Allah telah mengkhususkan bulan Ramadhan dengan
keutamaan-keutamaan yang sangat banyak. Ia merupakan bulan diturunkannya
Al-Qur’an dan kitab-kitab as-samawiyah. Ia merupakan bulan taubat,
ampunan, penghapus dosa dan kesalahan. Di dalamnya terdapat pembebasan
dari api neraka, dibuka pintu-pintu surga serta ditutup pintu-pintu
neraka. Sebagaimana di dalamnya terdapat satu malam yang lebih baik dari
seribu bulan. Ia merupakan bulan kemurahan dan kebaikan dan sekaligus
bulan do’a yang dikabulkan.
Generasi as-salafush shalih mereka adalah orang-orang
yang mengetahui betapa berharganya bulan yang penuh barakah ini, mereka
meniti bulan tersebut dengan penuh keseriusan dan kesungguh-sungguhan
untuk melakukan amal shalih dengan mengharapkan ridha Allah dan
ganjaran-Nya. Telah tetap bahwasanya mereka dahulu berdo’a kepada Allah
selama enam bulan agar Allah menyampaikan mereka kepada Ramadhan
kemudian mereka juga berdo’a kepada-Nya selama enam bulan agar Dia
menerima amalan-amalan mereka.
Abdul Aziz bin Abi Daud berkata: “Aku menjumpai mereka
bersungguh-sungguh dalam amal shalih. Ketika mereka telah melakukannya,
mereka pun ditimpa gundah gulana, apakah amalan mereka diterima atau
tidak.”
Maka kemarilah wahai saudaraku yang mulia, Kita
perhatikan sebagian keadaan salaf ketika di bulan Ramadhan dan bagaimana
semangat, keinginan mereka yang kuat, serta kesungguhan mereka dalam
beribadah agar kita bisa berupaya meneladaninya, dan supaya kita
termasuk orang yang mengerti kedudukan bulan Ramadhan ini sehingga kita
mau serius untuk beramal shalih di dalamnya.
Pertama: Ulama Salaf Dan Membaca Al-Quran.
Ibnu Rajab mengatakan: Dalam hadits Fathimah radhiyallahu ‘anha dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwasanya Nabi mengabarkan kepadanya:
“Sesungguhnya Jibril ‘alaihis salam menyimak Al-Qur’an
yang dibacakan oleh Nabi sekali pada setiap tahunnya, dan pada tahun
wafatnya Nabi, Jibril menyimaknya dua kali”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Dalam sebuah hadits dari Ibnu Abbas:
Bahwasanya pengkajian Al-Qur’an antara Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dengan Jibril dilakukan pada malam hari di bulan Ramadhan. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Hadits ini menunjukkan akan sunnahnya memperbanyak baca
Al-Quran pada malam hari di bulan Ramadhan, karena di waktu malam
terputus segala kesibukan, terkumpul pada malam itu berbagai harapan,
hati dan lisan pada malam hari bisa berkosentrasi untuk berenung,
sebagaimana Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ نَاشِئَةَ اللَّيْلِ هِيَ أَشَدُّ وَطْءاً وَأَقْوَمُ قِيلاً.
“Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan”. (Al-Muzammil: 6).
Bulan Ramadhan mempunyai kekhususan tersendiri untuk Al-Qur’an, sebagaimana Allah ta’ala berfirman:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
“Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al-Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan
penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang
benar dengan yang salah)”. (Al-Baqarah: 185).
Oleh karena itulah para ulama salaf rahimahumullah
sangat bersemangat untuk memperbanyak baca Al-Qur’an pada bulan
Ramadhan, sebagaimana yang dijelaskan dalam (kitab) Siyar A’lamin
Nubala’, di antaranya adalah:
- Al-Aswad bin Yazid –semoga Allah merahmatinya- dahulu ia mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan setiap dua malam, beliau tidur antara Magrib dan Isya’. Sedangkan diluar bulan Ramadhan beliau mengkhatamkan Al Qur’an setiap enam hari sekali.
- Al-Imam Malik bin Anas –semoga Allah merahmatinya-, apabila ia memasuki bulan Ramadhan beliau meninggalkan pelajaran hadits dan majelis-majlis ahlul ilmi, dan beliau mengkonsentrasikan untuk baca Al Qur’an dari mushaf.
- Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri –semoga Allah merahmatinya-, apabila datang bulan Ramadhan beliau meninggalkan manusia dan mengkonsentrasikan diri untuk membaca Al Qur’an.
- Said bin Zubair –semoga Allah merahmatinya- mangkhatamkan Al-Qur’an pada setiap dua malam sekali.
- Zabid Al-Yami –semoga Allah merahmatinya- apabila datang bulan Ramadhan beliau mendatangkan mushaf serta mengumpulkan semua murid-muridnya disekitarnya.
- Al-Walid bin Abdil Malik -semoga Allah merahmatinya- mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tiga malam sekali, dan mengkhatamkannya sebanyak tujuh belas kali selama bulan Ramadhan.
- Abu ‘Awanah -semoga Allah merahmatinya- berkata: Aku menyaksikan Qatadah mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.
- Qatadah –semoga Allah meridhainya- mengkhatamkan Al-Qur’an pada hari-hari biasa selama tujuh hari, jika datang bulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya selama tiga hari, dan pada sepuluh hari terakhir dibulan Ramadhan beliau mengkhatamkannya pada setiap malam.
- Rabi’ bin Sulaiman berkata: Al-Imam Syafi’i mengkhatamkan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan sebanyak enam puluh kali, dan pada setiap bulannya (di luar Ramadhan) sebanyak tiga puluh kali.
- Waki’ bin Al-Jarrah membaca Al-Quran pada malam bulan Ramadhan dan mengkhatamkannya setiap malam ditambah sepertiga dari Al Qur’an, shalat dua belas rakaat pada waktu dhuha, dan shalat sunnah sejak ba’da zhuhur hingga ashar.
- Al-Imam Muhammad bin Ismail Al-Bukhari mengkhatamkan Al Qur’an pada siang bulan Ramadhan setiap harinya dan setelah melakukan shalat tarawih beliau mengkhatamkannya setiap tiga malam sekali.
- Al-Qasim bin ‘Ali berkata menceritakan ayahnya Ibnu ‘Asakir: “Beliau seorang yang sangat rajin melakukan shalat dengan berjama’ah dan rajin membaca Al-Qur’an, ia mengkhatamkannya setiap Jum’at, dan mengkhatamkannya setiap hari pada bulan Ramadhan serta beri’tikaf di menara timur”.
Ibnu Rajab Al-Hanbali –semoga Allah merahmatinya-
mengatakan: “Bahwasanya larangan mengkhatamkan Al-Quran kurang dari tiga
hari itu apabila dilakukan secara terus menerus. Adapun pada
waktu-waktu adanya keutamaan padanya seperti bulan Ramadhan terutama
pada malam-malam yang dicari padanya lailatul qadr atau pada
tempat-tempat yang memiliki keutamaan seperti Makkah bagi orang yang
memasukinya selain penduduk negeri itu, maka dianjurkan untuk
memperbanyak membaca Al-Qur’an, dalam rangka memanfaatkan waktu dan
tempat tersebut. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, dan selainnya dari
kalangan ulama’ dan diperkuat oleh selain mereka. ( kitab Latha’iful
Ma’arif).
Menangis Ketika Membaca Al-Qur’an.
Bukanlah termasuk petunjuk salaf membaca Al-Qur’an
dengan cara cepat seperti membaca syair, tanpa adanya tadabbur. Kerana
kaum salaf sangat merenungi firman Allah dan hati-hati mereka sangat
tergerak dengan al-qur’an.
- Dari Abi Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: ketika turun firman Allah ta’ala:
أَفَمِنْ هَذَا الْحَدِيثِ تَعْجَبُونَ وَتَضْحَكُونَ وَلا تَبْكُونَ
“Maka apakah kamu merasa heran terhadap pemberitaan ini? Dan kamu mentertawakan dan tidak menangis?”. (QS.An Najm: 59-60)
Maka menangislah ahlu suffah, sampai air mata mereka mengalir di pipi mereka sehingga ketika Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam mendengar
tangisan mereka beliau pun menangis bersama mereka. Maka kami pun
menangis dengan tangisan Rosulullah, Kemudian Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “tidaklah akan masuk neraka orang yang menangis karena takut kepada Allah”. (H.R. Al-baihaqy).
- Suatu ketika Ibnu umar membaca surat al-muthaffifin, maka ketika ia sampai ayat:
يَوْمَ يَقُومُ النَّاسُ لِرَبِّ الْعَالَمِينَ
“yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam?
(QS.Al Muthaffifin: 6).
(QS.Al Muthaffifin: 6).
Maka ia pun jatuh tersungkur dan tidak mampu meneruskan bacaan ayat yang sesudahnya.
- Dari Muzahim bin Zufar ia berkata: suatu saat Sufyan
Ats-Tsaury shalat Maghrib bersama kami, maka ia pun membaca surat
al-fatihah, sehingga ketika sampai ayat:
إِيَّاكَ نَعْبُدُ وَإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ
“Hanya Engkaulah yang kami sembahdan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan.” (QS.Al Fatihah: 5)
Maka ia pun menangis sampai terputus bacaannya kemudian ia mengulangi bacaannya dari ayat pertama lagi.
- Dari Ibrahim Bin Asy-Ast, ia berkata: “suatu malam aku
mendengar Fudzail membaca surat Muhammad, sedangkan ia
mengulang-ngulangi ayat ini dengan menangis.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ حَتَّى نَعْلَمَ الْمُجَاهِدِينَ مِنْكُمْ وَالصَّابِرِينَ وَنَبْلُوَ أَخْبَارَكُمْ
“Dan sesungguhnya Kami benar-benar akan menguji kamu
agar Kami mengetahui orang-orang yang berjihad dan bersabar di antara
kamu, dan agar Kami menyatakan (baik buruknya) hal ihwalmu”. (QS.
Muhammad: 31).
Seraya ia mengatakan, Akbaarana, Ya Allah jika engkau
mengabarkan keadaan-keadaan kami, maka engkau telah membuka tabir-tabir
kami, membinasakan dan menyiksa kami. Ia pun meneruskan tangisannya.
Inilah hanya sebagian contoh dan masih banyak kisah-kisah yang serupa dalam hal ini.
Kedua: Ulama Salaf Dan Shalat Malam.
Sesungguhnya shalat malam adalah kebiasaan orang-orang
shalih, perniagaan kaum mu’minin serta amalannya orang-orang yang
beruntung. Pada waktu malam orang-orang yang beriman menyendiri dengan
Rabb-Nya, menghadap kepada Pencipta-Nya, mengadukan keadaan mereka
seraya memohon kepada-Nya akan keutamaan-Nya. Jiwa-jiwa mereka berada di
antara kedua tangan Penciptanya, beri’tikaf untuk bermunajat kepada
Penciptanya. Mereka berupaya mendapat percikan cahaya dari ibadah
tersebut, berharap dan bersimpuh diri atas adanya berbagai pemberian dan
karunia (dari Rabb-Nya).
- Al-Hasan Al-Bashri mengatakan: “Tidaklah aku
mendapatkan suatu ibadah yang lebih besar nilainya daripada shalat pada
pertengahan malam”.
- Abu ‘Utsman An-Nahdi mengatakan: “Aku bertamu kepada
Abu Hurairah selama tujuh hari, maka dia, istri dan pembantunya membagi
malam menjadi tiga bagian, yang satu shalat ini kemudian membangunkan
yang lainnya”.
- Dahulu Syaddad bin Aus apabila beranjak untuk
beristirahat di ranjangnya, kondisinya bagaikan biji yang berada di atas
penggorengan kemudian berdoa: “Ya Allah! Sesungguhnya Jahannam
(mengancam)! Jangan Engkau biarkan aku tidur. Maka ia pun bangun dan
menuju ke tempat shalatnya”.
- Dahulu Thawus melompat dari atas tempat tidurnya
kemudian bersuci dan menghadap qiblat (shalat) hingga datang waktu
shubuh dan berkata: “Mengingat Jahannam akan menghentikan tidurnya para
ahli ibadah”.
- Dari As-Saib bin Yazid dia berkata: “Umar bin Al
Khaththab –semoga Allah meridhainya- memerintahkan Ubay bin Ka’ab dan
Tamim Ad-Dari –semoga Allah meridhai keduanya- mengimami manusia pada
malam Ramadhan. Kemudian sang imam membaca dua ratus ayat, hingga kami
bersandar kepada tongkat-tongkat karena lamanya berdiri, tidaklah kami
selesai dari shalat kecuali telah mendekati waktu shubuh. (HR.
Al-Baihaqi).
- Dari Malik bin ‘Abdillah bin Abi Bakr, ia bekata, Aku
mendengar ayahku berkata: “Dahulu kami selesai dari shalat malam pada
bulan Ramadhan, kami pun bersegera mempersiapkan makan karena takut
datang waktu shubuh”. (H.R. Malik dalam Al Muwaththa’).
- Dari Dawud bin Al-Hushain, dari ‘Abdurrahman bin
Hurmuz, ia berkata: “Para qari’ dahulu membaca surat Al-Baqarah dalam
delapan raka’at. Maka ketika para qari’ (para imam tarawih) membacanya
dalam dua belas raka’at, orang-orang melihat bahwa para imam tersebut
telah meringankan bacaan untuk mereka”. (HR. Al Baihaqi).
- Nafi’ berkata: Dahulu Ibnu Umar –semoga Allah meridhai
kedunya- tinggal di rumahnya pada bulan Ramadhan. Maka ketika
orang-orang telah pergi dari masjid, beliau mengambil sebuah wadah yang
berisi air kemudian keluar menuju masjid Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, lalu beliau tidak keluar dari masjid kecuali ketika tiba waktu
shalat shubuh di masjid tersebut. (HR. Al Baihaqi).
- Dari Nafi’ bin ‘Umar bin Abdillah, ia berkata, aku
mendengar Ibnu Abi Mulaikah berkata: “Dahulu aku pernah mengimami
manusia pada bulan Ramadhan, aku membaca pada suatu raka’at surat
Alhamdulillahi surat Fathir dan yang semisalnya. Tidaklah sampai
kepadaku bahwa ada seorang pun yang merasa keberatan dengannya. (HR.
Ibnu Abi Syaibah).
- Dari ‘Imran bin Hudair, ia berkata, dahulu Abu Mijlaz
tinggal di sebuah perkampungan dibulan Ramadhan, beliau mengkhatamkan
Al-Qur’an setiap tujuh hari. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
- Dari Abdush Shamad, dia baerkata, Abul Asyhab telah
memberitakan kepadaku, dia berkata: “Dahulu Abu Raja’ mengkhatamkan Al
Qur’an ketika mengimami kami pada sholat malam bulan Ramadhan pada
setiap sepuluh hari.
- Dari Yazid bin Hafsha bin hafshah dari as-shaeb ia
berkata: “Mereka shalat malam pada masa Umar bin khaatab dibulan
Ramadhan sebanyak dua puluh rakaat. Ia mengatakan, dahulu mereka membaca
dua ratus ayat, mereka bersandar pada tongkat-tongkat di zaman ustman
bin affan karena lamanya berdiri. (HR. al-baihaqi).
Tingkatan Kaum Salaf Dalam Shalat Malam.
Ibnu al-jauziyah berkata: “ketahuilah sesungguhnya kaum salaf dalam mengerjakan shalat malam ada tujuh tingkatan”.
1. Mereka menghidupkan semua malam. Diantara mereka ada yang shalat fajar dengan sekali wudzu.
2. Mereka shalat separuh malam.
3. Mereka shalat sepertiga malam. Roslulullah shallahu
‘alaihi wa shallam bersabda: “shalatnya Nabi Dawud yaitu ia tidur di
tengah malam, kemudian ia bangun sepertiga malam dan tidur kembali pada
seper enam malam”. (Muttafaqun ‘alaihi).
4. Mereka tidur seper enam atau seper lima malam.
5. Mereka tidak melihat ukuran waktu, tetapi mereka
shalat sampai sara ngatuk menglahkan mereka kemudian ia tidur dan
apabila terjaga ia shalat kembali.
6. Suatu kaum yang shalat empat rakaat atau dua rakaat.
7. Suatu kaum yang menghidupkan shalat antara Maghrib dan Isya’.
Rosulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Sesungguhnya di malam hari terdapat waktu, tidaklah seorang
hamba muslim mencocokinya dalam memehon kepada Allah didalamnya berupa
kebaikan melainkan akan Allah akan berikan kepadanya dan yang demikian
itu adalah setiap malam”. (H.R. Muslim).
Sebab-Sebab Yang Memudahkan Untuk Shalat Malam.
Abu hamid al-ghazali menyebutkan sebab-sebab dhahir dan
batin yang dapat memudahkan seseorang untuk bangun malam. Adapun
sebab-sebab dhahir maka ada empat perkara:
1. Tidak memperbanyak makan dan minum, sehingga tudur dapat mengalahkannya dan berat untuk bangun.
2. Tidak mencapekkan diri pada waktu siang dengan sesuatu yang tidak ada faedahnya.
3. Tidak meninggalkan qoilulah (tidur sebentar) pada waktu siang, karena dapat membantu untuk shalat malam.
4. Tidak mengerjakan perbuatan dosa di siang hari sehingga diharamkan shalat malam pada waktu malam.
Adapun Sebab-Sebab Bathin, Maka Ada Empat Perkara:
1. Selamatnya hati dari hasad terhadap kaum muslimin,
selamatnya hati dari kebid’ahan dan sesuatu yang tidak bermanfaat dari
perkara duniawi.
2. Senantiasa hatinya terbiasa takut disertai dengan pendek angan-angan.
3. Mengetahui keutamaan shalat malam.
4. Ini adalah faktor pendorong yang paling mulia, yaitu
cinta karena Allah dan kuatnya iman bahwasanya dalam shalatnya tersebut
tidaklah dia berucap dengan satu huruf pun melainkan dia sedang
bermunajat kepada Rabbnya.
Ketiga: Ulama Salaf Dan Sifat Pemurah Dan Dermawan Ketika Menyambut Bulan Ramadhan
1. Dari Ibnu Abbas semoga Allah meridhai keduanya, dia berkata:
“Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang
yang paling pemurah dalam memberikan kebaikan, dan kepemurahan beliau
yang paling nampak adalah ketika Ramadhan. Sesungguhnya Jibril biasa
menjumpaihinya, dan Jibril ‘alaihis salam senantiasa menjumpai beliau
setiap malam bulan Ramadhan sampai selesai. Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam membacakan padanya Al Qur’an. Ketika berjumpa dengan Jibril’
alaihissalam, beliau sangat dermawan dengan kebaikan daripada angin yang
berhembus”. (Muttafaqun ‘Alaihi).
Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits tersebut menunjukkan
barakahnya beramal kebajikan dan sebagian amalan kebajikan itu akan
membuka dan membantu amalan kebajikan yang lain. Tidakkah kamu tahu
bahwa barakahnya puasa, perjumpaan (Nabi) dengan Jibril, dan
dibacakannya Al-Qur’an kepadanya dapat menambah kesungguhan Nabi
shallallahu ‘alaihi wasallam dalam beribadah dan bershadaqah sehingga
amalnya seperti lebih cepat daripada angin yang berhembus”.
Az-Zain bin Al-Munayyir berkata: “Yakni semua bentuk
kebaikan beliau, baik tatkala dalam kondisi fakir dan butuh maupun dalam
kondisi kaya dan berkecukupan merata lebih baik daripada meratanya air
hujan menimpa bumi yang dihembuskan angin”.
Ibnu Rajab berkata: Asy-Syafi’i –semoga Allah
meridhainya- berkata: “Yang paling dicintai bagi seseorang adalah
bertambah kedermawanannya pada bulan Ramadhan dalam rangka meneladani
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, karena kebutuhan manusia
didalamnya dan karena mereka tersibukkan dengan ibadah puasa dan shalat
dari pekerjaan mereka”.
- Ibnu ‘Umar –semoga Allah meridhai kedunya- dahulu
apabila berpuasa ia tidak berbuka kecuali bersama orang-orang miskin,
namun jika keluarganya menghalangi mereka darinya, maka ia tidak makan
pada malam itu. Jika ada seorang peminta datang kepada beliau dalam
keadaan beliau sedang makan, beliau mengambil bagiannya dan memberikan
kepada si peminta tersebut, beliau pun kembali dan keluarganya telah
memakan apa yang tersisa di mangkuk tempat makanan. Maka beliau berpuasa
pada pagi harinya dan tidak memakan sesuatu apapun.
- Yunus bin Yazid berkata: “Dahulu Al-Imam Ibnu Syihab
–semoga Allah merahmatinya- jika memasuki bulan Ramadhan, beliau isi
bulan tersebut dengan membaca Al-Quran dan memberi makan”.
- Hammad bin Abi Salamah -semoga Allah merahmatinya-
dahulu biasa memberi jamuan berbuka pada bulan Ramadhan kepada lima
ratus orang dan setelah ‘idul fithri beliau memberi masing-masing mereka
lima ratus dirham.
Keempat: Sedikit Makan
- Ibrahim bin Abi Ayyub berkata: “Muhammad bin ‘Amr Al-Ghazy pada bulan Ramadhan dahulu makan hanya dua kali”.
- Abul ‘Abbas Hasyim bin Al-Qasim berkata: “Dahulu aku
pernah di sisi Al-Muhtadi pada sore hari di bulan Ramadhan, kemudian aku
berdiri untuk pergi, maka ia berkata: duduklah. Maka aku pun duduk,
kemudian ia mengimami shalat. Setelah itu ia meminta untuk dihidangkan
makanan, maka dihidangkanlah kepadanya satu nampan yang di dalamnya
terdapat roti dan tempat yang yang berisi garam, minyak, dan cuka.
Kemudian dia mengajakku untuk makan, maka aku pun makan layaknya orang
yang menunggu masakan yang lain. Maka ia bertanya: bukankah besok engkau
masih berpuasa? Aku menjawab: tentu. ia berkata: makanlah dan cukupkan
karena tidak ada makanan yang lain selain apa yang kamu lihat ini”.
Kelima: Menjaga Lisan, Sedikit Bicara, Menjaga Diri Dari Dusta
Dari Abu Hurairah –semoga Allah meridhainya- ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (artinya).
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan haram dan
perbuatan haram, maka Allah tidak butuh kepada jerih payahnya di saat
meninggalkan makan dan minumnya”. (HR. Al-Bukhari).
Al-Muhallab berkata: “Dalam hadits tersebut terdapat
dalil bahwa hukum puasa itu adalah menahan diri dari perbuatan keji dan
perkataan dusta sebagaimana dia menahan diri dari makan dan minum.
Barangsiapa yang tidak menahan dirinya dari hal-hal tersebut, maka hal
itu akan mengurangi nilai puasanya, menyebabkan murka Allah dan tidak
diterimanya puasa dia”.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: (artinya)
“Jika pada suatu hari salah seorang dari kalian
berpuasa, maka janganlah berbuat keji ataupun bertindak jahil, jika ada
seseorang yang mencelanya atau memusuhinya, maka katakanlah: “aku sedang
berpuasa, aku sedang berpuasa”. (HR. Muslim).
- Al-Maziri berkata -menjelaskan kalimat- “aku sedang
berpuasa”: “mungkin juga yang dimaksud dengannya adalah ia mengajak
bicara kepada dirinya sendiri dalam rangka memperingatkan dari perbuatan
mencela ataupun bermusuhan”.
- Umar bin Al-Khaththab semoga Allah meridhainya
berkata: “Bukanlah puasa itu sebatas menahan diri dari makan dan minum
saja, akan tetapi menahan diri dari perkataan dusta, perbuatan bathil,
sia-sia, serta sumpah yang tidak ada gunanya”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
- Dari ‘Ali bin Abi Thalib –semoga Allah meridhainya-
dia berkata: “Sesungguhnya puasa itu tidaklah sebatas menahan diri dari
makan dan minum saja, akan tetapi puasa itu menahan diri dari perkataan
dusta, perbuatan batil dan sia-sia”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
- Dari Thalq bin Qais semoga Allah meridhainya- ia
berkata: “Jika kamu berpuasa, maka jagalah semampumu”. Apabila berpuasa,
dia masuk rumahnya dan tidak pernah keluar kecuali untuk mengerjakan
shalat”. (HR. Ibnu Abi Syaibah).
- Dari Jabir bin semoga Allah meridhai keduanya- ia
berkata: “Jika kamu berpuasa, maka jagalah pendengaran, penglihatan, dan
lisanmu dari berdusta dan jagalah dirimu dari perbuatan dosa, jangan
menyakiti pembantu, wajib atas kamu bersikap tenang pada saat kamu
berpuasa, jangan kamu jadikan hari berbukamu dengan hari berpuasamu
sama”. (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Kitab Ash-Shiyam, Bab Perkara yang
diperintahkan kepada orang yang berpuasa berupa sedikit bicara dan
menjaga diri dari berdusta’, II/422).
- Dari ‘Atha’ –semoga Allah merahmatinya- ia berkata,
Aku mendengar Abu Hurairah berkata: “Jika kamu berpuasa, maka janganlah
berbuat jahil, dan jangan mencaci maki. Jika kamu diperlakukan jahil,
maka katakanlah “aku sedang berpuasa”. (HR. Abdurrazzaq dalam Al
Mushannaf).
- Dari Mujahid, ia berkata: “ada dua perangai yang
barangsiapa menjaga diri darinya, maka puasanya akan selamat, yaitu
ghibah dan berdusta. (HR. Ibnu Abi Syaibah)
- Dari Abul ‘Aliyah, ia berkata: “Orang yang puasa
senantiasa dalam ibadah selama ia tidak berbuat ghibah”. (HR. Ibnu Abi
Syaibah).
Keenam: Keadaan Salaf Terkait Dengan Waktu
Al-Hasan Al-Bashri -semoga Allah merahmatinya- ia
berkata: “Wahai anak Adam! Sesungguhnya kamu adalah (seperti) hari-hari,
jika satu hari telah pergi, maka telah hilanglah sebagian dari dirimu”.
- Al-Hasan Al-Bashri –semoga Allah merahmatinya- ia
berkata: “Wahai anak Adam! Waktu siangmu adalah tamumu, maka berbuat
baiklah kepadanya, karena apabila kamu berbuat baik kepadanya, dia akan
pergi dengan memujimu, dan apabila kamu berbuat jelek padanya, maka dia
akan pergi dengan mencelamu, demikian juga waktu malammu”.
- Al-Hasan Al-Bashri –semoga Allah merahmatinya- juga
mengatakan: “Dunia itu ada tiga hari: Adapun kemarin, maka dia telah
pergi dengan amalan-amalan yang kamu kerjakan didalamnya, adapun besok,
mungkin saja kamu tidak akan menjumpainya lagi, dan adapun hari ini,
maka untukmu, beramallah pada saat itu”.
- Ibnu Mas’ud –semoga Allah meridhainya- berkata:
“Tidaklah aku menyesal terhadap sesuatu sebagaimana menyesalku terhadap
suatu hari yang matahari telah tenggelam, yang dapat mengurangi umurku
padahal amalanku tidak bertambah pada hari itu”.
- Ibnul Qayyim –semoga Allah merahmatinya- ia berkata:
“Menyia-nyiakan waktu itu lebih jelek dari pada kematian, karena
menyia-nyiakan waktu itu memutuskan kamu dari Allah dan negeri akhirat,
sementara kematian itu memutuskan kamu dari dunia dan penghuninya”.
- As-Suri bin Al-Muflis –semoga Allah merahmatinya- ia
berkata: “Jika kamu sedih karena hartamu berkurang, maka menangislah
karena berkurangnya umurmu”.
Penutup
Kita memohon kepada Allah agar memberikan kekuatan dan
kemudahan dalam beramal shalih selama Ramadhan, baik lahir maupun batin
dan agar Allah menerima amalan-amaln kita, puasa kita, shalat malam
kita, dan mudah-mudahan Allah membebaskan kita dari neraka-Nya, orang
tua kita, kerabat kita dan semua kaum muslimin, baik yang masih hidup
atau yang sudah meninggal, yang berada diatas tauhid yang benar,
sehingga kita menjadi hamba-hambanya yang beruntung, baik di dunia
maupun akhirat. Aamiin
Alih bahasa:Al faqiir ilaa ‘afwi Rabbih
Hamidin As-Sidawy, Abu Harits
Makkah al Mukarramah, 17 Ramadhan 1434 H
________________________________________
Risalah ini diterjemahkan dan diringkas dari tiga kutaib dengan judul yang sama, yaitu:
1. Haalus Salaf Fi Ramadhan karya Syeikh Ahmad bin Muhammad al-hawas.
2. Buletin Qism Ilmy, di Dar Al-Wathan.
3.makalah dari website multaqo ahlil hadits dengan tambahan dan pengurangan.
Sumber : http://cahayaummulquro.com
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?