Suhaib ar-Rumi radhiallahu ‘anhu adalah salah seorang di antara sahabat senior Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang mungkin tidak dikenal oleh banyak kaum muslimin. Ia merupakan
as-sabiquna-l awwalun (orang-orang yang pertama memeluk Islam). Saat
jumlah kaum muslimin masih sekitar 30-an orang, Suhaib telah menyatakan
keislamannya di hadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan takut akan ancaman kafir Quraisy Mekah.
Suhaib bukanlah penduduk asli Mekah, ia adalah perantau yang datang
ke Kota suci tersebut dari kampung halamannya di Bashrah. Nama
belakangnya ar-Rumi yang artinya orang Romawi, juga bukanlah menunjukkan
jati dirinya yang asli, karena dia adalah orang Arab.
Lalu, bagaimana kisah Suhaib bisa sampai ke Mekah? Mengapa nama
belakangnya ar-Rumi padahal ia orang Arab? Dan bagaimana kisah
keislamannya? Simak kisahnya berikut ini.
Latar Belakang
Suhaib adalah anak dari salah seorang hakim di wilayah dekat Bashrah.
Saat orang-orang Romawi menyerang daerah tersebut, Suhaib pun menjadi
seorang budak Romawi. Ia tumbuh besar di wilayah Romawi tersebut, karena
itulah ia dipanggil Suhaib ar-Rumi.
Nama aslinya adalah Suhaib bin Sinan bin Malik, kun-yahnya Abu Yahya.
Banyak versi tentang nama aslinya, ada yang mengatakan Khalid bin Abdu
Amr bin Aqil, ada juga yang mengatakan Thufail bin Amir bin Jandalah bin
Saad bin Khuzaimah. Namun, insya Allah yang lebih tepat Suhaib bin
Sinan bin Malik adalah nama asli beliau radhiallahu ‘anhu.
Ternyata, kisah pilunya sebagai budak membawanya kepada suatu hikmah
yang tidak dia sangka-sangka. Seorang penjual budak menjualnya kepada
salah satu orang kaya Mekah, namanya Abdullah bin Jad’an. Beberapa lama
bersama tuan barunya tersebut, Suhaib memperlihatkan kualitas diri yang
menunjukkan dia tidak layak menjadi seorang budak. Ia memiliki
kecerdasan, etos kerja yang tinggi, dan ketulusan hati. Lalu Abdullah
bin Jad’an pun membebaskan Suhaib ar-Rumi, dan berubahlah statusnya dari
seorang budak menjadi orang merdeka. Setelah merdeka, Suhaib memulai
jalan hidupnya di Mekah sebagai pedagang sehingga ia menjadi salah
seorang pedangang yang sukses di Ummul Qura tersebut.
Memeluk Islam
Ammar bin Yasir mengisahkan:
Aku berjumpa dengan Suhaib bin Sinan di depan pintu rumah al-Arqam, saat itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
berada di dalam rumah itu. Aku berkata kepada Suhaib, “Apa yang kau
inginkan?” Namun Suhaib malah balik bertanya, “Kamu juga, apa yang kau
inginkan?” Lalu kujawab, “Aku ingin masuk ke dalam rumah ini menemui
Muhammad, lalu mendengarkan apa yang ia sampaikan.” Kata Suhaib, “Aku
juga menginginkan hal yang sama.”
Ammar melanjutkan, “Kami berdua pun masuk ke dalam rumah al-Arqm,
lalu menyatakan keislaman kami. Lalu kami berdiam di rumah hingga tiba
sore hari, kemudian keluar dari rumah dalam keadaan takut.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السباق أربعة: أنا سابق العرب، وصهيب سابق الروم، وبلال سابق الحبشة، وسلمان سابق الفرس
“Empat orang pendahulu: Aku adalah yang paling awal dari kalangan
Arab, Suhaib paling awal dari kalangan Romawi, Bilal paling awal dari
orang-orang Habasyah, dan Salam yang paling awal dari orang Persia.”
Kedudukan Suhaib
Salah satu peristiwa yang paling terkenal dan sangat mengagumkan dari perjalanan hidup Suhaib adalah kisah hijrahnya beliau radhiallahu ‘anhu.
Sebagaimana telah disebutkan, Suhaib adalah seorang yang tidak memiliki
apa-apa, lalu datang ke Mekah dan menjadi salah seorang pedagang yang
kaya. Lalu datanglah panggilan hijrah, dan Suhaib pun menyambut
panggilan tersebut.
Saat dalam perjalanan dari Mekah menuju Madinah, Suhaib dicegat oleh
orang-orang Mekah. “Wahai Suhaib, engkau datang kepada kami dalam
keadaan miskin dan hina, kemudian hartamu menjadi banyak setelah tinggal
di daerah kami. Setelah itu terjadilah di antara kita apa yang terjadi
(perselisihan karena Islam). Engkau boleh pergi, tapi tidak dengan semua
hartamu.” Suhaib pun meninggalkan hartanya tanpa ia pedulikan sedikit
pun.
Kemudian sampailah Suhaib di Madinah, lau ia berjumpa dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang langsung mengucapkan,
ربح البيع أبا يحيى.. ربح البيع أبا يحيى
“Perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya, perdagangan yang amat menguntungkan wahai Abu Yahya.”
Suhaib berkata, “Wahai Rasulullah, tidak ada seorang pun yang melihat apa yang kualami.” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jibril yang memberi tahuku.”
Lalu turunlah ayat,
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَشْرِي نَفْسَهُ ابْتِغَاءَ مَرْضَاتِ اللَّهِ وَاللَّهُ رَءُوفٌ بِالْعِبَادِ
“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena
mencari keridhaan Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada
hamba-hamba-Nya.” (QS. Al-Baqarah: 207)
Suhaib dikenal sebagai seorang sahabat yang sangat dermawan dan
sangat suka memberi orang-orang miskin makan. Saking rajinnya Suhaib
dalam bersedakah, sampai-sampai Umar bin Khattab menganggapnya mubadzir
(karena sedekah tidak tepat sasaran .pen). Kata Umar, “Wahai
Suhaib, aku tidak melihat kekurangan pada dirimu kecuali dalam tiga hal:
(1) Engkau menisbatkan diri sebagai orang Arab, padahal logatmu logat
Romawi, (2) engkau berkun-yah dengan nama Nabi, (3) dan engkau orang
yang mubadzir.” Suhaib menanggapi, “Aku seorang yang mubadzir? Tidaklah
aku berinfak kecuali dalam kebenaran. Adapun kun-yahku, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
sendiri yang memberinya. Dan logatku logat Romawi, karena sejak kecil
aku ditawan orang-orang Romawi. Sehingga logat mereka sangat berpengaruh
padaku.” Saat Umar wafat, beliau mewasiatkan agar Suhaib yang menjadi
imam shalat jenazahnya.
Ia juga selalu turut serta dalam peperangan yang diikuti oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Wafatnya
Suhaib wafat di Kota Madinah pada bulan Syawal tahun 38 H. Saat itu
usia beliau 70 tahun. Semoga Allah Ta’ala meridhai beliau dan
menempatkannya di dalam surga yang penuh dengan kenikmatan.
Penutup
Kisah awal perjalanan hidup Suhaib radhiallahu ‘anhu sama halnya dengan apa yang terjadi dengan Nabi Yusuf ‘alaihissalam.
Beliau awalnya orang yang merdeka, lalu dijadikan budak dan dijual
kepada salah seorang pembesar di negeri Mesir sampai akhirnya menjadi
pemimpin di negeri tersebut.
Dari sini dapat kita petik pelajaran, terkadang Allah menimpakan
sebuah musibah kepada kita, namun musibah tersebut adalah jalan yang
harus kita lalui menjadi orang yang lebih baik atau bahkan orang yang
hebat. Nabi Yusuf tidak akan menjadi pembesar di negeri Mesir seandainya
beliau tidak menempuh perjalanan hidup menjadi seorang yang disisihkan
saudaranya. Suhaib tidak akan mulia menjadi seorang muslim dan sahabat
Rasulullah, jika ia tidak menempuh perjalanan hidup menjadi budak yang
mengatarkannya ke Mekah hingga bertemu dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Oleh karena itu, janganlah kita berprasangka buruk kepada Allah atas
musibah yang menimpa kita. Bisa jadi Allah simpan hikmah yang besar atau
Allah persiapkan sesuatu yang istimewa di balik musibah yang kita
derita.
Sumber: islamstory.com
Oleh Nurfitri Hadi
Artikel www.KisahMuslim.com
Artikel www.KisahMuslim.com
0 Comments
Bagaimana Pendapat Anda ?