Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,
Diantara adab dalam islam yang diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
adalah tidak menghina keadaan orang lain, yang dirinya sendiri juga
melakukannya. Kentut adalah bagian dari rangkaian metabolisme tubuh
manusia. Sehingga semua orang yang normal mengalaminya. Untuk itu,
ketika kita mendengar ada orang yang kentut, kita dilarang menertawakannya. Karena kita sendiripun pernah mengalaminya.
Dari sahabat Abdullah bin Zam’ah radhiyallahu ‘anhu,
Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
menyampaikan khutbah. Beliau menceritakan tentang kisah onta Nabi Sholeh
yang disembelih kaumnya yang membangkang. Beliau menafsirkan firman
Allah di surat as-Syams. Kemudian beliau menasehati agar bersikap lembut
dengan wanita, dan tidak boleh memukulnya.
Kemudian beliau menasehati sikap sahabat yang tertawa ketika mendengar ada yang kentut.
إِلَامَ يَضْحَكُ أَحَدُكُمْ مِمَّا يَفْعَلُ؟
“Mengapa kalian mentertawakan kentut yang kalian juga biasa mengalaminya.” (HR. Bukhari 4942 dan Muslim 2855).
Menertawakan Kentut Kebiasaan Jahiliyah
Dalam Tuhfatul Ahwadzi, Syarh Sunan Turmudzi, Al-Mubarokfuri mengatakan,
وكانوا في الجاهلية إذا وقع ذلك من أحد منهم في مجلس يضحكون فنهاهم عن ذلك
“Dulu mereka (para sahabat) di masa jahiliyah, apabila ada salah satu
peserta majlis yang kentut, mereka pada tertawa. Kemudian beliau
melarang hal itu.” (Tuhfatul Ahwadzi, 9/189).
Imam Ibnu Utsaimin menjelaskan,
الإنسان إنما يضحك ويتعجب من شيء لا يقع منه، أما ما يقع
منه؛ فإنه لا ينبغي أن يضحك منه، ولهذا عاتب النبي صلى الله عليه وسلم من
يضحكون من الضرطة؛ لأن هذا شيء يخرج منهم، وهو عادة عند كثير من الناس.
Umumnya orang akan menertawakan dan terheran dengan sesuatu yang
tidak pernah terjadi pada dirinya. Sementara sesuatu yang juga dialami
dirinya, tidak selayaknya dia menertawakannya. Karena itulah, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mencela orang yang menertawakan kentut.
Karena kentut juga mereka alami. Dan semacam ini (menertawakan kentut)
termasuk adat banyak masyarakat. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/120).
Kemudian Imam Ibnu Utsaimin juga menyebutkan satu kaidah,
وفي هذا إشارة إلى أن الإنسان لا ينبغي له أن يعيب غيره فيما يفعله هو بنفسه
Ini merupakan isyarat bahwa tidak sepantasnya bagi manusia untuk
mencela orang lain dengan sesuatu yang kita juga biasa mengalaminya.
Maroji’ : syarh riyadlush sholihin, (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/120).
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?