Sabtu, 28 Juni 2014

0 Kebiasaan Ulama Dahulu di Bulan Ramadhan

kebiasaan ulama bulan ramadhanAllah telah mengkhususkan bulan Ramadhan dengan keutamaan-keutamaan yang sangat banyak. Ia merupakan bulan diturunkannya Al-Qur’an dan kitab-kitab as-samawiyah. Ia merupakan bulan taubat, ampunan, penghapus dosa dan kesalahan. Di dalamnya terdapat pembebasan dari api neraka, dibuka pintu-pintu surga serta ditutup pintu-pintu neraka. Sebagaimana di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari seribu bulan. Ia merupakan bulan kemurahan dan kebaikan dan sekaligus bulan do’a yang dikabulkan.
Generasi as-salafush shalih mereka adalah orang-orang yang mengetahui betapa berharganya bulan yang penuh barakah ini, mereka meniti bulan tersebut dengan penuh keseriusan dan kesungguh-sungguhan untuk melakukan amal shalih dengan mengharapkan ridha Allah dan ganjaran-Nya. Telah tetap bahwasanya mereka dahulu berdo’a kepada Allah selama enam bulan agar Allah menyampaikan mereka kepada Ramadhan kemudian mereka juga berdo’a kepada-Nya selama enam bulan agar Dia menerima amalan-amalan mereka.
Abdul Aziz bin Abi Daud berkata: “Aku menjumpai mereka bersungguh-sungguh dalam amal shalih. Ketika mereka telah melakukannya, mereka pun ditimpa gundah gulana, apakah amalan mereka diterima atau tidak.”
Maka kemarilah wahai saudaraku yang mulia, Kita perhatikan sebagian keadaan salaf ketika di bulan Ramadhan dan bagaimana semangat, keinginan mereka yang kuat, serta kesungguhan mereka dalam beribadah agar kita bisa berupaya meneladaninya, dan supaya kita termasuk orang yang mengerti kedudukan bulan Ramadhan ini sehingga kita mau serius untuk beramal shalih di dalamnya.
Pertama: Ulama Salaf Dan Membaca Al-Quran.
Ibnu Rajab mengatakan: Dalam hadits Fathimah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya Nabi mengabarkan kepadanya:
“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam menyimak Al-Qur’an yang dibacakan oleh Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas:
Bahwasanya pengkajian Al-Qur’an antara Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan Jibril dilakukan pada malam hari di bulan Ramadhan. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Hadits ini menunjukkan akan sunnahnya memperbanyak baca Al-Quran pada malam hari di bulan Ramadhan, karena di waktu malam terputus segala kesibukan, terkumpul pada malam itu berbagai harapan, hati dan lisan pada malam hari bisa berkosentrasi untuk berenung, sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً.
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan”. (Al-Muzammil: 6).
Bulan Ramadhan mempunyai kekhususan tersendiri untuk Al-Qur’an, sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang benar dengan yang salah)”. (Al-Baqarah: 185).
Oleh karena itulah para ulama salaf rahimahumullah sangat bersemangat untuk memperbanyak baca Al-Qur’an pada bulan Ramadhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam (kitab) Siyar A’lamin Nubala’, di antaranya adalah:
  • Al-Aswad bin Yazid –semoga Allah merahmatinya- dahulu ia mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan setiap dua malam, beliau tidur antara Magrib dan Isya’. Sedangkan diluar bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al Qur’an setiap enam hari sekali.
  • Al-Imam Malik bin Anas –semoga Allah merahmatinya-, apabila ia memasuki bulan Ramadhan beliau meninggalkan pelajaran hadits dan majelis-majlis ahlul ilmi, dan beliau mengkonsentrasikan untuk baca Al Qur’an dari mushaf.
  • Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri –semoga Allah merahmatinya-, apabila datang bulan Ramadhan beliau meninggalkan manusia dan mengkonsentrasikan diri untuk membaca Al Qur’an.
  • Said bin Zubair –semoga Allah merahmatinya- mangkhatamkan Al-Qur’an pada setiap dua malam sekali.
  • Zabid Al-Yami –semoga Allah merahmatinya- apabila datang bulan Ramadhan beliau mendatangkan mushaf serta mengumpulkan semua murid-muridnya disekitarnya.
  • Al-Walid bin Abdil Malik -semoga Allah merahmatinya- mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga malam sekali, dan mengkhatamkannya sebanyak tujuh belas kali selama bulan Ramadhan.
  • Abu ‘Awanah -semoga Allah merahmatinya- berkata: Aku menyaksikan Qatadah mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.
  • Qatadah –semoga Allah meridhainya- mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari-hari biasa selama tujuh hari, jika datang bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya selama tiga hari, dan pada sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya pada setiap malam.
  • Rabi’ bin Sulaiman berkata: Al-Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak enam puluh kali, dan pada setiap bulannya (di luar Ramadhan) sebanyak tiga puluh kali.
  • Waki’ bin Al-Jarrah membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan dan mengkhatamkannya setiap malam ditambah sepertiga dari Al Qur’an, shalat dua belas rakaat pada waktu dhuha, dan shalat sunnah sejak ba’da zhuhur hingga ashar.
  • Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengkhatamkan Al Qur’an pada siang bulan Ramadhan setiap harinya dan setelah melakukan shalat tarawih beliau mengkhatamkannya setiap tiga malam sekali.
  • Al-Qasim bin ‘Ali berkata menceritakan ayahnya Ibnu ‘Asakir: “Beliau seorang yang sangat rajin melakukan shalat dengan berjama’ah dan rajin membaca Al-Qur’an, ia mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan mengkhatamkannya setiap hari pada bulan Ramadhan serta beri’tikaf di menara timur”.
Ibnu Rajab Al-Hanbali –semoga Allah merahmatinya- mengatakan: “Bahwasanya larangan mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga hari itu apabila dilakukan secara terus menerus. Adapun pada waktu-waktu adanya keutamaan padanya seperti bulan Ramadhan terutama pada malam-malam yang dicari padanya lailatul qadr atau pada tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti Makkah bagi orang yang memasukinya selain penduduk negeri itu, maka dianjurkan untuk memperbanyak membaca Al-Qur’an, dalam rangka memanfaatkan waktu dan tempat tersebut. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan selainnya dari kalangan ulama’ dan diperkuat oleh selain mereka. ( kitab Latha’iful Ma’arif).
Menangis Ketika Membaca Al-Qur’an.
Bukanlah termasuk petunjuk salaf membaca Al-Qur’an dengan cara cepat seperti membaca syair, tanpa adanya tadabbur. Kerana kaum salaf sangat merenungi firman Allah dan hati-hati mereka sangat tergerak dengan al-qur’an.
- Dari Abi Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: ketika turun firman Allah ta’ala:
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?”. (QS.An Najm: 59-60)
Maka menangislah ahlu suffah, sampai air mata mereka mengalir di pipi mereka sehingga ketika Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendengar tangisan mereka beliau pun menangis bersama mereka. Maka kami pun menangis dengan tangisan Rosulullah, Kemudian Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “tidaklah akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah”. (H.R. Al-baihaqy).
- Suatu ketika Ibnu umar membaca surat al-muthaffifin, maka ketika ia sampai ayat:
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
(QS.Al Muthaffifin: 6).
Maka ia pun jatuh tersungkur dan tidak mampu meneruskan bacaan ayat yang sesudahnya.
- Dari Muzahim bin Zufar ia berkata: suatu saat Sufyan Ats-Tsaury shalat Maghrib bersama kami, maka ia pun membaca surat al-fatihah, sehingga ketika sampai ayat:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembahdan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS.Al Fatihah: 5)
Maka ia pun menangis sampai terputus bacaannya kemudian ia mengulangi bacaannya dari ayat pertama lagi.
- Dari Ibrahim Bin Asy-Ast, ia berkata: “suatu malam aku mendengar Fudzail membaca surat Muhammad, sedangkan ia mengulang-ngulangi ayat ini dengan menangis.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”. (QS. Muhammad: 31).
Seraya ia mengatakan, Akbaarana, Ya Allah jika engkau mengabarkan keadaan-keadaan kami, maka engkau telah membuka tabir-tabir kami, membinasakan dan menyiksa kami. Ia pun meneruskan tangisannya.
Inilah hanya sebagian contoh dan masih banyak kisah-kisah yang serupa dalam hal ini.
Kedua: Ulama Salaf Dan Shalat Malam.
Sesungguhnya shalat malam adalah kebiasaan orang-orang shalih, perniagaan kaum mu’minin serta amalannya orang-orang yang beruntung. Pada waktu malam orang-orang yang beriman menyendiri dengan Rabb-Nya, menghadap kepada Pencipta-Nya, mengadukan keadaan mereka seraya memohon kepada-Nya akan keutamaan-Nya. Jiwa-jiwa mereka berada di antara kedua tangan Penciptanya, beri’tikaf untuk bermunajat kepada Penciptanya. Mereka berupaya mendapat percikan cahaya dari ibadah tersebut, berharap dan bersimpuh diri atas adanya berbagai pemberian dan karunia (dari Rabb-Nya).
- Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Tidaklah aku mendapatkan suatu ibadah yang lebih besar nilainya daripada shalat pada pertengahan malam”.
- Abu ‘Utsman An-Nahdi mengatakan: “Aku bertamu kepada Abu Hurairah selama tujuh hari, maka dia, istri dan pembantunya membagi malam menjadi tiga bagian, yang satu shalat ini kemudian membangunkan yang lainnya”.
- Dahulu Syaddad bin Aus apabila beranjak untuk beristirahat di ranjangnya, kondisinya bagaikan biji yang berada di atas penggorengan kemudian berdoa: “Ya Allah! Sesungguhnya Jahannam (mengancam)! Jangan Engkau biarkan aku tidur. Maka ia pun bangun dan menuju ke tempat shalatnya”.
- Dahulu Thawus melompat dari atas tempat tidurnya kemudian bersuci dan menghadap qiblat (shalat) hingga datang waktu shubuh dan berkata: “Mengingat Jahannam akan menghentikan tidurnya para ahli ibadah”.
- Dari As-Saib bin Yazid dia berkata: “Umar bin Al Khaththab –semoga Allah meridhainya- memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad-Dari –semoga Allah meridhai keduanya- mengimami manusia pada malam Ramadhan. Kemudian sang imam membaca dua ratus ayat, hingga kami bersandar kepada tongkat-tongkat karena lamanya berdiri, tidaklah kami selesai dari shalat kecuali telah mendekati waktu shubuh. (HR. Al-Baihaqi).
- Dari Malik bin ‘Abdillah bin Abi Bakr, ia bekata, Aku mendengar ayahku berkata: “Dahulu kami selesai dari shalat malam pada bulan Ramadhan, kami pun bersegera mempersiapkan makan karena takut datang waktu shubuh”. (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’).
- Dari Dawud bin Al-Hushain, dari ‘Abdurrahman bin Hurmuz, ia berkata: “Para qari’ dahulu membaca surat Al-Baqarah dalam delapan raka’at. Maka ketika para qari’ (para imam tarawih) membacanya dalam dua belas raka’at, orang-orang melihat bahwa para imam tersebut telah meringankan bacaan untuk mereka”. (HR. Al Baihaqi).
- Nafi’ berkata: Dahulu Ibnu Umar –semoga Allah meridhai kedunya- tinggal di rumahnya pada bulan Ramadhan. Maka ketika orang-orang telah pergi dari masjid, beliau mengambil sebuah wadah yang berisi air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, lalu beliau tidak keluar dari masjid kecuali ketika tiba waktu shalat shubuh di masjid tersebut. (HR. Al Baihaqi).
- Dari Nafi’ bin ‘Umar bin Abdillah, ia berkata, aku mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Dahulu aku pernah mengimami manusia pada bulan Ramadhan, aku membaca pada suatu raka’at surat Alhamdulillahi surat Fathir dan yang semisalnya. Tidaklah sampai kepadaku bahwa ada seorang pun yang merasa keberatan dengannya. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
- Dari ‘Imran bin Hudair, ia berkata, dahulu Abu Mijlaz tinggal di sebuah perkampungan dibulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
- Dari Abdush Shamad, dia baerkata, Abul Asyhab telah memberitakan kepadaku, dia berkata: “Dahulu Abu Raja’ mengkhatamkan Al Qur’an ketika mengimami kami pada sholat malam bulan Ramadhan pada setiap sepuluh hari.
- Dari Yazid bin Hafsha bin hafshah dari as-shaeb ia berkata: “Mereka shalat malam pada masa Umar bin khaatab dibulan Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat. Ia mengatakan, dahulu mereka membaca dua ratus ayat, mereka bersandar pada tongkat-tongkat di zaman ustman bin affan karena lamanya berdiri. (HR. al-baihaqi).
Tingkatan Kaum Salaf Dalam Shalat Malam.
Ibnu al-jauziyah berkata: “ketahuilah sesungguhnya kaum salaf dalam mengerjakan shalat malam ada tujuh tingkatan”.
1. Mereka menghidupkan semua malam. Diantara mereka ada yang shalat fajar dengan sekali wudzu.
2. Mereka shalat separuh malam.
3. Mereka shalat sepertiga malam. Roslulullah shallahu ‘alaihi wa shallam bersabda: “shalatnya Nabi Dawud yaitu ia tidur di tengah malam, kemudian ia bangun sepertiga malam dan tidur kembali pada seper enam malam”. (Muttafaqun ‘alaihi).
4. Mereka tidur seper enam atau seper lima malam.
5. Mereka tidak melihat ukuran waktu, tetapi mereka shalat sampai sara ngatuk menglahkan mereka kemudian ia tidur dan apabila terjaga ia shalat kembali.
6. Suatu kaum yang shalat empat rakaat atau dua rakaat.
7. Suatu kaum yang menghidupkan shalat antara Maghrib dan Isya’.
Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu, tidaklah seorang hamba muslim mencocokinya dalam memehon kepada Allah didalamnya berupa kebaikan melainkan akan Allah akan berikan kepadanya dan yang demikian itu adalah setiap malam”. (H.R. Muslim).
Sebab-Sebab Yang Memudahkan Untuk Shalat Malam.
Abu hamid al-ghazali menyebutkan sebab-sebab dhahir dan batin yang dapat memudahkan seseorang untuk bangun malam. Adapun sebab-sebab dhahir maka ada empat perkara:
1. Tidak memperbanyak makan dan minum, sehingga tudur dapat mengalahkannya dan berat untuk bangun.
2. Tidak mencapekkan diri pada waktu siang dengan sesuatu yang tidak ada faedahnya.
3. Tidak meninggalkan qoilulah (tidur sebentar) pada waktu siang, karena dapat membantu untuk shalat malam.
4. Tidak mengerjakan perbuatan dosa di siang hari sehingga diharamkan shalat malam pada waktu malam.
Adapun Sebab-Sebab Bathin, Maka Ada Empat Perkara:
1. Selamatnya hati dari hasad terhadap kaum muslimin, selamatnya hati dari kebid’ahan dan sesuatu yang tidak bermanfaat dari perkara duniawi.
2. Senantiasa hatinya terbiasa takut disertai dengan pendek angan-angan.
3. Mengetahui keutamaan shalat malam.
4. Ini adalah faktor pendorong yang paling mulia, yaitu cinta karena Allah dan kuatnya iman bahwasanya dalam shalatnya tersebut tidaklah dia berucap dengan satu huruf pun melainkan dia sedang bermunajat kepada Rabbnya.
Ketiga: Ulama Salaf Dan Sifat Pemurah Dan Dermawan Ketika Menyambut Bulan Ramadhan
1. Dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhai keduanya, dia berkata:
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling pemurah dalam memberikan kebaikan, dan kepemurahan beliau yang paling nampak adalah ketika Ramadhan. Sesungguhnya Jibril biasa menjumpaihinya, dan Jibril ‘alaihis salam senantiasa menjumpai beliau setiap malam bulan Ramadhan sampai selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam membacakan padanya Al Qur’an. Ketika berjumpa dengan Jibril’ alaihissalam, beliau sangat dermawan dengan kebaikan daripada angin yang berhembus”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits tersebut menunjukkan barakahnya beramal kebajikan dan sebagian amalan kebajikan itu akan membuka dan membantu amalan kebajikan yang lain. Tidakkah kamu tahu bahwa barakahnya puasa, perjumpaan (Nabi) dengan Jibril, dan dibacakannya Al-Qur’an kepadanya dapat menambah kesungguhan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah dan bershadaqah sehingga amalnya seperti lebih cepat daripada angin yang berhembus”.
Az-Zain bin Al-Munayyir berkata: “Yakni semua bentuk kebaikan beliau, baik tatkala dalam kondisi fakir dan butuh maupun dalam kondisi kaya dan berkecukupan merata lebih baik daripada meratanya air hujan menimpa bumi yang dihembuskan angin”.
Ibnu Rajab berkata: Asy-Syafi’i –semoga Allah meridhainya- berkata: “Yang paling dicintai bagi seseorang adalah bertambah kedermawanannya pada bulan Ramadhan dalam rangka meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena kebutuhan manusia didalamnya dan karena mereka tersibukkan dengan ibadah puasa dan shalat dari pekerjaan mereka”.
- Ibnu ‘Umar –semoga Allah meridhai kedunya- dahulu apabila berpuasa ia tidak berbuka kecuali bersama orang-orang miskin, namun jika keluarganya menghalangi mereka darinya, maka ia tidak makan pada malam itu. Jika ada seorang peminta datang kepada beliau dalam keadaan beliau sedang makan, beliau mengambil bagiannya dan memberikan kepada si peminta tersebut, beliau pun kembali dan keluarganya telah memakan apa yang tersisa di mangkuk tempat makanan. Maka beliau berpuasa pada pagi harinya dan tidak memakan sesuatu apapun.
- Yunus bin Yazid berkata: “Dahulu Al-Imam Ibnu Syihab –semoga Allah merahmatinya- jika memasuki bulan Ramadhan, beliau isi bulan tersebut dengan membaca Al-Quran dan memberi makan”.
- Hammad bin Abi Salamah -semoga Allah merahmatinya- dahulu biasa memberi jamuan berbuka pada bulan Ramadhan kepada lima ratus orang dan setelah ‘idul fithri beliau memberi masing-masing mereka lima ratus dirham.
Keempat: Sedikit Makan
- Ibrahim bin Abi Ayyub berkata: “Muhammad bin ‘Amr Al-Ghazy pada bulan Ramadhan dahulu makan hanya dua kali”.
- Abul ‘Abbas Hasyim bin Al-Qasim berkata: “Dahulu aku pernah di sisi Al-Muhtadi pada sore hari di bulan Ramadhan, kemudian aku berdiri untuk pergi, maka ia berkata: duduklah. Maka aku pun duduk, kemudian ia mengimami shalat. Setelah itu ia meminta untuk dihidangkan makanan, maka dihidangkanlah kepadanya satu nampan yang di dalamnya terdapat roti dan tempat yang yang berisi garam, minyak, dan cuka. Kemudian dia mengajakku untuk makan, maka aku pun makan layaknya orang yang menunggu masakan yang lain. Maka ia bertanya: bukankah besok engkau masih berpuasa? Aku menjawab: tentu. ia berkata: makanlah dan cukupkan karena tidak ada makanan yang lain selain apa yang kamu lihat ini”.
Kelima: Menjaga Lisan, Sedikit Bicara, Menjaga Diri Dari Dusta
Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (artinya).
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan haram dan perbuatan haram, maka Allah tidak butuh kepada jerih payahnya di saat meninggalkan makan dan minumnya”. (HR. Al-Bukhari).
Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits tersebut terdapat dalil bahwa hukum puasa itu adalah menahan diri dari perbuatan keji dan perkataan dusta sebagaimana dia menahan diri dari makan dan minum. Barangsiapa yang tidak menahan dirinya dari hal-hal tersebut, maka hal itu akan mengurangi nilai puasanya, menyebabkan murka Allah dan tidak diterimanya puasa dia”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (artinya)
“Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian berpuasa, maka janganlah berbuat keji ataupun bertindak jahil, jika ada seseorang yang mencelanya atau memusuhinya, maka katakanlah: “aku sedang berpuasa, aku sedang berpuasa”. (HR. Muslim).
- Al-Maziri berkata -menjelaskan kalimat- “aku sedang berpuasa”: “mungkin juga yang dimaksud dengannya adalah ia mengajak bicara kepada dirinya sendiri dalam rangka memperingatkan dari perbuatan mencela ataupun bermusuhan”.
- Umar bin Al-Khaththab semoga Allah meridhainya berkata: “Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan bathil, sia-sia, serta sumpah yang tidak ada gunanya”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
- Dari ‘Ali bin Abi Thalib –semoga Allah meridhainya- dia berkata: “Sesungguhnya puasa itu tidaklah sebatas menahan diri dari makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan batil dan sia-sia”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
- Dari Thalq bin Qais semoga Allah meridhainya- ia berkata: “Jika kamu berpuasa, maka jagalah semampumu”. Apabila berpuasa, dia masuk rumahnya dan tidak pernah keluar kecuali untuk mengerjakan shalat”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
- Dari Jabir bin semoga Allah meridhai keduanya- ia berkata: “Jika kamu berpuasa, maka jagalah pendengaran, penglihatan, dan lisanmu dari berdusta dan jagalah dirimu dari perbuatan dosa, jangan menyakiti pembantu, wajib atas kamu bersikap tenang pada saat kamu berpuasa, jangan kamu jadikan hari berbukamu dengan hari berpuasamu sama”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Ash-Shiyam, Bab Perkara yang diperintahkan kepada orang yang berpuasa berupa sedikit bicara dan menjaga diri dari berdusta’, II/422).
- Dari ‘Atha’ –semoga Allah merahmatinya- ia berkata, Aku mendengar Abu Hurairah berkata: “Jika kamu berpuasa, maka janganlah berbuat jahil, dan jangan mencaci maki. Jika kamu diperlakukan jahil, maka katakanlah “aku sedang berpuasa”. (HR. Abdurrazzaq dalam Al Mushannaf).
- Dari Mujahid, ia berkata: “ada dua perangai yang barangsiapa menjaga diri darinya, maka puasanya akan selamat, yaitu ghibah dan berdusta. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
- Dari Abul ‘Aliyah, ia berkata: “Orang yang puasa senantiasa dalam ibadah selama ia tidak berbuat ghibah”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
Keenam: Keadaan Salaf Terkait Dengan Waktu
Al-Hasan Al-Bashri -semoga Allah merahmatinya- ia berkata: “Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu adalah (seperti) hari-hari, jika satu hari telah pergi, maka telah hilanglah sebagian dari dirimu”.
- Al-Hasan Al-Bashri –semoga Allah merahmatinya- ia berkata: “Wahai anak Adam! Waktu siangmu adalah tamumu, maka berbuat baiklah kepadanya, karena apabila kamu berbuat baik kepadanya, dia akan pergi dengan memujimu, dan apabila kamu berbuat jelek padanya, maka dia akan pergi dengan mencelamu, demikian juga waktu malammu”.
- Al-Hasan Al-Bashri –semoga Allah merahmatinya- juga mengatakan: “Dunia itu ada tiga hari: Adapun kemarin, maka dia telah pergi dengan amalan-amalan yang kamu kerjakan didalamnya, adapun besok, mungkin saja kamu tidak akan menjumpainya lagi, dan adapun hari ini, maka untukmu, beramallah pada saat itu”.
- Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridhainya- berkata: “Tidaklah aku menyesal terhadap sesuatu sebagaimana menyesalku terhadap suatu hari yang matahari telah tenggelam, yang dapat mengurangi umurku padahal amalanku tidak bertambah pada hari itu”.
- Ibnul Qayyim –semoga Allah merahmatinya- ia berkata: “Menyia-nyiakan waktu itu lebih jelek dari pada kematian, karena menyia-nyiakan waktu itu memutuskan kamu dari Allah dan negeri akhirat, sementara kematian itu memutuskan kamu dari dunia dan penghuninya”.
- As-Suri bin Al-Muflis –semoga Allah merahmatinya- ia berkata: “Jika kamu sedih karena hartamu berkurang, maka menangislah karena berkurangnya umurmu”.
Penutup
Kita memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan dan kemudahan dalam beramal shalih selama Ramadhan, baik lahir maupun batin dan agar Allah menerima amalan-amaln kita, puasa kita, shalat malam kita, dan mudah-mudahan Allah membebaskan kita dari neraka-Nya, orang tua kita, kerabat kita dan semua kaum muslimin, baik yang masih hidup atau yang sudah meninggal, yang berada diatas tauhid yang benar, sehingga kita menjadi hamba-hambanya yang beruntung, baik di dunia maupun akhirat. Aamiin
Alih bahasa:
Al faqiir ilaa ‘afwi Rabbih
Hamidin As-Sidawy, Abu Harits
Makkah al Mukarramah, 17 Ramadhan 1434 H
________________________________________
Risalah ini diterjemahkan dan diringkas dari tiga kutaib dengan judul yang sama, yaitu:
1. Haalus Salaf Fi Ramadhan karya Syeikh Ahmad bin Muhammad al-hawas.
2. Buletin Qism Ilmy, di Dar Al-Wathan.
3.makalah dari website multaqo ahlil hadits dengan tambahan dan pengurangan.
Sumber : http://cahayaummulquro.com

0 Comments

Bagaimana Pendapat Anda ?