Pengantar Sejarah Alam Minangkabau
Prasati Batu Batikam; eksistensi Kerajaan Minangkabau di zaman Neoliticum (zaman batu baru)
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu datang ke
Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan lama seperti
Megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.
A. LINTASAN SEJARAH MINANGKABAU
A.1. Pengantar
Untuk menelusuri kapan gerangan nenek moyang orang Minangkabau itu
datang ke Minangkabau, rasanya perlu dibicarakan mengenai peninggalan
lama seperti megalit yang terdapat di Kabupaten Lima Puluh Kota dan
tempat-tempat lain di Minangkabau yang telah berusia ribuan tahun.
Di Kabupaten Lima Puluh Kota peninggalan megalit ini terdapat di Nagari Durian Tinggi, Guguk, Tiakar, Suliki Gunung Emas,
Harau, Kapur IX, Pangkalan, Koto Baru,
Mahat, Koto Gadan, Ranah, Sopan Gadang, Koto Tinggi, Ampang Gadang.
Seperti umumnya kebudayaan megalit lainnya berawal dari zaman batu
tua dan berkembang sampai ke zaman perunggu. Kebudayaan megalit
merupakan cabang
Kebudayaan Dongsong. Megalit seperti
yang terdapat disana juga tersebar ke arah timur, juga terdapat di
Nagari Aur Duri di Riau. Semenanjung Melayu,
Birma
dan Yunan. Jalan kebudayaan yang ditempuh oleh kebudayaan Dongsong.
Dengan perkataan lain dapat dikatakan bahwa kebudayaan megalit di
Kabupaten Lima Puluh Kota sezaman dengan kebudayaan Dongsong dan
didukung oleh suku bangsa yang sama pula.
Menurut para ahli bahwa pendukung kebudayaan Dongsong adalah
bangsaAustronesia yang dahulu bermukim di daerah Yunan, Cina Selatan. Mereka datang ke
Nusantara dalam dua gelombang. Gelombang pertama pada
Zaman Batu Baru(
Neolitikum)
yang diperkirakan pada tahun 2000 sebelum masehi. Gelombang kedua
datang kira-kira pada tahun 500 SM, dan mereka inilah yang diperkirakan
menjadi nenek moyang bangsa Indonesia sekarang.
Bangsa
Austronesia yang datang pada gelombang pertama ke
nusantara ini disebut oleh para ahli dengan bangsa Proto Melayu (Melayu
Tua), yang sekarang berkembang menjadi suku bangsa Barak,
Toraja, Dayak, Nias, Mentawai dan lain-lain. Mereka yang datang pada gelombang kedua disebut
Deutero Melayu (Melayu Muda) yang berkembang menjadi suku bangsa Minangkabau, Jawa,
Makasar, Bugis dan lain-lain.
Dari keterangan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa nenek moyang
orang Minangkabau adalah bangsa melayu muda dengan kebudayaan megalit
yang mulai tersebar di Minangkabau kira-kira tahun 500 SM sampai abad
pertama sebelum masehi yang dikatakan oleh
Dr. Bernet Bronson.
Jika pendapat ini kita hubungkan dengan apa yang diceritakan oleh Tambo
mengenai asal-usul orang Minangkabau kemungkinan cerita Tambo itu ada
juga kebenarannya.
Menurut sejarah,
Iskandar Zulkarnain Yang Agung menjadi raja
Macedonia
antara tahun 336-323 s.m. Dia seorang raja yang sangat besar dalam
sejarah dunia. Sejarahnya merupakan sejarah yang penuh dengan penaklukan
daerah timur dan barat yang tiada taranya. Dia berkeinginan untuk
menggabungkan kebudayaan barat dengan kebudayaan timur.
Tokoh Iskandar Zulkarnain dalam
Tambo Minangkabau secara historis tidak dapat diterima kebenarannya, karena dia memang tidak pernah sampai ke Minangkabau. Di samping di dalam
sejarah Melayu,
Hikayat Aceh dan Bustanul Salatin, Tokoh Iskandar Zulkarnain ini juga
disebut-sebut, tetapi secara historis tetap saja merupakan seorang tokoh
legendaris.
Sebaliknya tokoh
Maharajo Dirajo yang dikatakan oleh
Tambo
sebagai salah seorang anak Iskandar Zulkarnain, kemungkinan merupakan
salah seorang Panglima Iskandar Zulkarnain yang ditugaskan menguasai
pulau emas (Sumatera), termasuk di dalamnya daerah Minangkabau. Dialah
yang kemudian menurunkan para penguasa di Minangkabau, jika kita
tafsirkan apa yang dikatakan Tambo berikutnya. Sayangnya Tambo tidak
pernah menyebutkan tentang kapan peristiwa itu terjadi selain ”
pada masa dahulunya” yang mempunyai banyak sekali penafsirannya.
Tambo juga mengatakan bahwa nenek moyang orang Minangkabau dari puncak
Gunung Merapi.
Hal ini tidak dapat diartikan seperti yang dikatakan itu, tetapi
seperti kebiasaan orang Minangkabau sendiri harus dicari tafsirannya,
karena orang Minangkabau selalu mengatakan sesuatu melalui kata-kata
kiasan, ”tidak tembak langsung”.
Tafsirannya kira-kira sebagai berikut:
Sewaktu Maharajo Dirajo sedang berlayar menuju pulau
emas dalam mengemban tugas yang diberikan oleh Iskandar Zulkarnain, pada
suatu saat dia melihat daratan yang sangat kecil karena masih sangat
jauh. Setelah sampai ke daratan tersebut ternyata sebuah gunung, yaitu
gunung merapi yang sangat besar.
Tetapi oleh pewaris Tambo kemudian gunung Merapi sangat kecil yang
mula-mula kelihatan itulah yang dikatakan sebagai tanah asal orang
Minangkabau. Selanjutnya cerita Tambo yang demikian, juga masih ada
sampai sekarang pada zaman kita ini.
Ada baiknya kita kutip apa yang dikatakan Tambo itu sebagai yang dikatakan oleh
Sang Guno Dirajo:
”…Dek lamo bakalamoan, nampaklah gosong dari lauik, yang sagadang talua itiak, sadang dilamun-lamun ombak…”
(sesudah lama berlayar akhirnya kelihatanlah pulau yang sangat kecil
kira-kira sebesar telur itik yang kelihatan hanya timbul tenggelam
sesuai denga turun naiknya ombak).
Selanjutnya dikatakan:
”…Dek lamo – bakalamoan aia lauik basentak
turun, nan gosong lah basentak naiak, kok dareklah sarupo paco, namun
kaba nan bak kian, lorong kapado niniak kito, lah mendarek maso itu, iyo
dipuncak gunuang marapi…”
(karena sudah lama berlayar dan pasang sudah mulai surut, gosong yang
kecil tadi makin besar, daratan yang kelihatan itu tak obahnya seperti
perca, maka dinamakanlah daratan itu dengan pulau perca yang akhirnya
didarati oleh nenek moyang kita yang mendarat kira-kira di gunung
merapi).
Peristiwa inilah yang digambarkan oleh mamangan adat Minangkabau berbunyi;
“dari mano titiak palito,
dari telong nan barapi,
dari mano asal niniak kito,
dari puncah gunuang marapi”
(dari mana titik pelita dari telong yang berapi, dari mana datang nenek kita, dari puncak gunung merapi).
Mamangan adat ini sampai sekarang masih dipercaya oleh sebagian besar masyarakat Minangkabau..
Bagi kita yang menarik dari cerita Tambo ini bukanlah mengenai arti
kata-katanya melainkan adalah cerita itu memberikan indikasi kepada kita
tentang nenek moyang orang Minangkabau asalnya datang dari laut,
(dengan berlayar) yang waktunya sangat lama. Kedatangan nenek moyang
inilah yang dapat disamakan dengan masuknya nenek moyang orang
Minangkabau.
Dengan demikian masuknya nenek moyang orang Minangkabau dapat
diperkirakan waktu kedatangannya: yaitu antara abad kelima sebelum
masehi dengan abad pertama sebelum masehi, sesuai dengan umur kebudayaan
megalit itu sendiri.
Kembali kepada permasalahan pokok pada bagian ini, maka menurut
Soekomo, tradisi Megalit pada mulanya merupakan batu yang dipergunakan
sebagai lambang untuk memperingati seorang kepala suku. Sesudah kepala
suku itu meninggal, akhirnya peringatan itu berubah menjadi penghormatan
yang lambat laun menjadi tanda pemujaan kepada arwah nenek moyang.
Bagaimana dengan megalit yang terdapat di Minangkabau? Barangkali
fungsi pemujaan terhadap arwah nenek moyang masih tetap berlanjut,
seperti Menhir lainnya di Indonesia. Tetapi jika kita hubungkan
Menhir itu dengan kehidupan orang Minangkabau yang berkaitan dengan
Medan Nan Bapaneh,
yaitu tempat duduk bermusyawarah dalam masyarakat Minangkabau sudah
mulai berkembang pada zaman pra sejarah, khususnya di zaman
berkembangnya tradisi menhir di Minangkabau dan keadaan ini sudah
berlangsung semenjak sebelum abad masehi.
Dari peninggalan menhir dan keterangan-keterangan yang diberikan oleh
pemuka masyarakat sekarang di tempat-tempat menhir itu terdapat seperti
di Sungai Belantik, Andieng, Kubang Tungkek, Tiakat, Padang Japang,
Limbanang, Talang Anau, Padang Kandih, Balubus, Koto Tangah,
Simalanggang, Taeh Baruh, Talago, Ampang Gadang seperti yang dikatakan
oleh Yuwono Sudibyo, sebagai berikut:
”Bahwa ketika sekelompok nenek moyang telah
menemukan tempat bermukim, yang pertama-tama ditetapkan atau dicari
adalah suatu lokasi yang dinamakan gelanggang.
Di gelanggang ini dilakukan upacara, yaitu semacam upacara selamatan
untuk menghormati kepala suku atau pemimpin rombongan yang telah membawa
mereka ke suatu tempat bermukim.
Sebagai tanda upacara didirikanlah Batu Tagak yang kemudian kita
kenal sebagai menhir. Batu Tagak ini kemudian berubah fungsi, sebahagian
menjadi tanda penghormatan kepada arwah nenek moyang dan sebahagian
tempat bermusyawarah yang kemudian kita kenal dengan nama
Medan nan Bapaneh”.
Karena sudah ada kehidupan bermusyawarah, sudah barang tentu pula
masyarakat sudah hidup menetap dengan berburu dan pertanian sebagai mata
pencaharian yang utama.
Hal ini sesuai pula dengan kehidupan para pendukung kebudayaan
Dongsong yang sudah menetap. Jika sekiranya peninggalan-peninggalan pra
sejarah Minangkabau sudah diteliti dengan digali lebih lanjut,
barangkali akan ditemui peninggalan-peninggalan yang mendukung kehidupan
berburu dan bertani tersebut.
Diwaktu itu sudah dapat diperkirakan bahwa antara Adat Nan Sabana
Adat sudah hidup di tengah-tengah masyarakat Minangkabau, mengingat akan
ajaran adat Minangkabau itu sendiri, yaitu
Alam Takambang jadikan guru.
Sedangkan
Adat Nan Sabana Adat berisi tentang hukum-hukum alam yang tidak berubah dari dahulu sampai sekarang seperti dikatakan:
Adat api mambaka, adat aia mamabasahi, adat tajam malukoi, adat runciang mancucuak dan sebagainya
(Adat api membakar, adat air membasahi, adat tajam melukai, adat runcing mencucuk).
Demikian juga dengan
Adat Nan Diadatkan sudah ada waktu itu,
yaitu sebagai hukum yang berlaku dalam masyarakat. Barangkali di zaman
inilah berlakunya apa yang dikenal dengan hukum adat yang bersifat zalim
dan tidak boleh dibantah yaitu hukum adat yang bernama
“Simumbang Jatuah” (simumbang jatuh), mumbang kalau jatuh tidak dapat dikembalikan ke tempatnya lagi.
Selanjutnya juga ada hukum yang bernama
“si gamak-gamak”, yaitu suatu aturan yang tidak dipikirkan masak-masak. Disamping itu juga terdapat hukum yang dinamakan
“Si lamo-lamo” yaitu siapa kuat siapa di atas persis seperti hukum rimba.
Barangkali hukum yang dinamakan
“Hukum Tariak Baleh” juga
berlaku di zaman ini. Hukum Tariak Baleh hampir sama dengan hukum Kisas
dalam agama Islam, misalnya orang yang membunuh harus di hukum bunuh
pula.
Keempat macam hukum adat itu memang sesuai dengan zamannya dimana
belum terlalu banyak pertimbangan terhadap suatu yang dihadapi dalam
kehidupan. Sampai kapan berlakunya hukum ini mungkin berlangsung sampai
masuknya agama Islam pertama ke Minangkabau kira-kira abad ketujuh.
Zaman Purba Minangkabau berakhir dengan masuknya Islam ke Minangkabau,yaitu
kira-kira abad ketujuh, dimana buat pertama kali di Sumatera Barat
sudah didapati kelompok masyarakat Arab tahun 674M. Kelompok masyarakat
Arab ini sudah menganut agama Islam, bagaimanapun rendahnya pendidikan
waktu itu, tentu sudah pandai tulis baca, karena ajaran Islam harus
diperoleh dari Qur’an dan Hadist Nabi yang semuanya sudah dituliskan
dalam bahasa Arab. Dengan demikian diakhir bahagian ketiga abad ketujuh
itu zaman purba Minangkabau sudah berakhir.
A.2. Zaman Mula Sejarah Minangkabau
Yang dimaksud dengan zaman mula sejarah Minangkabau ialah zaman yang
meliputi kurun waktu antara abad pertama Masehi dengan abad ketujuh.
Dalam masa tersebut masa pra Sejarah masih berlanjut, tetapi masa itu
dilengkapi dengan adanya berita-berita tertulis tertua mengenai
Minangkabau seperti istilah
San-Fo Tsi dari berita Cina yang dapat dibaca sebagai
Tambesi yang terdapat di Jambi. Di daerah Indonesia lainnya juga sudah terdapat berita atau tulisan seperti kerajaan
Mulawarman di
Kutai Kalimantan dan Tarumanegara di Jawa Barat.
Namun dari berita-berita itu belum banyak yang dapat kita ambil
sebagai bahan untuk menyusun sebuah ceritera sejarah, karena memang
masih sangat sedikit sekali dan masing-masingnya seakan-akan berdiri
sendiri tanpa ada hubungan sama sekali.
Untuk zaman ini Soekomono memberikan nama zaman Proto Sejarah Indonesia, yaitu peralihan dari zaman Prasejarah ke zaman sejarah.
Berita dari Tambo dan ceritera rakyat Minangkabau hanya mengemukakan
secara samar mengenai hal ini, yaitu hanya menyebutkan tentang kehidupan
orang Minangkabau zaman dahulu. Dalam hal ini Tambo mengemukakan
sebagai berikut:
”…tak kalo maso dahulu…”…(Diwaktu zaman
dahulu),. ”…dari tahun musim baganti, dek zaman tuka – batuka, dek lamo
maso nan talampau, tahun jo musim nan balansuang…”
(Karena tahun musim berganti, karena zaman bertukar-tukar, karena masa yang telah lewat, tahun dengan musim yang berlangsung),
”… Antah barapo kalamonyo…”
(entah berapa lamanya),
Dari ungkapan waktu yang demikian memang sulit sekali menentukan kapan terjadinya.
Pengertian zaman dahulu itu saja sudah mengandung banyak kemungkinan tafsiran dan sangat relatif.
Barangkali kehidupan zaman mula sejarah Minangkabau ini hampir sama
dengan kehidupan pada zaman Pra sejarahnya, hanya saja di akhir zaman
mula sejarah ini agama Islam sudah masuk ke Minangkabau dan sudah ada
berita-berita dari Cina. Dapat dikatakan, bahwa cerita sejarah untuk
zaman mula sejarah Minangkabau ini sangat sedikit sekali, bahkan dapat
dikatakan merupakan zaman yang paling gelap dalam sejarah Minangkabau.
Demikian gelapnya untuk menghubungkan zaman Pra Sejarah dengan zaman
sejarahnya kita tidak mempunyai sumber sama sekali, bukan lagi kabur,
tetapi sudah gelap gulita.
A.3. Zaman Minangkabau Timur
Istilah ini dipinjam dari istilah yang dikemukakan oleh
Drs. M. D. Mansoer dkk, dalam bukunya,
Sejarah Minangkabau, dikatakannya Minangkabau mengalami dua periode, yaitu periode
Minangkabau Timur yang berlangsung antara abad ketujuh sampai kira-kira tahun 1350 dan periode
Minangkabau Pagaruyung antara tahun 1347-1809.
Dikatakannya, bahwa kerajaan-kerajaan lama, pusat perdagangan lada,
pusat perekonomian, politik dan budaya yang pertama timbul dan
berkembang di Minangkabau adalah di lembah aliran Batang Hari dan Sungai
Dareh. Daerah itu berkembang pada abad ke-7 sampai pertengahan abad
ke-14.
Secara geografis memang pantai timur pulau Sumatera lebih
memungkinkan untuk dilayari oleh kapal-kapal dagang yang dapat berlayar
sampai masuk jauh kepedalaman. Daerah pantai Sumatera Timur ini pulalah
yangdahulu didatangi oleh nenek moyang orang Minangkabau yang berlayar
sampai ke daerah Mahat di Kabupaten Lima Puluh Kota sebelah Utara.
Pedagang-pedagang Islam yang mula-mula ke Minangkabau juga melalui
daerah ini, sehingga perdagangan diwaktu periode Minangkabau ini menjadi
sangat ramai sekali, bukan itu saja, Islam pertama pun masuk dari sini,
baik yang dibawa oleh pedagang-pedagang dari Arab sendiri, maupun yang
dibawa oleh pedagang-pedagang dari Persia, Hindustan, Cina, India dan
lain-lain.
Pada permulaan abad Masehi perpindahan bangsa-bangsa dari utara ke
selatan telah berakhir. Mereka telah menetap di sepanjang pantai
kepulauan Nusantara. Setelah mereka menempati kepulauan Nusantara dan
hidup secara terpisah, akhirnya karena lingkungan alam kehidupan bahasa
yang mereka pergunakan pun mengalami perubahan seperti yang kita kenal
sekarang dengan suku-suku bangsa Minangkabau, Jawa, Bugis, Madura,
Sunda, Bali dan lain-lain.
Pada zaman purbakala, di Asia terdapat dua jalan perdagangan yang
ramai antara Barat dan Timur, yaitu melalui darat dan laut, jalan yang
melalui darat disebut jalan Sutera, mulai dari daratan Cina melalui Asia
Tengah sampai ke Laut Tengah. Perhubungan darat ini sudah mulai
semenjak abad kelima sebelum Masehi.
Waktu dimulainya perpindahan bangsa Melayu Muda ke arah selatan.
Perhubungan darat ini terutama menghubungkan antara Cina dengan Benua
Eropah (Romawi) diwaktu itu dibawah raja Iskandar Zulkarnain dan
selanjutnya dengan menyinggahi daerah sepanjang perjalanan seperti
India, Persia dan lain-lain.
Perhubungan laut ialah dari Cina dan Indonesia melalui selat Malaka
terus ke Teluk Persia dan Laut Tengah. Perhubungan laut ini menjadi
sangat ramai pada awal abad pertama Masehi, karena jalan darat mulai
tidak aman lagi. Sejak waktu itulah daerah-daerah di Pantai Timur
Sumatera dan Pantai Utara Jawa menjadi daerah perhubungan antara
perdagangan Arab, India dan Cina. Keadaan ini memungkinkan
pedagang-pedagang Indonesia, termasuk di dalamnya pedagang-pedagang
Minangkabau ikut aktif berdagang.
Dengan aktifnya pedagang-pedagang Minangkabau dalam perdagangan
dengan India, maka terbuka pulalah perhubungan antara kebudayaannya.
Dari sini dapat kita lihat masuknya pengaruh Hindu ke Minangkabau
melalui daerah pantai timur pulau Sumatera. Dalam abad kedua setelah
Indonesia mempunyai perhubungan dengan India dan selama enam abad
berturut-turut pengaruh Hindu di Indonesia besar sekali.
Jadi karena keadaan, pedagang-pedagang Minangkabau ikut terlibat
dalam kancah lalu lintas perdagangan yang ramai di Asia. Keadaan itu
pulalah yang menyebabkan Minangkabau di daerah aslinya sendiri yang jauh
terletak di pedalaman.
Karena selat Malaka sangat ramai dilalui oleh kapal-kapal dagang dari
Cina dan India maka salah satu bandar diselat itu bertumbuh dengan
pesatnya sehingga akhirnya umbuh menjadi kerajaan Melayu. Kerajaan
Melayu ini menurut para ahli berpusat di daerah Jambi yang sekarang dan
diperkirakan berdirinya pada awal abad ketujuh Masehi.
Nama Melayu pertama kalinya muncul dalam cerita Cina. Dalam buku
Tseh Fu-ji Kwei
diterangkan bahwa pada tahun 664 dan 665 kerajaan Melayu mengirimkan
utusan kenegeri Cina untuk mempersembahkan hasilnya pada raja Cina. Pada
waktu itu daerah Minangkabau merupakan daerah penghasil merica yang
utama di dunia.
Rupanya Minangkabau Timur tidak lama memegang peranan dalam
perdagangan di Selat Malaka, kareana sesudah muncul kerajaan Melayu dan
kemudian sesudah kerajaan Melayu jatuh di bawah kekuasaan
Sriwijaya, Minangkabau Timur menjadi bahagian dari kerajan Sriwijaya.
Dengan berdirinya kerajaan Melayu dan kerajaan Sriwijaya kelihatan
peranan Minangkabau Timur tidak ada lagi, karena berita-berita dari Cina
hanya ada menyebut tentang Melayu dan Sriwijaya saja.
Dalam satu buku yang disusun oleh
It-Tsing dapat
kita ketahui bahwa dalam tahun 690 Masehi, Sriwijaya meluaskan daerah
kekuasaannya dan kerajaan Melayu dapat ditaklukannya sebelum tahun 692
Masehi.
Kerajaan Sriwijaya merupakan salah satu kerajaan pantai, negara
perniagaan dan perdagangan internasional dari Asia Timur ke Asia Barat.
Selama lebih kurang enam abad kerajaan Sriwijaya merupakan kerajaan
utama di daerah nusantara waktu itu. Namun sementara itu di Jawa mulai
timbul kerajaan-kerajaan baru yang lama-kelamaan menjadi saingan utama
dari kerajaan Sriwijawa dalam merebut hegemoni perdagangan di wilayah
nusantara yang menyebabkan lemahnya Sriwijaya.
Dalam hal ini lawan kerajaan Sriwijaya yang utama adalah kerajaan
Kediri di Jawa Timur dan Kerajaan
Colamandala
di India selatan. Dari kelemahan Sriwijaya itu, rupanya kerajaan Melayu
dapat melepaskan diri dari Sriwijaya dan dapat memperkuat diri kembali
dengan memindahkan ibu kota kerajaan ke daerah hulu Sungai Batang Hari.
Kerajaannya dinamakan dengan Darmasraya. Hal ini dapat diketahui dari
prasasti Padang Candi tahun 1286 yang terdapat di Sungai Langsat Si Guntur dekat Sungai Dareh dalam Propinsi Sumatera Barat sekarang.
Pada tahun 1275,
Raja Kertanegara dari kerajaan
Singosari
(kerajaan yang menggantikan kekuasaan Kediri di Jawa Timur) mengirimkan
suatu ekspedisi militer ke Sumatera dalam rangka melemahkan kekuasaan
Sriwijaya dan memperluas pengaruhnya di Nusantara. Ekspedisi ini dikenal
dalam sejarah Indonesia dengan nama
ekspedisi Pamalayu.
Sebagai hasil dari ekspedisi itu, maka Kertanegara pada tahun 1286 mengirimkan
acara Amogapasa
ke Sumatera sebagai hadiah untuk raja dan rakyat kerajaan Melayu.
Dengan kejadian ini dapat diartikan, bahwa semenjak peristiwa itu
kerajaan Melayu sudah mengikuti kerajaan Singosari dan menjadi daerah
tumpuan untuk menghadapi kemungkinan serangan dari negeri Cina akibat
peristiwa penghinaan terhadap utusan Cina sebelumnya.
A.4. Maharajo Dirajo
Dalam hal ini timbul suatu kontradiksi keterangan-keterangan, yaitu nama
Maharajo Dirajo
sudah disebutkan sebelumnya sebagai salah seorang panglima Iskandar
Zulkarnain yang tugaskan menguasai Pulau Emas. Kalau memang demikian
keadaannya, lalu bagaimana dengan Maharajo Dirajo yang sedang kita
bicarakan ini yang waktunya sudah sangat jauh berbeda. Dalam hal ini
kita tidak dapat memberikan jawaban yang pasti.
Maharajo Dirajo yang sudah kita bicarakan hanya merupakan perkiraan
saja dan belum tentu benar. Tetapi berdasarkan logika berfikir kira-kira
diwaktu itulah hidupnya Maharajo Dirajo jika dihubungkan dengan nama
Iskandar Zulkarnain. Sedangkan Maharajo Dirajo yang sedang dibicarakan
sekarang ini adalah seperti yang dikatakan Tambo Alam Minangkabau yang
mana yang benar perlu penelitian lebih lanjut. Dalam kesempatan ini kita
hanya ingin memperlihatkan betapa rawannya penafsiran dari data yang
diberikan Tambo Alam Minangkabau.
Maharajo Dirajo yang sekarang dibicarakan adalah Maharajo Dirajo
seperti yang dikatakan Tambo. Dalam hal ini kita ingin mengangkat data
dari Tambo menjadi Fakta sejarah Minangkabau.
Dalam Tambo disebutkan bahwa Iskandar
Zulkarnain mempunyai tiga anak, yaitu Maharajo Alif, Maharajo Dipang,
dan Maharajo Dirajo. Maharajo Alif menjadi raja di Benua Ruhun (Romawi),
tetapi Josselin de Jong mengatakan, menjadi raja di Turki. Maharajo
Dipang menjadi raja di negeri Cina, sedangkan Maharajo Dirajo menjadi
raja di Pulau Emas (Sumatera).
Kalau kita melihat kalimat-kalimat Tambo sendiri, maka dikatakan sebagai berikut:
“…Tatkala maso dahulu, batigo rajo naiek
nobat, nan sorang Maharajo Alif, nan pai ka banua Ruhun, nan sorang
Maharajo Dipang nan pai ka Nagari Cino, nan sorang Maharajo Dirajo
manapek ka pulau ameh nan ko…” (pada masa dahulu kala, ada tiga orang
yang naik tahta kerajaan, seorang bernama Maharaja Alif yang pergi ke
negeri Ruhun, yang seorang Maharajo Dipang yang pergi ke negeri Cina,
dan seorang lagi bernama Maharajo Dirajo yang menepat ke pulau
Sumatera).
Dari keterangan Tambo itu tidak ada dikatakan angka tahunnya hanya
dengan istilah “Masa dahulu kala” itulah yang memberikan petunjuk kepada
kita bahwa kejadian itu sudah berlangsung sangat lama sekali, sedangkan
waktu yang mencakup zaman dahulu kala itu sangat banyak sekali dan
tidak ada kepastiannya. Kita hanya akan bertanya-tanya atau menduga-duga
dengan tidak akan mendapat jawaban yang pasti.
Di kerajaan Romawi atau Cina memang ada sejarah raja-raja yang besar,
tetapi raja mana yang dimaksudkan oleh Tambo tidak kita ketahui. Dalam
hal ini rupanya Tambo Alam Minangkabau tidak mementingkan angka tahun
selain dari mementingkan kebesaran kemasyuran nama-nama rajanya.
Percantuman raja Romawi dalam Tambo menurut hemat kita hanya usaha
dari pembuat Tambo untuk menyetarakan kemasyhuran raja Minangkabau
dengan nama raja di luar negeri yang memang sudah sangat terkenal di
seantero penjuru dunia.
Dengan mensejajarkan kedudukan raja-raja Minangkabau dengan raja yang
sangat terkenal itu maka pandangan rakyat Minangkabau terhadap rajanya
sendiri akan semakin tinggi pula. Disini kita bertemu dengan satu
kebiasaan dunia Timur untuk mendongengkan tuah kebesaran rajanya kepada
anak cucunya.
Gelar Maharajo Dirajo sendiri terlepas ada tidaknya raja tersebut,
menunjukan kebesaran kekuasaan rajanya, karena istilah itu berarti
penguasa sekalian raja-raja yang tunduk di bawah kekuasaannya.
Josselin de Jong mengatakan
Lord of the Word atau
Raja Dunia.
Dalam sejarah Indonesia gelar Maharaja Diraja tidak hanya menjadi
milik orang Minangkabau saja, melainkan juga ada raja lain yang bergelar
demikian seperti
Karta Negara dari
Singasari dengan gelar
Maharaja Diraja seperti yang tertulis pada
arca Amogapasa tahun 1286 sebagai atasan dari
Darmasraya yang bernama
raja Tribuana.
Tambo mengatakan bahwa Maharajo Dirajo adalah raja Minangkabau
pertama. Tetapi ada pendapat lain yang mengatakan bahwa Srimaharaja
Diraja yang disebut dalam tambo sebagai
raja Minangkabau yang pertama itu tidak lain dari
Adityawarman
sendiri yang menyebut dirinya dengan Maraja Diraja. Tentang
Adityawarman mempergunakan gelar Maharaja Diraja memang semua ahli sudah
sependapat, karena Adityawarman sendiri telah menulis demikian dalam
prasasti Pagaruyung.
Dari gelar Maharaja Diraja yang dipakai Adityawarman menunjukan
kepada kita bahwa sewaktu Adityawarman berkuasa di Minangkabau tidak ada
lagi kekuasaan lain yang ada di atasnya, atau dengan perkataan lain
dapat dikatakan pada waktu itu Minangkabau sudah berdiri sendiri, tidak
berada di bawah kekuasaan Majapahit atau sudah melepaskan diri dari
Majapahit. Kerajaan Majapahit adalah ahli waris dari Singasari.
Sedangkan Singasari pernah menundukkan melayu Darmasraya, tentu
berada di bawah kekuasaan Singasari – Majapahit itu, maka untuk
melepaskan diri dari Singasari – Majapahit itu Adiyawarman memindahkan
pusat kekuasaannya kepedalaman Minangkabau dan menyatakan tidak ada lagi
yang berkuasa di atasnya dengan memakai gelar Maharaja Diraja.
Ada sesuatu pertanyaan kecil yang perlu dijawab, yaitu apakah tidak
ada lagi kemungkinan bahwa gelar Maharajo Dirajo itu merupakan gelar
keturunan bagi raja-raja Minangkabau, sehingga diwaktu Adityawarman
menjadi raja di Minangkabau dia merasa perlu mempergunakan gelar
tersebut agar dihormati oleh rakyat Minangkabau.
Kalau memang demikian, maka kita akan dapat menghubungkannya dengan
Maharajo Dirajo yang kita bicarakan kehidupannya sebelum abad Masehi.
Tetapi hal ini kembali hanya berupa dugaan saja yang masih memerlukan
pembuktian lebih lanjut.
Kalau kita mengikuti pendapat yang mengatakan bahwa Maharaja Diraja
itu sama dengan Adityawarman, maka satu kepastian dapat dikatakan bahwa
kerajaan Minangkabau baru bermula pad tahun 1347, yaitu pada waktu
Adityawarman menjadi raja di Minangkabau yang berpusat di Pagaruyuang.
Logikanya tentu sebelum Adityawarman, belum ada raja di Minangkabau,
kalau ada baru merupakan daerah-daerahyang dikuasai oleh seorang kepala
suku saja.
Kalau pendapat itu tidak dapat diterima kebenarannya, maka tokoh
Maharajo Dirajo yang disebut di dalam Tambo itu masih tetap merupakan
seorang tokoh legendaris dalam sejarah Minangkabau dan hal ini akan
tetap mengundang bermacam-macam pertanyaan yang pro dan kontra.
Kemungkinan gelar Maharajo sudah dipergunakan sebelum kedatangan
Adityawarman memang ada. Tetapi apakah gelar itu merupakan gelar
keturunan dari raja-raja Minangkabau masih belum lagi dapat diketahui
dengan pasti. Yang jelas pada waktu sekarang ini, banyak gelar para
penghulu di Sumatera Barat yang memakai gelar Maharajo sebagai gelar
kepenghulunya disamping nama lainnya, seperti Dt. Maharajo, Dt. Marajo,
Dt. Maharajo Basa, Dt. Maharajo Dirajo.
Kelihatan gelar tersebut dipergunakan oleh masyarakat Minangkabau
sebagai gelar pusaka yang turun-menurun. Sebaliknya raja-raja Pagaruyung
sendiri tidak mempergunakan gelar tersebut sebagai pusaka kerajaannya.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa gelar Maharajo Dirajo tersebut merupakan
gelar pusaka Minangkabau dan sudah ada sebelum Adityawarman menjadi raja
di Pagaruyung. Barangkali memang gelar itu diturunkan dari Maharajo
dirajo seperti disebutkan dalam Tambo itu.
A.5. Suri Dirajo, Cati Bilang Pandai Dan Indo Jati
Ketiga nama ini hanya terdapat dalam Tambo atau kaba yang banyak
terdapat dalam masyarakat Sumatera Barat sekarang ini. Dari situlah
bersumbernya ketiga nama tersebut, sedangkan sumber-sumber sejarah
lainnya seperti prasasti dan tulisan lainnya tidak ada menyebut ketiga
nama tersebut. Namun, sama halnya dengan nama Iskandar Zulkarnaen rakyat
Sumatera Barat mempercayai ketiga nama tersebut sebagai cikal bakal
orang Minangkabau.
Menurut Tambo Zuriat Sultan Iskandar Zulkarnaen, sewaktu Maharajo
bertolak dari Tanah Basa, (India Selatan) memimpin satu rombongan yang
terdiri dari: Suri Dirajo, Indo Jati, Cati bilang Pandai, dan beberapa
rombongan dari Campa, Siam, Kambai dan lain-lain berlayar mengarungi
lautan Indonesia lalu menetap ke gunung Merapi. P. E. Josselin de Jong
juga menyebutkan nama
Cati Bilang Pandai sebagai penasehat dari Maharajo.
Perlu dijelaskan bahwa nama
Indo Jati sering
disebutkan dengan sebutan yang berbeda, walaupun orangnya itu juga.
Prof. Hamka menyebutkan dengan nama Indo Jelita atau dengan nama lain
Ceti Reno Sudah. PE Josselin de Jong menyebut dengan nama
Indo Calita.
Sedangkan untuk kedua nama yang lain tidak ada perbedaan sebutan. Sekarang timbul pertanyaan:
Apakah
ketiga nama itu betul-betul merupakan nenek moyang orang Minangkabau di
zaman dahulu dengan pengertian benar-benar ada dalam sejarah
Minangkabau?. Jawabannnya mudah saja, karena tidak ada bukti-bukti
lain yang akan mendukung, maka secara historis ketiga tokoh ini hanya
merupakan tokoh legendaris belaka dalam sejarah Minangkabau.
Keberadaannya sebagai tokoh sejarah tidak dapat dibuktikan.
Namun demikian, hampir semua Tambo Minangkabau sependapat
mengatakan bahwa Suri Dirajo dan Cati Bilang Pandai adalah tokoh yang
melambangkan orang pandai, ahli pikir, baik di bidang pemerintahan
maupun di bidang kemasyarakatan. Segala sesuatu yang dikerjakan,
terlebih dahulu harus mendapat persetujuan dari salah seorang kedua
tokoh itu, demikian besar pengaruhnya di samping Maharajo Dirajo
sendiri.
Sedangkan menurut Hamka, tokoh Indo Jati yang disebutnya sebagai Indra Jati melambangkan sesuatu yang luhur asal-usulnya.
Dalam kepercayaan
Hindu nama
Indra adalah nama seorang dewa yang merupakan salah seorang dewa utama
Trimurti.
Indra adalah salah satu penjelmaan Wisnu sebagai Dewa Matahari. Gelar
dewa jelas menunjukkan seorang kesatria yang berdarah luhur. Jadi tokoh
Indo Jati adalah salah seorang
tokoh wanita kesatria dari rombongan
Maharajo Dirajo.
A.6. Datuk Ketumanggungan Dan Datuk Perpatih Nan Sabatang
Siapa tokoh ini?. Apakah mereka juga merupakan dua orang legendaris
sejarah Minangkabau?. Atau apakah keduanya merupakan tokoh historis
sejarah Minangkabau yang benar-benar ada dan hidup dalam sejarah
Minangkabau pada masa dahulu. Penjelasan berikut ini dapat menjawab
beberapa pertanyaan itu.
Suku bangsa Minangkabau, dari dahulu hingga sekarang, mempercayai
dengan penuh keyakinan, bahwa kedua orang tokoh itu merupakan pendiri
Adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago yang sampai sekarang masih hidup
subur di dalam masyarakat Minangkabau, baik yang ada di Sumatera Barat
sendiri maupun yang ada diperantauan.
Demikian kokohnya sendi-sendi kedua adat itu sehingga tidak dapat
digoyahkan oleh bermacam-macam pengaruh dari luar, dengan pengertian
akan segera mengadakan reaksi membalik apabila terjadi perbenturan
terhadap unsur-unsur pokok adat itu. Hal ini telah dibuktikan oleh
perputaran masa terhadap kedua adat itu.
Ada petunjuk bagi kita bahwa kedua tokoh itu memang merupakan tokoh sejarah Minangkabau.
Pitono
mengambil kesimpulan bahwa dari bait kedua prasasti pada bagian
belakang arca Amogapasa, antara tokoh adat Datuk Perpatih Nan Sabatang
dengan tokoh Dewa Tuhan Perpatih yang tertulis pada arca itu adalah satu
tokoh yang sama.
Dijelaskan selanjutnya bahwa pada prasasti itu tokoh Dewa Tuhan
Perpatih sebagai salah seorang terkemuka dari raja Adityawarman yaitu
salah seorang menterinya. Jadi tokoh
Dewa Tuhan yang ada pada prasasti yang terdapat di
Padang Candi itu adalah sama dengan
Datuk Perpatih Nan Sabatang. Demikian kesimpulannya.
Kalau pendapat ini memang benar, maka dapat pula dibenarkan bahwa
tokoh Datuk Perpatih Nan Sabatang itu adalah merupakan salah seorang
tokoh historis dalam sejarah Minangkabau, karena namanya juga tertulis
pada salah satu prasasti sebagai peninggalan sejarah yang nyata-nyata
ada.
Bukti lain mengenai kehadiran tokoh tersebut dalam sejarah
Minangkabau adalah dengan adanya Batu Batikam di Dusun Tuo Lima Kaum,
Batusangkar. Dikatakan dalam Tambo, bahwa sebagai tanda persetujuan
antara Datuk Perpatih Nan Sabatang dengan Datuk Ketumanggungan, Datuk
Perpatih Nan Sabatang menikamkan kerisnya kepada sebuah batu, hal ini
sebagai peringatan bagi anak cucunya dikemudian hari.
Sebelum peristiwa ini terjadi antara kedua tokoh adat itu terjadi sedikit kesalah pahaman. Adanya
Batu Batikam
itu yang sampai sekarang masih terawat dengan baik, dan ini membuktikan
kepada kita bahwa kedua tokoh itu memang ada dalam sejarah Minangkabau,
bukan sekedar sebagai tokoh dongeng saja sebagaimana banyak ahli-ahli
barat mengatakannya.
Bukti lain dalam hikayat raja-raja Pasai. Dikatakan bahwa dalam salah
satu perundingan dengan Gajah Mada yang berhadapan dari Minangkabau
adalah Datuk Perpatih Nan Sabantang tersebut. Hal ini membuktikan pula
akan kehadiran tokoh itu dalam sejarah Minangkabau.
Di Negeri Sembilan, sebagai bekas daerah rantau Minangkabau seperti
dikatakan Tambo, sampai sekarang juga dikenal Adat Perpatih. Malahan
peraturan adat yang berlaku di rantau sama dengan peraturan adat yang
berlaku di daerah asalnya.
Hal ini juga merupakan petunjuk tentang kehadiran Datuk Parpatih Nan
Sabantang dalam sejarah Minangkabau. Menurut pendiri adat Koto Piliang
oleh Datuk Ketumanggungan dan Adat Budi Caniago oleh Datuk Perpatih Nan
Sabatang.
Sesudah ternyata terbukti bahwa kedua tokoh itu benar-benar hadir
dalam sejarah Minangkabau, maka ada hal sedikit yang kurang benar yang
dikemukakan oleh Pinoto. Dia mengatakan bahwa kedua tokoh itu merupakan
pembesar dengan kedudukan menteri dalam kerajaan Adiyawarman. Tetapi
pencantuman kedua tokoh itu dalam Prasasti Adityawarman tidaklah berarti
bahwa menjadi menterinya, melainkan untuk menghormatinya, karena
sebelum Adityawarman datang, kedua tokoh itu sudah ada di Minangkabau
yang sangat dihormati oleh rakyatnya.
Maka oleh Adityawarman untuk menghormati kedudukan kedua tokoh itu
dicantumkan nama mereka pada prasastinya. Tidak sembarang orang yang
dapat dicantumkan di dalam prasasti itu, kecuali tokoh yang betul-betul
sangat terhormat.
Walaupun Datuk Parpatih Nan Sabatang dan
Datuk Ketumanggungan sudah merupakan tokoh historis dalam sejarah
Minangkabau sesuai dengan bukti-bukti yang dikemukakan, akan tetapi
keduanya bukanlah merupakan raja Minangkabau, melainkan sebagai pemimpin
masyarakat dan penyusun kedua adat yang hidup dalam masyarakat
Minangkabau sekarang ini, yaitu adat Koto Piliang dan Adat Bodi Caniago,
bagi masyarakat Minangkabau sendiri kedudukan yang sedemikian, jauh
lebih tinggi martabatnya dari kedudukan seorang raja yang manapun.
Antara Datuk Parpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan adalah
dua orang bersaudara satu Ibu berlainan Ayah. Karena ada sedikit
perbedaan dari apa yang dikatakan Tambo mengenai siapa ayah dan ibu dari
kedua orang itu, rasanya pada kesempatan ini tidak perlu dibicarakan
perbedaan itu. Tetapi dari apa yang dikatakan itu dapat ditarik
kesimpulan bahwa ayah Datuk Ketumanggungan adalah suami pertama ibunya
(Indo Jati). Berasal dari yang berdarah luhur atau dari keturunan
raja-raja. Sedangkan ayah dari Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah Cati
Bilang Pandai suami kedua ibunya yang berasal dari India Selatan juga.
Perbedaan darah leluhur dari keduanya itu menyebabkan nantinya ada
sedikit perbedaan dalam ajaran yang disusun mereka.
Kesimpulannya adalah;
bahwa kedua orang itu yaitu Datuk
Ketumanggungan dan Datuk Parpatih Nan Sabatang adalah dua tokoh historis
dalam sejarah Minangkabau, bukan tokoh legendaris sebagaimana yang
dianggap oleh kebanyakan penulis-penulis barat.