Kadang aku
marah, kecewa, karena tak mendapatkan hak atas semestinya. Tapi juga aku merasa
sedih, menangis, karena mengapa aku harus merasa marah atau kecewa.
Apa yang tidak
kita dapatkan tidak menjadi keharusan untuk merasa dimiliki. Barangkali ada
sisa-sisa usaha yang kurang optimal dilakukan hingga penghargaan itu tidak
layak mampir menjadi miliki kita. Mengapa harus marah/kecewa?
Kadang juga
aku merasa sedih, menangis, bahkan hampir limbung menerima ketidakadilan yang
hinggap padaku. Seolah-olah aku adalah pidana yang dihukum tanpa melalui proses
hukum. Tidak jelas apakah aku bersalah atau aku hanya kambing hitam perkara.
Tak masalah bila aku begitu. Tapi yang menjadi siksa adalah ketika batin ini
memaksa jawaban "mengapa?" Alasan-alasan apa aku menerima semua itu?
Mengapa? Aku merasa dihukum rajam oleh pertanyaan mengapa aku itu begitu bodoh!
Marah atau
kecewa, sedih atau menangis, bukan satu-satunya alasan untuk menjelaskan
kebodohanku. Penjelasannya mungkin menuju ke arah bijak hati. Menerima lapang
dada, sabar pada yang belum didapat, namun tidak menganggap semua yang kita
miliki adalah hal mutlak milik kita. Kesadaran akan itu, muncul ketika ada
perkara yang merugikanku. Perkara yang datang kemudian meminjamkan perasaan
untuk mengoreksi keberadaan kebeneran hati. Mengapa aku harus kecewa lalu
marah? Mengapa aku bersedih dengan semua ini? Sebelumnya, bagaimanakah aku
sebelum sampai pada perkara yang merugikan ini?
Alasan bijak
mungkin berpangkal pada hukum sebab dan akibat. Boleh jadi apa yang tidak
menjadi hakku sekarang adalah akibat dari sebab dulu aku bermalas-malas ria,
asyik menyenggamai ketidakseriusan, bahkan asyik acuh pada hal yang penting dan
tidak boleh terlewatkan. Maka, alasan bijak menerima semua itu seakan dalam
keterpaksaan sabar. Menerimanya dengan meninggalkan amarah dan kekecewaan.
Mengapa sampai begitu? Itu adalah pertanyaan untuk perasaan ketika menghadapi
perkara yang seteru.
Predikat bodoh
tidak layak aku rawat. Mestinya aku ajar biar jiwa ini memang penyabar. Tidak
menggesek rasa sabar itu dengan perkara sebab atau akibat yang membodohkan. Aku
boleh saja tersiksa asal tidak karena perkara salahku yang memang nyata telah
menjatuhkan perkara. Azab, mungkin itu sebutannya. Sementara aku menganggap
semua itu ujian yang mempelajarkan diri. Sebab ada hal yang mendidik diri
menjadi lebih baik dari yang telah terjadi. Tapi, silakan saja ketidakadilan
itu jatuh padaku asal yakin di hati bahwa apa yang tidak diperoleh saat ini
akan diganti dengan sesautu yang lebih baik lagi. Tidak akan menjadi bodoh bila
aku tuluskan keikhlasan melakukan sebab yang menjadikan Rabb-ku jatuh
menyayangiku dengan cara-Nya.
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?