Sejarah Perjuangan Islam selalu sama
dalam setiap pertempuran. Selalu ada orang-orang munafik penjilat
Kolonisasi Barat terhadap penduduk pribumi. Dengan metode adu domba,
dimana-mana dan sampai hari ini, mereka masih menggunakan metode yang
sama, dan anehnya, masih ada juga manusia-manusia yang tamak dan jadi
pengkhianat alias kaum munafik dan kita bisa saksikan detik ini,
bagaimana mereka menjadi boneka dari negara penjajah, Amerika dan
Israel. Sejarah Pangeran Diponegoro juga tidak jauh berbeda. Berikut
kisah Beliau, MUJAHIDIN PANGERAN DIPONEGORO
Pangeran Dipanegara atau juga
sering dieja dengan Diponegoro, lahir di Yogyakarta, 11 November 1785 –
meninggal di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada umur 69
tahun. merupakan salah seorang pahlawan nasional Republik Indonesia.
Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro/Perang
Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia-Belanda. Perang tersebut
tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah
Indonesia yang pernah ada.
Riwayat perjuangan Diponegoro
Setelah kekalahannya dalam Peperangan
era Napoleon di Eropa, pemerintah Belanda yang berada dalam kesulitan
ekonomi berusaha menutup kekosongan kas mereka dengan memberlakukan
berbagai pajak di wilayah jajahannya, termasuk di Hindia Belanda. Selain
itu, mereka juga melakukan monopoli usaha dan perdagangan untuk
memaksimalkan keuntungan. Pajak-pajak dan praktek monopoli tersebut amat
mencekik rakyat Indonesia yang ketika itu sudah sangat menderita.Banyak
hasil bumi diambil oleh Belanda.
Untuk semakin memperkuat kekuasaan dan
perekonomiannya, Penjajah Belanda mulai berusaha menguasai
kerajaan-kerajaan lain di Nusantara, salah satu di antaranya adalah
Kerajaan Yogyakarta. Ketika Sultan Hamengku Buwono IV wafat,
kemenakannya, Sultan Hamengku Buwono V yang baru berusia 3 tahun,
diangkat menjadi penguasa. Akan tetapi pada prakteknya, pemerintahan
kerajaan dilaksanakan oleh Patih Danuredjo Munafik & Penjilat,
seseorang yang mudah dipengaruhi dan tunduk kepada Belanda. Belanda
dianggap mengangkat seseorang yang tidak sesuai dengan pilihan/adat
keraton.
Perang Diponegoro berawal ketika pihak
Belanda memasang patok di tanah milik Dipanegara di desa Tegalrejo. Saat
itu, beliau memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak
menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat
dengan pembebanan pajak.
Sikap Dipanegara yang menentang
Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran
Pangeran Mangkubumi, pamannya, Dipanegara menyingkir dari Tegalrejo,
dan membuat markas di sebuah goa yang bernama Goa Selarong. Saat itu,
Dipanegara menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabilillah,
perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang
dikobarkan Dipanegara membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan
dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja,
ikut bergabung dengan pasukan Dipanegara di Goa Selarong. Perjuangan
Pangeran Dipanegara ini didukung oleh S.I.S.K.S. Pakubuwono VI dan Raden
Tumenggung Prawirodigdaya Bupati Gagatan.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden.
Berbagai cara terus diupayakan Belanda
untuk menangkap Dipanegara. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah
50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap
Dipanegara. Sampai akhirnya Dipanegara ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro
Pertempuran terbuka dengan pengerahan
pasukan-pasukan infantri, kavaleri dan artileri —yang sejak perang
Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal— di kedua
belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di
puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung
sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan
Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut
kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur
logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong
keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan
dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara
peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari
dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi
perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu,
kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan
strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi
selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari
sekali untuk bekerjasama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan.
Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan usaha usaha
untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras
membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri,
dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan
kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan
senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan
mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut,
memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan
pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang dibawah komando pangeran
Dipanegara. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap
berjuang melawan Belanda.
Belanda yang mempunyai alasan untuk
menangkap Pangeran Diponegoro karena dinilai telah memberontak atau
exstrimis, dalam bahasa sekarang adalah “TERORIS”,
pada 20 Juli 1825 mengepung kediaman beliau. Terdesak, Pangeran beserta
keluarga dan pasukannya menyelamatkan diri menuju barat hingga Desa
Dekso di Kabupaten Kulonprogo, dan meneruskan ke arah selatan hingga
tiba di Goa Selarong yang terletak lima kilometer arah barat dari Kota
Bantul. Sementara itu, Belanda —yang tidak berhasil menangkap Pangeran
Diponegoro— membakar habis kediaman Pangeran.
Pangeran Diponegoro kemudian menjadikan
Goa Selarong, sebuah goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari
Pajangan Bantul, sebagai basisnya. Pangeran menempati goa sebelah Barat
yang disebut Goa Kakung, yang juga menjadi tempat pertapaan beliau.
Sedangkan Raden Ayu Retnaningsih (selir yang paling setia menemani
Pangeran setelah dua istrinya wafat) dan pengiringnya menempati Goa
Putri di sebelah Timur.
Setelah penyerangan itu, dimulailah
sebuah perang besar yang akan berlangsung 5 tahun lamanya. Di bawah
kepemimpinan Diponegoro, rakyat pribumi bersatu dalam semangat “Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati“; sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati.
Selama perang, sebanyak 15 dari 19 pangeran bergabung
dengan Diponegoro. Perjuangan Diponegoro dibantu Kyai Maja yang juga
menjadi pemimpin spiritual pemberontakan. Dalam perang jawa ini Pangeran
Diponegoro juga berkoordinasi dengan I.S.K.S. Pakubowono VI serta Raden
Tumenggung Prawirodigdoyo Bupati Gagatan.
Pada puncak peperangan, Belanda
mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah
terjadi ketika itu dimana suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti
Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu.
Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua
metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang
terbuka (open warfare), maupun metoda perang gerilya (geurilia warfare)
yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. ini bukan
sebuah tribal war atau perang suku. Tapi suatu perang modern yang
memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktekkan.
perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat syaraf (psy-war)
melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda
terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan
telik sandi (spionase) dimana kedua belah pihak saling memata-matai dan
mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan
penyerangan terhadap Dipanegara dengan menggunakan sistem benteng
sehingga Pasukan Dipanegara terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja,
pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran
Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada
Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil
menjepit pasukan Dipanegara di Magelang. Di sana, Pangeran Dipanegara
menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota
laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Dipanegara ditangkap dan diasingkan
ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng
Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan
oleh para putera Pangeran Diponegoro. Pangeran Alip atau Ki Sodewo atau
bagus Singlon, Diponingrat, diponegoro Anom, Pangeran Joned terus
melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat Putera
Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh
dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewo.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan
akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban
dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa,
dan kaum munafik pribumi 7.000 orang , dan 200.000 orang Jawa. Sehingga
setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya.
Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Dipanegara dianggap
pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk
ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi
keturunan Dipanegara, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang
dipunyai Dipanegara kala itu. Kini anak cucu Dipanegara dapat bebas
masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa
takut akan diusir.
Asal-usul Dipanegara/Diponegoro
Dipanegara adalah putra sulung
Hamengkubuwono III, seorang raja Mataram di Yogyakarta. Lahir pada
tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang
selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri non
permaisuri) yang berasal dari Pacitan. Pangeran Dipanegara bernama
kecil Raden Mas Antawirya.
Menyadari kedudukannya sebagai putra
seorang selir, Dipanegara menolak keinginan ayahnya, Sultan
Hamengkubuwono III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak
mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Dipanegara setidaknya menikah
dengan 8 wanita dalam hidupnya, yaitu:
- B.R.A. Retno Madubrongto puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;
- R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
- R.A. Retnodewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
- R.Ay. Citrowati, puteri Raden Tumenggung Ronggo Parwirosentiko dengan salah satu isteri selir;
- R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretno (putri HB II), jadi R.A Maduretno saudara seayah dengan Sentot Prawirodirjo, tetapi lain ibu;
- R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumoprawiro, bupati Jipang Kepadhangan;
- R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
- R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
Dipanegara lebih tertarik pada kehidupan
keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo
tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng
Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai
sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Dipanegara menjadi
salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru
berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih
Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak
disetujui Dipanegara.
Sumber : Pangeran Diponegoro
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?