di nagari Tungka kerajinan masyarakat adalah “ bordir “ yang hasilnya di pasarkan ke Bukit Tinggi. Pasar di Kecamatan Situjuh terdapat di Situjuh Banda dalam yang diadakan setiap hari Kamis.
sumber. www.limapuluhkotakab.go.id
LAHAN KERING DAN SAWAH TADAH HUJAN UNTUK TANAMAN PALAWIJA, TERNAK SAPI DAN GALIAN C
PERTANIAN DAN PERKEBUNAN
Kecamatan Situjuah Limo Nagari ,wilayahnya berada di Kaki Gunung Sago, Potensi di Bidang Pertanian dengan luas sawah 1.693 Ha yang terdiri dari sawah berpengairan setengah teknis/sederhana 1.076 Ha dan Tadah Hujan 617 Ha dengan Luas Panen sekitar 3.153 Ha dengan Produksi 14.913,69 Ton GKP setiap tahunnya . Lahan kering dan sawah tadah hujan sangat potensi untuk dikembangkan berbagai tanaman Palawija (Jagung, Kacang Tanah, dan Ubijalar, Ubi Kayu) dan tanaman sayur-sayuran seperti Cabe. Lereng Bukitnya sangat potensi ditanaman dengan berbagai tanaman perkebunan seperti Cangkeh, Coklat , Kopi, dan Kulit Manis.
PETERNAKAN DAN PERIKANAN
Untuk Bidang Peternakan wilayah Situjuah Limo Nagari sangat potensi dikembangkan Ternak besar seperti Sapi dan Kerbau serta ternak ungas ( ayam Ras, dan Buras). Sapi merupakan hewan ternak besar yang paling banyak terdapat di Kecamatan Situjuah Limo Nagari dengan populasi ternak Sapi adalah 3.090 ekor, Kerbau 1.479 ekor, Kambing 2.633 ekor .Selain itu, jenis unggas yang paling banyak terdapat adalah Ayam petelur 79.500 ekor, Ayam Pedaging 50.000 ekor, Ayam Buras 52.750 ekor dan Itik 10.745 ekor. Sementara luas Kolam adalah 107 ha dengan produksi 1.568,79 ton/tahun,luas penangkapan ikan diperairan umum dengan luas 5 ha dengan produksi 0,48 ton/tahun
PERTAMBANGAN
Di Bidang Pertambangan Galian C Kecamatan Situjuah Limo Nagari mempunyai potensi seperti batuan Andesit terdapat di Ketapiang Sialang Taratak Nagari Tungka yang mempunyai fungsi lindung terhadap kawasan dibawahnya yang didominasi oleh perkampungan yang dikelilingi oleh pertanian produktif. Batuan Andesit di Sungai Jilatang Nagari Situjuah Banda Dalam kualitasnya cukup baik untuk bahan bangunan seperti batu belah, batu split, pondasi,dan lain-lain . Potensi batuan Gamping terletak di Ujung Batu Sialang Nagari Tungka. Bahan galian ini pernah di eksploitasi untuk dijadikan marmer, tetapi saat ini didiversifikasi produk berupa kapur tohor. Di samping itu secara sederhana diekploitasi oleh masyarakat setempat dijadikan bongkah/batu pecah untuk dimanfaaatkan sebagai bahan konstruksi dan industri kertas di Riau.
KERAJINAN DAN PASAR
Potensi Kerajinan di Nagari Situjuah Gadang yakni pembuatan “sangkar burung .‘ yang dipasarkan ke Payakumbuh. Kerajinan di Situjuah Banda Dalam berupa usaha “ anyaman bambu, dan rotan” yang dipasarkan ke Payakumbuh. Di nagari Tungka kerajinan masyarakat adalah “ bordir “ yang hasilnya di pasarkan ke Bukit Tinggi. Pasar di Kecamatan Situjuh terdapat di Situjuh Banda dalam yang diadakan setiap hari Kamis.
sumber. www.limapuluhkotakab.go.id
1 Comments
terima kasih info pdri nya
Bagaimana Pendapat Anda ?