Apabila diteliti masa Perang Padri di daerah Sumatera Barat dalam abad ke-19 dapat digolongkan kepada beberapa priode, yaitu:
(a) Periode 1809 – 1821
Periode ini adalah merupakan pembersihan yang ditakukan oleh kaum Padri
terhadap golongan penghulu adat yang dianggap menyimpang dan
bertentangan dengan syari’at Islam. Dalam masa ini terjadilah
pertempuran antara kaum Padri melawan golongan penghulu adat.
(b) Periode 1821 – 1832
Priode ini adalah merupakan pertempuran antara kaum Padri dengan
Belanda-Kristen yang dibantu sepenuhnya oleh golongan penghulu adat.
Dalam masa ini sifat pertempuran telah berubah antara penguasa kolonial
Belanda-Kristen yang mau menjajah Sumatera Barat yang dibantu oleh para
penguasa bangsa sendiri yang berkolaborasi untuk mempertahankan
eksistensinya sebagai penguasa yang ditentang secara gigih oleh kaum
Padri.
(c) Periode 1832 – 1837
Periode ini adalah merupakan perjuangan seluruh rakyat Sumatera Barat,
dimana kaum Padri dan golongan penghulu adat telah barsatu melawan
penguasa kolonial Belanda-Kristen. Dalam masa ini rakyat Sumatera Barat
dengan dipelopori dan dipmimpin oleh para ulama yang tergabunig dalam
kaum Padri bahu-membahu di medan pertempuran untuk mengusir penguasa
kolonial Belanda-Kristen dari Sumatera Barat.
Latar Belakang
Latar belakang lahirnya kaum Padri mempunyai kaitan dengan gerakan
Wahabi yang muncul di Saudi Arabia, yaitu gerakan yang dipimpin oleh
seorang ulama besar bernama Muhammad bin Abdul Wahab (1703-1787). Nama
gerakan Wahabi sesunggulinya merupakan nama yang mempunyai konotasi yang
kurang baik, yang diberikan oleh lawan-lawannya, sedangkan gerakan ini
lebih senang dan menamakan dirinya sebagai kaum ‘Muwahhidin’ yaitu kaum yang konsisten dengan ajaran tauhid, yang merupakan landasan asasi ajaran Islam.
Paham kaum Muwahhidin (Wahabi) ini antara lain:
(a) Yang boleh dan harus disembah hanyalah Allah semata; dan siapa saja yang menyembah selain Allah, adalah musyrik;
(b) Umat Islam yang meminta safaat kepada para wali, syeikh atau ulama
dan kekuatan ghaib yang dipandang memiliki dan mampu memberikan safaat
adalah suatu kemusyrikan;
(c) Menyebut-nyebut nama Nabi, wali, ulama untuk dijadikan perantara dalam berdo’a adalah termasuk perbuatan syirik;
(d) Mengikuti shalat berjamaah adalah merupakan kewajiban;
(e) Merokok dan segala bentuk candu adalah haram;
(f) Memberantas segala bentuk kemunkaran dan ke¬maksiatan;
(g) Umat Islam, harus hidup sederhana, segala macam pakaian mewah dan berlebih-lebihan diharamkan.
Sifat gerakan Wahabi yang keras ini, benar-benar merupakan tenaga
penggerak yang sanggup membangkitkan kembali kesadaran kaum muslimin
yang sedang tidur lelap dalam keterbelakangannya. Dibantu dengan para
sahahatnya seperti Ibnu Sa’ud dan Abdul Azis Ibnu Sa’ud, pemikiran dan
cita-cita ini diwujudkan dalam gerakan yang keras, akhirnya pada tahun
1921 menjelma menjadi satu pemerintahan yang berdaulat di Saudi Arabia
dengan ibukotanya Riyadh.
Paham dan gerakan Wahabi inilah yang mewarnai pandangan Haji Miskin
dari Pandai Sikat (Luhak Agam), Haji Abdur Rahman dari Piabang (Luhak
Lima Puluh) dan Haji Muhammad Arief dari Sumanik (Luhak Tanah Datar)
yang bermukim di Mekah Saudi Arabia dan pada tahun 1802 mereka kembali
ke Sumatera Barat.
Sesampainya di Sumatera Barat, mereka berpendapat bahwa umat Islam di
Minangkabau baru memeluk Islam namanya saja, belum benar-benar
mengamalkan ajaran Islam yang sejati. Berdasarkan penilaian semacam itu,
maka di daerahnya masing-masing mereka mencoba memberikan fatwanya.
Haji Muhammad Arifin di Sumanik mendapat tantangan hebat di daerahnya
sehingga terpaksa pindah ke Lintau. Haji Miskin mendapat perlawanan
hebat pula di daerahnya dan terpaksa harus pindah ke Ampat Angkat. Hanya
Haji Abdur Rahman di Piabang yang tidak banyak mendapat halangan dan
tantangan.
Kepindahan Haji Miskin ke Ampat Angkat membawa angin baru, karena di
sini ia mendapatkan sahabat-sahabat perjuangan yang setia; diantaranya
yaitu Tuanku Nan Renceh di. Kamang, Tuanku di Kubu Sanang; Tuanku di
Ladang Lawas, Tuanku di Koto di Padang Luar, Tuanku di Galung, Tuanku di
Koto Ambalau, Tuanku di Lubuk Aur. Itulah tujuh orang yang berbai’ah
(berjanji sehidup semati) dengan Tuanku Haji Miskin. Jumlah para ulama
yang berbai’ah ini menjadi delapan orang, yang kemudian terkenal dengan
sebutan ‘Harimau Nan Salapan’.
Harimau Nan Salapan ini menyadari bahwa gerakan ini akan lebih
berhasil bilamana mendapat sokongan daripada ulama yang lebih tua dan
lebih berpengaruh, yaitu Tuanku Nan Tuo di Ampat Angkat. Oleh sebab itu
Tuanku Nan Renceh yang lebih berani dan lebih lincah telah berkali-kali
menjumpai Tuanku Nan Tuo untuk meminta agar ia bersedia menjadi ‘imam’
atau pemimpin gerakan ini. Tetapi setelah bertukar-pikiran berulang
kali, Tuanku Nan Tuo menolak tawaran itu. Sebab pendirian Harimau Nan
Salapan hendak dengan segera menjalankan syari’at Islam di setiap nagari
yang telah ditaklukkannya. Kalau perlu dengan kekuatan dan kekuasaan.
Tetapi Tuanku Nan Tuo mempunyai pendapat Yang berbeda; ia berpendapat
apabila telah ada orang beriman di satu nagari walaupun baru seorang,
tidaklah boleh nagari itu diserang. Maka yang penting menurut
pandangannya ialah menanamkan pengaruh yang besar pada setiap nagari.
Apabila seorang ulama di satu nagari telah besar pengaruhnya, ulama itu
dapat memasukkan pengaruhnya kepada penghulu-penghulu, imam-khatib
mantri dan dubalang.
Pendapat yang berbeda dan bahkan bertolak belakang antara Tuanku Nan
Tuo dengan Harimau Nan Salapan sulit untuk dipertemukan, sehingga tidak
mungkin Tuanku Nan Tuo dapat diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan
ini. Untuk mengatasi masalah ini, Harimau Nan Salapan mencoba mengajak
Tuanku di Mansiangan, yaitu putera dari Tuanku Mansiangan Nan Tuo, yakni
guru daripada Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat. Rupanya Tuanku yang muda di
Mansiangan ini bersedia diangkat menjadi imam atau pemimpin gerakan
Harimau Nan Salapan, dengan gelar Tuanku Nan Tuo.
Karena yang diangkat menjadi imam itu adalah anak daripada gurunya
sendiri, sulitlah bagi Tuanku Nan Tuo Ampat Angkat itu untuk menentang
gerakan ini. Padahal hakikatnya yang menjadi imam dari gerakan Hariman
Nan Salapan adalah Tuanku Nan Renceh; sedangkan Tuanku di Mansiangan
hanya sebagai simbol belaka.
Kaum Harimau Nan Salapan senantiasa memakai pakaian putih-putih
sebagai lambang kesucian dan kebersihan, dan kemudian gerakan ini
terkenal dengan nama ‘Gerakan Padri’.
Setelah berhasil mengangkat Tuanku di Mansiangan menjadi imam gerakan
Padri ini, maka Tuanku Nan Renceh selaku pimpinan yang paling menonjol
dari Harimau Nan Salapan mencanangkan perjuangan padri ini dan
memusatkan gerakannya di daerah Kameng. Untuk dapat melaksanakan
syari’at Islam secara utuh dan murni, tidak ada alternatif lain kecuali
memperoleh kekuasaan politik. Sedangkan kekuasaan politik itu berada di
tangan para penghulu. Oleh karena itu untuk memperoleh kekuasaan politik
itu, tidak ada jalan lain kecuali merebut kekuasaan dari tangan para
penghulu. Karena Kamang menjadi pusat perjuangan Padri, maka kekuasaan
penghulu Kamang harus diambil alih oleh kaum Padri, dan berhasil dengan
baik.
Sementara itu para penghulu di luar Kamang yang telah mendengar
adanya gerakan Padri ini, ingin membuktikan sampai sejauh mana kemampuan
para alim-ulama dalam perjuangan mereka untuk melaksanakan syari’at
Islam secara utuh dan murni. Bertempat di Bukit Batabuah dengan Sungai
Puar di lereng Gunung Merapi, para penghulu dengan sengaja dan mencolok
mengadakan penyabungan ayam, main judi dan minum-¬minuman keras yang
diramaikan dengan bermacam pertunjukan. Para penghulu itu dengan para
pengikutnya seolah-olah memancing apakah para alim-ulama mampu
merealisasikan ikrarnya untuk betul-betul melaksanakan syari’at Islam
secara keras.
Tentu saja tantangan ini menimbulkan kemarahan dari pihak kaum Padri.
Dengan segala persenjataan yang ada pada mereka, seperti setengger
(senapan balansa), parang, tombak, cangkul, sabit, pisau dan sebagainya
kaum Padri pergi ke Bukit Batabuh tersebut untuk membubarkan pesta
‘maksiat’ yang diselenggarakan oleh golongan penghulu (penguasa).
Sesampainya pasukan kaum Padri di Bukit Batabuh disambut dengan
per¬tempuran oleh golongan penghulu. Dengan sikap mental perang sabil
dan mati syahid, pertempuran yang banyak menelan korban di kedua belah
pihak, akhirnya di¬menangkan oleh pasukan kaum Padri. Dengan peristiwa
Bukit Batabuh, berarti permulaan peperangan Padri.
Perang Padri ; Pemimpin Baru Tuanku Mudo Imam Bonjol
Kemenangan pertama yang gemilang bagi kaum Padri, mendorong Tuanku
Nan Renceh sebagai pimpinan gerakan ini untuk memperkuat dan melengkapi
persenjataan pasukan Padri. Tindakan ofensif bagi daerah-daerah yang
menentang kaum Padri segera dilakukan. Daerah Kamang Hilir ditaklukkan,
kemudian menyusul daerah Tilatang. Dengan demikian seluruh Kamang telah
berada di tangan kaum Padri.
Dari Kamang operasi pasukan Padri ditujukan ke luar yaitu Padang
Rarab dan Guguk jatuh ketangan kaum Padri. Lalu daerah Candung, Matur
dan bahkan pada tahun 1804 seluruh daerah Luhak Agam telah ber¬ada di
dalam kekuasaan kaum Padri.
Keberhasilan kaum Padri menguasai daerah Luhak Agam, selain
kesungguhan yang keras, tetapi juga kondisi masyarakatnya memang sangat
memungkinkan untuk cepat berhasil. Sebab daerah Luhak Agam terkenal
tempat bermukimnya ulama-ulama besar seperti Tuanku Pamansiangan dan
Tuanku Nan Tuo, sedangkan pengaruh para penghulu sangat tipis. Wibawa
para penghulu berada di bawah pengaruh para ulama.
Operasi pasukan Padri ke daerah Luhak Lima Puluh Kota berjalan dengan
damai. Sebab penghulu daerah ini bersedia menyatakan taat dan patuh
kepada kaum Padri serta siap membantu setiap saat untuk kemenangan kaum
Padri.
Dengan berkuasanya kaum Padri; maka daerah-daerah yang berada di
dalam kekuasaannya diadakan perubahan struktur pemerintahan yaitu pada
setiap nagari diangkat seorang ‘Imam dan seorang Kadhi’. Imam bertugas
memimpin peribadahan seperti sembah¬yang berjamaah lima waktu sehari
semalam, puasa, dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah-masalah
ibadah. Kadhi bertugas untuk menjaga kelancaran dijalankannya syari’at
Islam dalam arti kata lebih luas dan menjaga ketertiban Umum.
Di daerah Luhak Tanah Datar, pasukan kaum Padri tidak semudah dan
selicin di daerah Luhak Adam dan Lima Puluh Kota untuk memperoleh
kekuasaannya. Di sini pasukan kaum Padri mendapat perlawanan yang sengit
dari golongan penghulu dan pemangku adat. Sebab Luhak Tanah Datar
adalah merupakan pusat kekuasaan adat Minangkabau. Kekuasaan itu
berpusat di Pagaruyung yang dipimpin oleh Yang Dipertuan Minangkabau. Di
waktu itu Yang Dipertuan atau Raja Minangkabau adalah Sultan Arifin
Muning Syah.
Pada pemerintahan Minangkabau yang berpusat di Pagaruyung terdapat
tiga orang raja yang berkuasa yang dikenal dengan nama Raja Tigo Selo,
yaitu :
(a) Raja Alat atau Yang Dipertuan Pagaruyung, adalah yang memegang kekuasaan tertinggi di seluruh Minangkabau.
(b) Raja Adat, adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah adat.
(c) Raja Ibadat adalah yang memegang kekuasaan dalam masalah agama.
Dalam pelaksanaan pemerintah sehari-hari Raja Tigo Selo dibantu oleh
Basa Empat Balai yang berkedudukan sebagai menteri dalam pemerintahan
Minangkabau di Pagaruyung. Mereka itu adalah :
- Dt. Bandaharo atau Tuan Tittah di Sungai Tarab, yang mengepalai tiga
orang lainnya atau dapat dikatakan sebagai Perdana Menteri;
- Makkudun di Sumanik, yang menjaga kewibawaan istana dan menjaga bubungan dengan daerah rantau dan daerah-daerah lainmya;
- Indomo di Suruaso, yang bertugas menjaga kelancaran pelaksanaan adat;
- Tuan Kadhi di Padang Ganting; yang bertugas menjaga kelancaran syari’at atau agama.
Di samping Basa Empat Balai ada seorang lagi, yaitu Tuan Gadang di
Batipuh yang bertindak sebagai Pang¬lima Perang, kalau Pagaruyung kacau
dialah bersama pasukannya untuk mengamankannya.
Kekuasaan Raja Minangkabau sebetulnya tidak begitu terasa oleh rakyat
dalam kehidupan sehari-hari, karena nagari-nagari di Minangkabau
mendapat otonomi yang sangat luas, sehingga segala sesuatu di dalam
nagari dapat diselesaikan oleh kepala nagari melalui kerapatan adat
nagari. Kalau masalahnya tidak selesai dalam nagari baru dibawa ke
pimpinan Luhak (kira-kira sana dengan kabupaten sekarang). Kalau masih
belum selesai diteruskan ke Basa Empat Balai untuk selanjut¬nya
diteruskan ke Raja Adat atau Raja Ibadat, tergantung pada masalahnya.
Kalau semuanya tak dapat menyelesaikan masalahnya, maka akan diputuskan
oleh Raja Minangkabau.
Oleh karena itu gerakan Padri oleh Raja Minangkabau dan stafnya
dianggap satu bahaya besar, sebab gerakan ini akan mengambil kekuasaan
mereka. Selain itu para bangsawan pun cemas, karena khawatir adat
nenek-moyang yang telah turun-menurun akan lenyap, jika kaum Padri
berkuasa.
Pertempuran sengit di daerah Luhak Tanah Datar antara pasukan Padri
dengan pasukan Raja berjalan sangat alot. Perebutan daerah Tanjung
Barulak, salah satu jalan untuk masuk ke pusat kekuasaan Minang¬kabau
dari Luhak Agam, sering berpindah tangan, terkadang dikuasai pasukan
Padri, terkadang dapat di¬rebut kembali oleh pasukan raja. Walaupun
begitu, pasukan Padri makin hari makin maju, sehingga daerah kekuasaan
para penghulu makin lama makin kecil. Untuk mencegah hal-hal yang lebih
buruk bagi para penghulu, akhirnya atas persetujuan Yang Dipertuan di
Pagaruyung, Basa Empat Balai mengadakan perundingan dengan kaum Padri.
Perundingan itu dilaksanakan di nagari Koto Tangah pada tahun 1808,
sesudah enam tahun gerakan kaum Padri melancarkan aksinya. Kaum Padri
dalam perundingan itu dipimpin oleh Tuanku Lintau yang datang dengan
seluruh pasukannya, sedangkan para penghulu dipimpin oleh Raja
Minangkabau sendiri. Seluruh staf raja dan sanak keluarganya hadir dalam
pertemuan tersebut, tanpa menaruh curiga sedikit juga, karena gencatan
senjata telah disepakati sebelumnya.
Tetapi sekonyong-konyong keadaan menjadi kacau sebelum perundingan
dimulai. Karena kesalah-pahaman antara bawahan Tuanku Lintau yang
bernama Tuanku Belo dengan para staf raja, yang berakibat meledak
men¬jadi perkelahian dan pertumpahan darah.
Raja dan hampir sebagian terbesar staf dan keluarga¬nya mati terbunuh
dalam perkelahian itu, hanya ada beberapa orang dari para penghulu dan
seorang cucu raja yang dapat selamat meloloskan diri sampai ke Kuantan.
Mendengar peristiwa berdarah ini, Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan
tertinggi gerakan Padri sangat marah terhadap Tuanku Lintau dan
pasukannya, karena dianggap melanggar gencatan senjata yang telah
disepakati dan berarti menggagalkan usaha perdamaian.
Dengan peristiwa ini, maka praktis seluruh Luhak Tanah Datar menyerah
kepada kaum Padri tanpa perlawanan, karena takut melihat pengalaman di
Koto Tangah.
Untuk mengokohkan gerakan kaum Padri, Tuanku Nan Renceh telah memerintahkan salah seorang murid¬nya yang bernama Malin Basa atau Peto Syarif atau Muhammad Syahab,
untuk membuat sebuah benteng yang kuat, sebagai markas gerakan kaum
Padri. Pemilihan Malin Basa, yang kemudian bergelar Tuanku Mudo untuk
membuat benteng besar, guna menjadi pusat gerakan kaum Padri, disebabkan
karena Malin Basa (Tuanku Mudo) seorang murid yang pandai, alim dan
berani.
Perintah Tuanku Nan Renceh sebagai pimpinan tertinggi gerakan Padri
dan guru dari Tuanku Mudo, dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan
keberanian dan berhasil memilih tempat di sebelah timur Alahan Panjang,
di kaki bukit yang bernama Bukit Tajadi. Dengan bantuan seluruh umat
Islam yang tinggal di sekitarAlahan Panjang, di mana setiap hari bekerja
tidak kurang dari 5000 orang, akhirnya ‘Benteng Bonjol’ yang terletak
di bukit Tajadi itu menjelma menjadi kenyataan dengan ukuran panjang
kelilingnya kira-kira 800 meter dengan areal seluas kira-kira 90 hektar,
tinggi tembok empat meter dengan tebalnya tiga meter. Di sekelilingnya
ditanami pagar aur berduri yang sangat rapat.
Di tengah-tengah benteng Bonjol berdiri dengan megahnya sebuah masjid
yang lengkap dengan perkampungan pasukan Padri dan rakyat yang setiap
saat mereka dapat mengerjakan sawah ladangnya untuk keperluan hidup
sehari-hari. Sesuai dengan, fungsinya, maka benteng Bonjol juga
diperlengkapi dengan persenjataan perang, guna setiap saat siap
menghadapi pertempuran. Benteng Bonjol itu dipimpin langsung oleh Tuanku
Mudo yang bertindak sebagai ‘imam’ dari masyarakat benteng Bonjol, yang
sesuai dengan struktur pemerintahan kaum Padri. Oleh sebab itu, Tuanku Mudo digelari dengan ‘Imam Bonjol’.
Setelah benteng Bonjol selesai dan struktur pemerintahan lengkap
berdiri, Imam Bonjol memulai gerakan Padrinya ke daerah-daerah sekitar
Alahan Panjang dan berhasil dengan sangat memuaskan. Keberbasilan Imam
Bonjol dengan pasukannya menimbulkan kecemasan para penghulu di Alahan
Panjang seperti antara lain Datuk Sati. Kecemasan ini melahirkan satu
gerakan para penghulu di Alahan Panjang untuk menyerang pasukan Imam
Bonjol dan merebut benteng sekaligus. Pada tahun 1812 Datuk Sati dengan
pasukannya menyerbu benteng Bonjol, tetapi sia-sia dan kekalahan
diderita olehnya. Untuk mencegah hal-hal yang lebih buruk, maka Datuk
Sati mengajak diadakannya perdamaian antara para penghulu dengan Imam
Bonjol.
Keberhasilan Imam Bonjol menguasai seluruh daerah Alahan Panjang, ia
kemudian diangkat menjadi pe¬mimpin Padri untuk daerah Pasaman. Untuk
meluaskan kekuasaan kaum Padri, Imam Bonjol mengarahkan pasukannya ke
daerah Tapanuli Selatan. Mulai Lubuk Sikaping sampai Rao diserbu oleh
pasukan Imam Bonjol. Dari sana terus ke Talu, Air Bangis, Sasak, Tiku
dan seluruh pantai barat Minangkabau sebelah utara.
Setelah seluruh Pasaman dikuasai, maka untuk memperkuat basis
pertahanan untuk penyerangan ke utara, didirikan pula benteng di Rao dan
di Dalu-Dalu. Benteng ini terletak agak ke sebelah utara Minangkabau.
Benteng Rao dikepalai oleh Tuanku Rao, sedangkan benteng Dalu-Dalu
dikepalai oleh Tuanku Tambusi. Kedua perwira Padri ini berasal dari
Tapanuli dan berada di bawah pimpinan Imam Bonjol.
Dengan mengangkat Tuanku Rao dan Tuanku Tambusi sebagai pimpinan kaum
Padri di Tapanuli Selatan, gerakan Padri berjalan dengan sangat
berhasil, tanpa menghadapi perlawanan yang berarti. Daerah-daerah di
sini bagitu setia untuk menjalankan syari’at Islain secara penuh, sesuai
dengan missi yang diemban oleh gerakan Padri.
Perang Padri ; akhir keberpihakan golongan penghulu terhadap Belanda
Sementara kaum Padri bergerak menguasai Tapanuli Selatan dan
daerah pesisir barat Minangkabau, Belanda muncul kembali di Padang.
Tuanku Pamansiangan salah seorang pemimpin di Luhak Agam mengusulkan
kepada Imam Bonjol untuk menarik pasukan Padri dari Tapanuli Selatan dan
menggempur kedudukan Belanda di Padang yang belum begitu kuat. Karena
baru saja serah terima kekuasaan dari Inggeris (1819). Tetapi
perwira-perwira Padri seperti Tuanku Raos, Tuanku Tambusi dan Tuanku
Lelo dari Tapanuli Selatan ber¬kebaratan untuk melaksakan usul itu, oleh
karena itu Imam Bonjol hanya dapat memantau kegiatan dan gerakan
pasukan Belanda melalui kurir-kurir yang sengaja dikirim ke sana.
Belanda yang tahu bahwa daerah pesisir seperti Pariaman, Tiku, Air
Bangis adalah daerah strategis yang telah dikuasai kaum Padri, maka
Belanda telah membagi pasukan untuk merebut daerah-daerah ter¬sebut.
Dalam menghadapi serangan Belanda ini, maka terpaksa kaum Padri yang
berada di Tapanuli Selatan di bawah pimpinan Tuanku Rao dan Tuanku
Tambusi dikirim untuk menghadapinya. Pertempuran sengit terjadi dan pada
tahun 1821 Tuanku Rao gugur sebagai syuhada di Air Bangis. Perlawanan
pasukan Padri melawan pasukan Belanda diteruskan dengan pimpinan Tuanku
Tambusi.
Kemenangan yang diperoleh Belanda dalam medan pertempuran menghadapi
pasukan Padri, menumbuhkan semangat bagi golongan penghulu, yang selama
ini kekuasaannya telah lepas. Dengan secara diam-diam para penghulu
Minangkabau mengadakan perjanjian kerjasama dengan Belanda untuk
memerangi kaum Padri. Para penghulu yang mengatasnamakan yang Dipertuan
Minangkabau langsung mengikat perjanjian kerjasama dengan Residen
Belanda di Padang yang bernama Du Puy.
Dengan terjalinnya kerjasama antara para penghulu dengan Belanda,
maka berarti kaum Padri akan menghadapi bahaya besar. Dalam kondisi
demikian, tiba-tiba Tuanku Nan Renceh, Yang menjadi pimpinan tertinggi
kaum Padri yang gemilang pada tahun 1820 wafat. Kekosongan ini secara
demokrasi diisi oleh Iman Bonjol. Atas persetujuan para perwira pasukan
Padri, Imam Bonjol langsung memimpin gerakan Padri untuk menghadapi
pasukan gabungan Belanda-Penghulu.
Pada tahun 1821 pertahanan Belanda di Semawang diserang oleh pasukan
Padri; sedangkan pasukan Belanda yang mencoba memasuki Lintau
dicerai-beraikan. Untuk menguasai medan, pasukan Belanda membuat benteng
di Batusangkar dengan nama ‘Benteng atau Fort van der Capellen’.
Berulang kali pasukan Belanda-Penghulu menyerang kedudukan pasukan Padri
di Lintau, tetapi selalu mendapati kegagalan, bahkan pernah pasukan
Belanda-Penghulu terjebak.
Perlawanan yang sengit dari pasukan Padri, mendorong Belanda untuk
memperkuat pasukannya di Padang. Pada akhir tahun 1821 Belanda
mengirimkan pasukannya dari Batavia di bawah pimpinan Letnan Kolonel
Raaff. Dengan bantuan militer yang lengkap persenjataannya, pasukan
Belanda melakukan ofensif terhadap kedudukan pasukan Padri.
Operasi militer yang dilakukan oleh pasukan Belanda-Penghulu
ditujukan ke daerah yang dianggap strategis yaitu Luhak Tanah Datar.
Dengan menaklukkan Luhak Tanah Datar, yang berpusat di Pagaruyung,
menurut dugaan Belanda perlawanan pasukan Padri akan mudah ditumpas.
Oleh karena itu pada tahun 1822 pasukan Belanda-Penghulu di bawah
pimpinan Letnan Kolonel Raaff menyerang Pagaruyung. Pertempuran sengit
terjadi, korban dari kedua pihak banyak yang berjatuhan. Karena kekuatan
yang tidak seimbang, akhirnya pasukan Padri mengundurkan diri ke daerah
Lintau setelah meninggalkan korban di pihak Belanda yang cakup besar.
Usaha pengejaran dilakukan terus oleh pasukan Belanda dengan jalan
mendatangkan bantuan dari Batusangkar. Tetapi pasukan Belanda
sesampainya di Lintau seluruhnya dapat dipukul mundur dan terpaksa
kembali ke pangkalan mereka di Batusangkar.
Setelah Belanda memperkuat diri, ofensif dilakukan kembali dengan
jalan memblokade daerah Lintau, sehingga terputus hubungannya dengan
Luhak Lima Puluh Kota dan Luhak Agam. Walaupun nagari Tanjung Alam dapat
direbut oleh pasukan Belanda, tetapi usaha¬nya untuk merebut Lintau
dapat dipatahkan, karena pasukan Padri di Luhak Agam di bawah pimpinan
Tuanku Pamansiangan memberikan perlawanan yang sengit. Kemudian Letnan
Kolonel Raaff menyusun kembali pasukannya untuk merebut Luhak Agam, Koto
Lawas, Pandai Sikat dan Gunung; dan kali ini berhasil, setelah melalui
pertempuran dahsyat, di mana Tuanku Pamansiangan dapat tertangkap, yang
kemudian dihukum gantung oleh Belanda.
Pada akhir tahun 1822 pasukan Padri di bawah pimpinan Imam Bonjol
melakukan serangan balasan terhadap pasukan Belanda di berbagai daerah
yang pernah didudukinya. Pertama-tama Air Bangis mendapat serang¬an
pasukan Padri. Operasi ke Air Bangis ini langsung dipimpin oleh Imam
Bonjol dibantu oleh perwira-perwira pasukan Padri dari Tapanuli Selatan.
Hanya dengan pertahanan yang luar biasa dan dibantu dengan
tembakan-tembakan meriam laut, Air Bangis dapat selamat dari serangan
pasukan Padri. Kegagalan ini, pasukan Padri mencoba merebut kembali
daerah Luhak Agam. Serangan pasukan Padri ke daerah ini berhasil merebut
kembali daerah Sungai Puar, Gunung, Sigandang dan beberapa daerah
lainnya.
Awal tahun 1823 Kolonel Raaff mendapatkan tambahan pasukan militer
dari Batavia. Dengan kekuatan baru, pasukan Belanda mengadakan operasi
militer besar-besaran untuk merebut seluruh Luhak Tanah Datar. Tetapi di
bukit Marapalam terjadi pertempuran sengit antara pasukan Belanda
dengan pasukan Padri selama tiga hari tiga malam, sehingga Belanda
terpaksa harus mengundurkan diri. Tetapi operasi militer Belanda itu
diarahkan ke Luhak Agam seperti daerah Biaro dan Gunung Singgalang.
Pertempuran sengit terjadi antara pasukan Belanda dengan pasukan Padri,
tetapi karena kekuatan pasukan Belanda jauh lebih besar, akhirnya
daerah-daerah itu dapat direbutnya. Kemenangan pasukan Belanda diikuti
oleh tindakan biadab dengan jalan melakukan pembunuhan massal terhadap
penduduk, besar-kecil, laki-laki maupun perempuan.
Pengalaman pertempuran selama tahun 1823, membuat Belanda berhitung
dua kali. Sebab banyak daerah yang telah direbutnya, ternyata dapat
kembali diambil oleh pasukan Padri. Operasi militer besar-besaran dengan
tambahan pasukan dari Batavia terbukti tidak dapat menumpas pasukan
Padri. Oleh karena itu, untuk kepentingan konsolidasi, Belanda berusaha
untuk mengadakan perjanjian gencatan senjata. Usaha ini berhasil,
sehingga pada tanggal 22 Januari 1824 perjanjian gencatan senjata di
Masang ditanda-tangani oleh Belanda dan kaum Padri.
Perjanjian Masang hanya dapat bertahan kira-kira satu bulan lebih
sedikit. Sebab Belanda dengan tiba-tiba mengadakan gerakan militer ke
daerah Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam. Melalui pertempuran dahsyat,
pusat Luhak Tanah Datar dan Luhak Agam dapat sepenuhnya dikuasai pasukan
Belanda, dan mereka mendirikan benteng dengan nama Fort de Kock di
sana. Dengan kekalahan pasukan Padri di Luhak Tanah Datar dan Luhak
Agam, maka Imam Bonjol memusatkan kekuatan kaum Padri di benteng Bonjol
dan sekitarnya sambil sekaligus melakukan konsolidasi pasukan yang telah
jenuh berperang selama lebih dari duapuluh tahun lamanya.
Sementara itu pada tahun 1825 di Jawa telah pecah perang Jawa. Dengan
timbulnya perang Jawa ini, ke¬kuatan pasukan Belanda menjadi terpecah
dua: sebagian untuk menghadapi perang Padri yang tak kunjung selesai,
dan yang sebagian lagi harus menghadapi Perang Jawa yang baru muncul.
Karena perang Jawa dianggap oleh Belanda lebih strategis dan dapat
mengancam ek¬sistensi Belanda di Batavia, pusat pemerintahan kolonial
Belanda (Hindia Belanda), maka mau tidak mau semua kekuatau militer
harus dipusatkan untuk menghadapi perang Jawa.
Untuk itu perlu ditempuh satu kebijaksanaan guna mengadakan
perdamaian kembali dengan kaum Padri di Sumatera Barat. Pada tahun 1825
usaha perdamaian dan gencatan senjata dengan kaum Padri berhasil
dicapai, dengan jalan mengakui kedaulatan kaum Padri di be¬berapa daerah
Minangkabau yang memang masih secara penuh dikuasairiya. Perjanjian
damai dan gencatan senjata dipergunakan oleh Belanda untuk menarik
pasukannya dari Sumatera Barat setanyak 4300 orang, dan mensisakannya
hanya 700 orang saja lagi. Pasukan sisa sebanyak 700 orang serdadu itu,
digunakan hanya untuk menjaga benteng dan pusat-pusat pertahanan Belanda
di Sumatera Barat.
Setelah Perang Jawa selesai dan kemenangan diperoleh oleh penguasa
kolonial Belanda, maka kekuatan militer Belanda di Jawa sebagian
terbesar dibawa ke Sumatera Barat untuk menghadapi Perang Padri. Dengan
kekuatan militer yang besar Belanda melakukan serangan ke daerah
pertahanan pasukan Padri. Pada akhir tahun 1831, Katiagan kota pelabuhan
yang men¬jadi pusat perdagangan kaum Padri direbut oleh pasukan
Belanda. Kemudian berturut-turut Marapalam jatuh pada akhir 1831, Kapau,
Kamang dan Lintau jatuh pada tahun 1832, dan Matur serta Masang
dikuasai Belanda pada tahun 1834.
Kejatuhan daerah-daerah pelabuhan ke tangan Belanda mendorong kaum
Padri, yang memusatkan kekuatannya di benteng Bonjol, mencari jalan
jalur per¬dagangan melalui sungai Rokan, Kampar Kiri dan Kampar Kanan,
di mana sebuah anak sungai Kampar kanan dapat dilayari sampai dekat
Bonjol. Hubungan Bonjol ke timur melalui anak sungai tersebut sampai ke
Pelalawan, dan dari sana bisa terus ke Penang dan Singapura, dapat
dikuasai. Tetapi jalur pelayaran ini, pada akhir tahun 1834 dapat
direbut oleh Belanda. Dengan demikian posisi pasukan Padri yang berpusat
di benteng Bonjol mendapat kesulitan, terutama dalam memperoleh suplai
bahan makanan dan persenjataan.
Kemenangan yang gilang-gemilang diperoleh pasukan Belanda menimbulkan
kecemasan para golong¬an penghulu, yang selama ini telah membantunya.
Kekuasaan yang diharapkan para penghulu dapat di¬pegangnya kembali,
ternyata setelah kemenangan Belanda menjadi buyar. Sikap sombong dan
moral yang bejat yang dipertontonkan oleh pasukan Belanda-¬Kristen,
seperti menjadikan masjid sebagai tempat asrama militer dan tempat
minum-minuman keras, mengusir rakyat kecil dari rumah-rumah mereka,
pembantaian massal, pemerkosaan terhadap wanita-¬wanita, memanjakan
orang-orang Cina dengan memberi kesempatan menguasai perekonomian
rakyat, akhirnya menimbulkan rasa benci dan tak puas dari golongan
penghulu kepada Belanda. Kebencian dan kemarahan para penghulu
menumbuhkan rasa harga diri untuk mengusir Belanda dari daerah
Minangkabau untuk me¬lakukan perlawanan terhadap Belanda secara
sendirian tidak mampu, karenanya perlu adanya kerjasama dengan kaum
Padri.
Uluran tangan golongan penghulu disambut baik oleh kaum Padri.
Perjanjian kerjasama dan ikrar antara golongan penghulu dengan kaum
Padri untuk mengusir Belanda, dari tanah Minangkabau dilaksanakan pada
akhir tahun 1832 bertempat di lereng gunung Tandikat. Gerakan perlawanan
rakyat Sumatera Barat terhadap Belanda dipimpin langsung oleh Imam
Bonjol.
Baca Berikutnya.......