Di Tanah Datar muncul pula seorang
ulama, Saidi Muning, anak seorang penghulu bergelar Datuk Sinaro. Ia
pernah belajar di surau Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo. Ia melanjutkan
pelajarannya di Natal dan Pasaman. Kemudian ia memimpin suraunya yang
terletak di pantai di Pasaman. Semenjak itu pula ia dikenal dengan
panggilan Tuanku Pasaman.
Pada tahun 1813, Tuanku Pasaman kembali
ke kampung halamannya di Lintau, di lembah Sinamar. Ia berpendapat,
misinya harus diarahkan pada pembaruan tingkah laku masyarakat di
sekitar kerajaan Pagaruyung. Ia sangat terkesan dengan pembaruan yang
dilakukan Tuanku Nan Renceh. di Kamang.
Muningsyah, Raja Pagaruyung, tidak
menentang gerakan yang dilakukan Tuanku Nan Renceh dan Tuanku Pasaman di
Lintau untuk perbaikan moral masyarakat Tanah Datar. Tetapi, masyarakat
di desa-desa yang berdekatan dengan kerajaan Pagaruyung acuh tak acuh
terhadap kehidupan masyarakat. Mereka bahkan memperlihatkan permusuhan,
sehingga timbul pertentangan di tengah masyarakat.
Kerusuhan menjalar ke desa-desa sebelah
timur Tanah Datar. Tuanku Pasaman memutuskan mengakhiri sifat otonomi
desa yang berlaku selama ini. Ternyata, Raja Pagaruyung tidak mempunyai
kekuatan dan tidak mempunyai niat untuk melakukan pembaruan. Tuanku
Pasaman berkesimpulan, prasyarat berhasilnya pelaksanaan idenya, ialah
dengan jalan melaksanakan administrasi pemerintahan yang seragam di
Tanah Datar. Tindakan yang akan dilakukannya ialahpertama, menyingkirkan
keluarga kerajaan,kedua menyerang desa-desa yang paling erat dengan
kerajaan Pagaruyung. Ia yakin bahwa sistem kerajaan Pagaruyung menjadi
penghalang cita- citanya.
Pada tahun 1815, ia mengajak Raja Alam
beserta keluarga kerajaan lainnya untuk bermusyawarah di Koto Tangah,
antara Barulak dengan Saruaso. Pada pertemuan itu tiba-tiba Tuanku
Pasaman menuduh Raja Alam kurop dan tidak beragama. Tuanku Pasaman
memerintahkan menyerang raja. Banyak anggota keluarga Pagaruyung mati
terbunuh dalam peristiwa itu, termasuk dua orang anak Raja Alam
Pagaruyung. Raja Muningsyah bersama cucunya dapat meloloskan diri ke
Lubuk Jambi. setelah terjadi Peristiwa Koto Tangah itu.
Tuanku Pasaman menyerang Lubuk Jambi pada
tahun 1823 untuk dapat menguasai kota dagang di pantai timur melalui
Sinamar. Tuanku Pasaman berusaha memperkuat kedudukannya di mata
penduduk pusat kerajaan. Ia mengawini anak Raja Ibadat terakhir yang
meninggal pada tahun 1817. Kemudian ia memindahkan kedudukannya dari
Sumpur Kudus ke Lintau dan menyatakan dirinya sebagai pemegang waris
Raja Adat dan Raja Ibadat. Semenjak itu pula ia lebih dikenal dengan
gelar Tuanku Lintau.
Tuanku Lintau dapat meluaskan sistem
administrasi Padri di daerahnya dengan dukungan hulubalang yang
berpakaian merah untuk membedakannya dengan dubalang yang berwarna
hitam. Di daerah bukit sebelah timur Lintau, sistem Padri diterima
dengan baik. Penduduk Buo dan Kumanis menganut ajaran Padri. Di sebelah
utara Lintau, di lereng Gunung Sago, berada di bawah hulubalang Tuanku
Lintau yang bernama Tuanku Halaban.
Sehubungan dengan serangan itu,
dasar-dasar ekonomi dan politik Kerajaan Pagaruyung lumpuh. Keluarga
kerajaan berusaha menyelamatkan diri dari kehancuran dengan kembali
kepada sekutu lama, Belanda. Semua nagari yang terletak pada jalur Koto
Piliang ke pantai barat ikut menandatangani perjanjian dengan Belanda
pada tahun 1819. Nagari-nagari ini diwakili dua beradik Sultan Saruaso
dan Raja Alam Bagagarsyah dari Pagaruyung dan Nagari Duo Puluh Koto dan
Batipuh. Mulai saat itu Gerakan Pembaruan Padri berhadapan dengan
Belanda yang kemudian berubah menjadi Perang Padri.
Kawasan Lintau dipisahkan dengan pusat
Tanah Datar oleh punggung bukit barisan dengan lembah-lembah yang dalam.
Bukit pemisah ini ialah Bukit Marapalam dipergunakan sebagai benteng
perlindungan yang sulit ditembus dari arah Tanah Datar. Punggung bukit
di sekitar Lintau ditanam dengan kopi. Kawasan ini merupakan pertemuan
bukit yang membentuk lereng-lereng yang mendaki. Di sela- sela bukit ini
mengalir mata air yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi sawah- sawah
yang terletak di tengah kebun kopi, dikelilingi oleh sawah yang subur,
yang mendatangkan kesejahteraan penduduknya.
Halaban dan Lintau semenjak lama
mempunyai hubungan dagang dengan pantai timur, di hulu Kampar Kiri dan
Kampar Kanan. Pada tahun 1813, ia membenahi desanya, Lintau. Semenjak
tahun 1820 melakukan upaya mengawasi lalu lintas perdagangan jalur
Indragiri. Sejak itu pula ia terkenal sebagai Tuanku Lintau.
Penduduk Lintau melakukan penukaran kopi
dengan barang-barang katun dan garam. Terbukti bahwa terdapat hubungan
antara kemakmuran dengan diterimanya asas pembaruan Islam (Protagoni).
Tuanku Kacik, utusan Tuanku Lintau datang
ke Bonjol menyatakan bahwa pasukan Belanda dengan sekutunya akan
menyerang Lintau. Kedatangan pasukan Belanda yang menyerang Bukit
Marapalam bergerak dari Pagaruyung dengan kekuatan 8 pucuk meriam dapat
dipukul mundur sampai desa Tanjung. Empat pucuk meriam dapat dirampas
pasukan hulubalang Lintau. Empat hari kemudian, Belanda kembali mencoba
menyerang Bukit Marapalam dari arah desa Tanjung. Peristiwa ini terjadi
pada 13 April 1823.
Pasukan hulubalang Bonjol di bawah
pimpinan Tuanku Mudo yang sedang berada di Ampek Angkek, mendengar
serangan Belanda ke Bukit Marapalam itu segera bergerak ke lembah Bukit
Marapalam. Pasukan Bonjol menyerang dari arah utara sehingga pasukan
hulubalang Lintau dapat menguasai medan pertempuran. Pasukan Lintau dan
hulubalang Bonjol dapat menguasai lapangan pertempuran. Kekalahan ketiga
kalinya bagi Belanda terjadi pada tanggal 16 April 1823 yang dikenal
sebagai Hari Keprajuritan Perlawanan Lintau. Peristiwa serangan Belanda
dan perlawanan hulubalang Lintau telah dilukis pada relief Museum
Perjuangan Taman Mini. Pada serangan itu Belanda mendapat kekalahan.
Tiga orang perwira, 45 serdadu Belanda mati, 9 perwira luka dan 178
prajurit menderita luka. Empat buah meriam Belanda dapat dirampas.
Berulang kali serangan dilakukan ke daerah Tuanku Lintau, tetapi
pertahanan yang kuat di Bukit Marapalam tidak dapat ditembus pasukan
Belanda.
Pertahanan Tuanku Lintau (1813-1830) baru
ditembus pasukan Belanda melalui pengkhianatan yang dilakukan dalam
malam pekat ketika hujan turun dengan deras pada tahun 1830. Hulubalang
yang bertugas di Bukit Marapalam dengan mudah dapat dilumpuhkan pasukan
Belanda dengan bantuan pengkhianat. Serangan Belanda ke Batu Bulek dapat
memecah pasukan Tuanku Lintau (Juli 1830).
Sumber:
Sjafnir Aboe Nain, drs, Naskah Tuanku Imam Bonjol-Naali Sutan Caniago, alih tulis, revisi 2003
————–, Tuanku Imam B onjol, Sejarah Intektual Islam di Minangkabau (1784-1832), Penerbit
ESA, Padang, 1988
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?